Jika seseorang bersumpah untuk meninggalkan suatu perbuatan, dan ia meneguhkan tekadnya untuk meninggalkan perbuatan itu, tapi kemudian ia melanggarnya, sementara ia benar-benar lupa dengan apa ia dahulu bersumpah; apakah dengan nama Allah ataukah berkata: "Aku akan mentalak istriku jika aku melakukan perbuatan itu pada diriku atau pada istriku", atau ungkapan sumpah talak sejenisnya. Ia sendiri khawatir kalau ia pernah bersumpah dengan sumpah ini, sementara Syetan selalu membisikkan bahwa ia dahulu benar-benar bersumpah dengan sumpah talak ini. Apakah sumpah itu diangap benar-benar terjadi atau tidak? Ada beberapa pendapat yang bertentangan dalam hal ini. Dalam kitab Al-Fatâwâ milik Al-Azhar, dalam Bab Talak Orang yang Lupa, disebutkan bahwa sumpahnya dianggap jatuh secara qadhâ' (peradilan) saja. Apa yang dimaksud dengan jatuh sumpah secara qadhâ' ini? Tetapi ulama di tempat kami mengatakan bahwa hal itu tidak termasuk sumpah, tetapi harus dibayar kafaratnya saja. Manakah pendapat yang paling benar?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Setelah mengkaji pendapat para ulama seputar keraguan seseorang dalam menentukan sumpahnya yang ia langgar, apakah sumpah atas nama Allah, atau sumpah untuk mentalak istri, atau sumpah yang lainnya, kami tidak menemukan seorang ulama pun yang mengatakan bahwa talak jatuh secara qadhâ'. Tetapi kami menemukan sebagian mereka berpendapat bahwa pelakunya diperintahkan untuk membayar kafarat sumpah, mentalak istrinya, serta membebaskan budak. Ada juga ulama yang dari perkatannya dipahami bahwa sumpah seperti ini diangap tidak sah. Ada juga yang berpendapat bahwa pelakunya harus melakukan undian di antara sumpah-sumpah yang ia ragukan itu, kemudian mana sumpah yang keluar maka itulah yang dianggap sebagai sumpahnya dahulu.
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa pelakunya wajib membayar kafarat sumpah. Mereka berargumen bahwa sumpah talak dan sumpah `itâq (memerdekakan budak) tidak dibolehkan dalam Syariat. Karena itu, seorang muslim harus diarahkan melakukan perbuatan yang boleh secara Syariat, bukan yang dilarang. Dan menurut kami, pendapat inilah yang paling kuat—Wallâhu a`lam.
Syihâbuddîn Ar-Ramli pernah ditanya tentang masalah ini, dan ia menjawab: Suami hendaknya menghindari (hubungan dengan) istrinya sampai jelas perkaranya. Jika talaknya masih Talak Raj`i maka ia tinggal rujuk kepada istrinya dan cukup. Dan masalahnya mungkin saja diselesaikan dengan munculnya keyakinan di hati.
Wallâhu a`lam.
Anda dapat mencari fatwa melalui banyak pilihan