Lidah kami telah terbiasa mengucapkan kata "Wan Nabi (demi Nabi), saya akan melakukannya" atau "Wan Nabi, jangan lakukan hal itu". Apakah ucapan ini termasuk bersumpah dengan selain Allah dan termasuk perbuatan syirik? Saya pernah membaca dalam sebuah kitab bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengangkat Usâmah ibnu Zaid sebagai panglima tentara kaum Muslimin, dan ketika itu Usâmah masih beliau, sebagian kaum Muslimin menyesalkan pengangkatan tersebut. Rasulullah pun ketika itu bersabda, "La`amrî (demi hidupku), sungguh ia sangat layak memimpin (pasukan) sebagaiman ayahnya juga sangat layak menempati posisi itu."
Apakah benar Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersumpah dengan kata "La`amrî" ini? Dan benarkah Imam Ahmad ibnu Hambal membolehkan bersumpah dengan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam? Apa dalilnya jika itu benar?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Sumpah dengan selain Allah adalah sebuah kesyirikan. Sebuah hadits diriwayatkan dari Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa bersumpah dengan selain Allah berarti telah melakukan perbuatan kafir atau kemusyrikan." [HR. At-Tirmîdzi, Abû Dâwûd, dan Ahmad]
Jadi, tidak boleh bersumpah dengan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—atau pun selain beliau. Kemudian apa yang Anda katakan bahwa Imam Ahmad membolehkan bersumpah dengan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—kami tidak menemukan sumbernya. Hanya saja, sebagian ulama mazhab Hambali mengatakan bahwa bersumpah dengan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—termasuk sumpah yang sah dan mewajibkan kafarat jika dilanggar, tapi para ulama melemahkan pendapat ini.
Kemudian kami juga tidak menemukan sumber yang menyebutkan bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "La`amrî" dalam kisah pengangkatan Usâmah sebagai panglima pasukan. Yang kami temukan dalam kitab Shahîh Al-Bukhâri dan Muslim serta kitab-kitab lainnya adalah bahwa beliau bersabda, "Waimullâh (demi Allah), sungguh ia sangat pantas dijadikan sebagai pemimpin."
Para ulama berbeda pendapat seputar kebolehan mengucapkan kata la`amri. Imam Malik memakruhkannya, karena perkataan ini merupakan pengagungan kepada selain Allah, sekaligus membuat tandingan Allah dengan bersumpah menggunakan nama selainnya. Namun Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya tentang kisah Jâbir—Semoga Allah meridhainya—yang menjual untanya kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, bahwa Rasulullah ketika itu bersabda, "La`amrî, kami tidak memberi manfaat kepadamu supaya kami melepaskan hakmu dari unta itu." Hadits ini dihukum shahîh sanadnya oleh Al-Arna'ûth. Barangkali hadits ini tidak sampai kepada Imam Mâlik atau menurutnya tidak shahîh.
Dalil lain yang menunjukkan kebolehkan mengucapkan kata la`amrî ini adalah riwayat dari para shahabat Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahwa mereka mengucapkannya dalam beberapa hadits yang sebagiannya terdapat dalam kitab Shahîh Al-Bukhâri dan Muslim.
Wallâhu a`lam.
Anda dapat mencari fatwa melalui banyak pilihan