Salah seorang kerabat saya, anaknya mengalami haidh di awal bulan Ramadhân, tetapi ibunya melarangnya berpuasa dengan alasan masih kecil, karena usianya belum lebih sembilan tahun. Saya telah berusaha mengingatkan si ibu akan bahaya keputusannya itu, tetapi ia tidak mau mendengarkan. Bagaimana pendapat Anda tentang masalah ini?
Segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, beserta keluarga dan para shahabat beliau. Ammâ ba`d.
Haidh adalah salah satu tanda telah balighnya seorang perempuan apabila usianya telah sampai sembilan tahun, meskipun para ulama berbeda pendapat apakah harus sempurna sembilan tahun seperti pendapat Madzhab Syâfi`i dan Hanbali, atau cukup dengan memasuki tahun kesembilan usianya seperti salah satu pendapat Madzhab Syâfi`i dan lain-lain.
Berdasarkan itu, bila anak yang Anda sebutkan itu benar-benar telah mengalami haidh, dan usianya telah sempurna sembilan tahun, berarti ia telah baligh. Karena itu, ia sudah dikenakan kewajiban-kewajiban layaknya muslimah yang sudah baligh, seperti shalat, puasa, memakai hijab, dan lain-lain. Ibunya tidak boleh melarangnya berpuasa bila ia telah sanggup melakukannya, bahkan sebaliknya, harus memotivasinya untuk berpuasa. Si anak juga tidak boleh mematuhi ibunya dalam masalah ini, karena ini terkait sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, sementara ketaatan kepada Allah harus lebih didahulukan daripada ketaatan kepada siapa pun. Jika ia mematuhi ibunya sehingga ia tidak berpuasa, maka ia wajib mengqadha puasanya, dan ibunya wajib bertobat kepada Allah, karena telah menghalangi seorang muslimah untuk menjalankan kewajiban yang Allah bebankan kepadanya.
Adapun apabila haidh terjadi sebelum usianya genap sembilan tahun dalam jangka waktu yang lama, yaitu masih melebihi waktu yang cukup untuk proses satu kali haidh dan satu kali suci (16 hari), maka ini menjadi perbedaan pendapat yang cukup besar di kalangan ulama, apakah anak itu dianggap sudah baligh atau belum. Namun demikian, tetap saja yang lebih dianjurkan adalah mendorong anak yang sudah sanggup berpuasa untuk melakukannya. Bahkan sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa orang tua wajib memerintahkan anaknya untuk berpuasa bila si anak sudah sanggup melakukannya, sebagaimana ia wajib memerintahkannya untuk melakukan shalat.