Oleh: Khalid Abu Syâdi
Segala sesuatu memiliki tanda atau indikasi, begitu pula hati yang keras. Dengan mengetahui tanda-tanda hati yang keras, kita bisa mengetahui hakikat penyakit yang mengerikan ini dengan lebih cepat. Di antara tanda paling jelas yang mengindikasikan kekerasan hati adalah sebagai berikut:
1. Indra yang Tidak Peka/Mati Rasa
Hati yang keras tidak kuasa dibersihkan dengan Al-Quran dan tidak pula mampu dihidupkan dengan merenungi ayat-ayat Allah. Sebab indra pemiliknya sudah mati rasa dan tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Ibnul Jauzi berkata, "Ketika aku melihat ayat (yang artinya): 'Katakanlah: 'Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hati kalian, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepada kalian?' Perhatikanlah, bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling.' [QS. Al-An'âm: 46], aku merasakan sebuah isyarat (makna) yang hampir saja membuat aku pingsan (kehilangan akal). Yaitu bahwa jika yang dimaksud oleh ayat ini adalah pendengaran dan penglihatan itu sendiri―yang merupakan alat untuk mendengar (telinga) dan alat untuk melihat (mata), maka artinya adalah bahwa kedua indra itu berfungsi mentransfer ke dalam hati semua yang mereka tangkap. Kemudian hati memikirkan dan mencerna. Jika telinga dan mata diperlihatkan dan diperdengarkan berbagai ciptaan Allah, keduanya akan menyampaikan kepada hati bahwa keberadaan semua ciptaan itu menunjukkan adanya Sang Pencipta, mendorong untuk menaati-Nya, sekaligus memperingatkan manusia akan murka-Nya bila hukum-hukum-Nya dilanggar.
Tapi jika yang dimaksud dengan pendengaran dan penglihatan dalam ayat ini adalah fungsinya, maka pencabutan keduanya berarti ketidakmampuan menangkap hakikat dari semua yang dikonsumsinya. Telinga dan mata itu disibukkan dengan hawa nafsu, sehingga pemiliknya dihukum oleh Allah dengan kehilangan fungsi kedua indra itu. Akibatnya, ia melihat namun seakan tidak melihat; ia mendengar tetapi seperti tidak mendengar. Hatinya tidak bisa lagi membedakan antara yang menyakitkannya dengan yang tidak menyakitkannya, tidak mampu memilah antara yang diinginkannya dengan yang tidak diinginkannya. Tidak ada lagi pengaruh apa-apa ketika ia diuji (ditimpa musibah). Nasihat yang disampaikan juga tidak mempan di hadapannya. Ia tidak tahu sedang berada di mana, apa yang diinginkan darinya, dan akan dibawa ke mana dirinya. Yang ia pikirkan hanyalah kesenangan dunianya, tanpa berpikir sama sekali tentang kerugiannya di Akhirat. Ia tidak mengambil pelajaran dari sahabat dan teman-temannya. Ia juga tidak mempersiapkan bekal untuk perjalanan hidupnya kelak. Semoga Allah tidak mencabut fungsi indra kita. Karena itu adalah kondisi paling buruk yang dialami manusia." [Shaidul Khâthir, hal. 105]
Aku Tidak Kuasa Melihat, Mendengar, dan Berbicara
Di antara bentuk hati yang keras adalah: tuli, tidak mendengar kebenaran; bisu, tidak bisa berbicara tentang kebenaran; dan buta, tidak bisa melihat kebenaran. Jadi, hubungan antara hati dan kebenaran ibarat hubungan antara telinga yang tuli dengan suara, antara mata yang buta dengan warna, atau antara lidah yang bisu dengan kata-kata. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ketulian, kebisuan, dan kebutaan hati dalam hal ini merupakan inti/pokok, sedangkan ketulian, kebisuan, dan kebutaan indra adalah cabang dan efek dari kondisi hati yang seperti itu. Oleh karena itu, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Mereka tidak buta mata, melainkan buta hati yang ada di dalam dada." [QS. Al-Hajj: 46]
Maksudnya bukan menafikan (meniadakan) kebutaan indrawi. Tetapi maksudnya adalah menegaskan bahwa kebutaan yang sesungguhnya adalah kebutaan hati. Demikian dahsyatnya, sehingga kebutaan indrawi tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengannya. Dengan demikian, wajar bila secara eksplisit kebutaan indrawi dinafikan, bila dibandingkan dengan dahsyatnya kebutaan hati itu. [Al-Jawâbul Kâfi: 82, dengan sedikit perubahan]
Perhatikan penjelasan mengenai hilangnya kepekaan indra orang-orang yang berhati keras ini satu persatu:
A. Pendengaran
Allah menggambarkan kondisi orang-orang kafir bahwa ketika mendengar petunjuk kebenaran, mereka menutup telinga dengan jari-jari mereka. Dalam hal ini, Allah menggunakan kata jari sebagai kiasan, karena yang mereka gunakan untuk menutup telinga hanyalah ujung jari saja, bukan seluruh jari. Allah menggunakan kata 'jari' untuk menunjukkan makna penekanan (mubâlaghah) atas tindakan mereka menutup telinga, sehingga kalau bisa mereka akan memasukkan seluruh jari mereka ke dalam telinga. Jika terjadi—misalnya—ada satu petunjuk kebenaran yang berhasil masuk ke dalam telinga mereka sebelum mereka sempat menutupnya, maka petunjuk kebenaran itu pun akan tertolak ke luar dari telinga mereka yang pada hakikatnya sudah tersumbat itu.
Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan (Kami letakkan) sumbatan di telinga mereka." [Al-An`âm: 25]. Ayat ini mengisyaratkan bahwa telinga mereka tuli, tidak bisa mendengar kebenaran. Bahkan kalaupun Allah menghilangan sumbatan telinga mereka itu, sehingga nasihat bisa masuk ke dalam hati mereka, yang ditemukan pun hanyalah hati yang kelam tidak tertembus cahaya, karena dipasung oleh kegelapan yang berlapis-lapis. Oleh karena itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Kalau sekiranya Allah mengetahui ada kebaikan pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)." [QS. Al-Anfâl: 23]
Pendengaran yang diinginkan adalah pendengaran hati yang tentu lebih tinggi daripada pendengaran telinga. Karena sesungguhnya setiap perkataan memiliki lafaz dan makna. Lafaz adalah jatah telinga, sedangkan maknanya adalah jatah hati. Dan ketika hati tidak mampu menyimak, semua kata dan peristiwa tidak akan bermakna apa-apa. Dari orang-orang yang berhati keras ini, Allah menafikan adanya kemampuan mendengar makna yang merupakan jatah hati. Mereka hanya bisa mendengar lafaz yang merupakan jatah telinga. Dan itu tidak akan bermanfaat bagi mereka. Bahkan, sebaliknya pendengaran seperti ini justru akan mendatangkan mudharat bagi mereka, karena keberadaannya menjadi hujjah (alasan) untuk menyiksa mereka.
Inilah inti perkataan orang-orang Ahli Kitab kepada Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—sebagaimana diceritakan dalam sebuah ayat (yang artinya): "Dan (mereka mengatakan pula): 'Dengarkanlah, dan (engkau) tidak didengarkan." [QS. An-Nisâ': 46]. Maksudnya, dengarkanlah (kata-kata kami), sedangkan kata-katamu tidak akan didengar. Karena telinga kami ada di dekatmu, tetapi hati kami bersama yang lain.
Memang orang yang hatinya keras tidak akan mau mendengar. Jika mendengar pun ia tidak akan menyimak. Jika ia menyimak pun, ia tidak akan bisa mencerna. Jika ia mencerna pun tidak akan sampai memahami. Jika paham pun ia tidak akan mengamalkan. Jika mengamalkan pun ia akan mencampurinya dengan riyâ` dan su'mah. Semua amalnya ditolak. Akibatnya, yang ia dapatkan hanyalah kesesatan dan kekecewaan.
Jika gambaran Al-Quran tentang pendengaran orang yang berhati keras adalah seperti di atas, maka gambaran Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tentang mereka pun tidak berbeda jauh. Beliau bersabda, "Celakalah (orang-orang yang laksana) corong perkataan. Celakalah (orang-orang yang laksana) corong perkataan. Celakalah orang-orang berhati batu yang bersikeras melakukan perbuatan buruk mereka, padahal mereka mengetahui." [HR. Ahmad; Menurut Al-Albâni: shahih]
Sebagaimana sebuah corong (saluran air) memasukkan air dari salah satu lubangnya lalu mengeluarkan dari lubangnya yang kedua, begitu juga orang yang berhati keras, kedua telinganya bagaikan dua lubang corong. Kata-kata masuk dari telinga kanannya, kemudian keluar dari telinga kirinya, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun di dalam hatinya.
B. Penglihatan
Alangkah sengsaranya orang-orang yang berhati keras dan berlumur dosa. Mata mereka tidak lagi bisa melihat tanda-tanda kebenaran dan ayat-ayat kebaikan. Mereka tidak bisa melihat semua pembawa pesan Allah, karena hati-hati mereka terlalu keras dan diliputi kebodohan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan Kami nampakkan Jahanam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas. Yaitu, orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar." [QS. Al-Kahf: 100-101]
Ibnul Qayyim berkata, "Ayat di atas mengisyaratkan dua hal: Pertama, mata kepala mereka ditutup dari segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda kebesaran Allah, baik berupa ayat-ayat, bukti-bukti keesaan-Nya, maupun keajaiban kekuasaan-Nya. Kedua, mata hati mereka ditutup dari kemampuan memahami dan mentadaburi Al-Quran serta mengikuti petunjuknya. Yang pertama ditutup adalah mata hati mereka ini, kemudian berlanjut hingga ke mata kepala mereka." [Syifâ'ul `Âlîl: 1/93]
Oleh karena itulah, orang-orang kafir—pemilik hati paling keras—memiliki mata tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka buta terhadap kebenaran. Sebab itu, Allah—yang Mahatahu hakikat mereka—mengambarkan mereka dalam firman-Nya (yang artinya): "Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, 'Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang-orang yang kena sihir'." [QS. Al-Hijr: 14-15]
Allah mengumpamakan kerusakan penglihatan mereka dengan orang yang sedang mabuk karena minuman keras. Mata mereka tertutup sebagaimana tertutupnya akal orang yang mabuk, sehingga tidak bisa melihat apa-apa. Jika orang yang berhati sehat bisa melihat banyak pelajaran dalam satu ayat, tidak demikian dengan orang-orang yang berhati keras. Lantaran mereka bergelimang dengan dosa dan kesalahan, mereka dihukum dengan hukuman yang berat, yaitu sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Dan jika pun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya." [QS. Al-An`âm: 25].
Tanda kebenaran yang disebut di dalam ayat ini mencakup tanda-tanda yang terbentang di alam (ayat-ayat kauniyyah) dan juga yang tertulis di dalam kitab Allah. Kedatangan tanda-tanda kebenaran itu kepada mereka ibarat terbitnya matahari dan bulan untuk seorang yang buta.
Terkadang orang yang sedang sakit mata dinasihati agar tidak melihat langsung sinar matahari. Padahal masalah dan penyakit sebenarnya tidak terletak pada matahari, melainkan pada mata yang sakit itu. Sebagaimana juga terKadang orang sakit dilarang mencium parfum, padahal parfum mengandung aroma wangi dan harum.
C. Lisan
Bagi orang yang berhati keras, membisu lebih baik daripada berkata-kata, dan diam lebih baik daripada berkoar-koar. Terkait masalah ini, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba terkadang mengucapkan satu kata yang dibenci oleh Allah, tanpa ia sadari, dan itu menyebabkan ia masuk Neraka." [HR. Al-Bukhâri]
Perhatikan misalnya Ibnu Hâni' Al-Andalusi yang memuji Khalifah Al-Mu`iz dengan syairnya:
"Apa yang Anda kehendaki (yang akan berlaku), bukan apa yang dikehendaki takdir.
Maka, turunkanlah titah Anda. Sesungguhnya Anda adalah dzat tunggal yang paling berkuasa."
Setelah ia mengucapkan kata-kata ini, Allah menimpakan penyakit kepadanya. Penyakit itu membuatnya meraung karena menyesal atas kata-kata yang telah ia ucapkan itu.
Secara umum, tangan, kaki, akal, dan seluruh anggota tubuh orang yang berhati keras tidak akan pernah selamat. Inilah memang kondisi hati yang gersang dan kering dari nilai iman. Karena tanah yang baik akan menumbuhkan berbagai tumbuhan segar dengan izin Allah, sedangkan tanah yang rusak hanya akan melahirkan pohon-pohon layu. Semua yang keluar darinya adalah buruk. Tidakkah sesuatu yang rusak akan melahirkan kerusakan pula? Bukankah sesuatu yang sesat hanya akan membawa kepada kesesatan pula?
Orang yang berhati keras tidak mengerti tujuan penciptaan lidahnya. Tidak ada dzikir, doa, ucapan baik, dan nasihat yang membangun. Yang ada hanyalah gunjing, kata-kata kotor, kalimat kasar, cacian yang menyakitkan, dan sejenisnya. Jadi, jelaslah bahwa kekerasan hati menggiring seseorang kepada kekerasan kata-kata.
Contoh dalam Bidang Fikih
Agar masalahnya lebih jelas dan Anda memahami arti ketidakpekaan indera pada orang yang berhati keras, juga untuk menguatkan apa yang saya katakan di atas, perhatikanlah contoh praktis dalam hadits berikut. Hadits ini diriwayatkan dari Shafiyyah bintu Syaibah, ia berkata, "'Aisyah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidak berlaku talak dan pembebasan budak dalam kondisi 'ighlâq' (terkunci)." [Menurut Al-Albâni: hasan]
Kondisi ighlâq (terkunci) maksudnya adalah saat-saat marah yang bersangatan atau dalam keadaan terpaksa. Saat seseorang sedang sangat marah, kadang ia kehilangan kontak dengan orang di sekitarnya. Sehingga ia tidak bisa mendengar suara kebenaran, tidak bisa memikirkan akibat perbuatannya, dan kehilangan akal yang bisa mengarahkannya kepada kebenaran. Kondisinya persis seperti orang yang terkunci di dalam ruangan tertutup, sehingga tidak bisa melihat apa pun yang ada di sekitarnya. Karena itu, Syariat tidak mengakui talak dan pemerdekaan budak pada saat seseorang dalam keadaan demikian.
Hal ini mirip dengan apa yang terjadi pada orang yang berhati keras yang terpuruk ke dalam dosanya sehingga pertimbangan akalnya hilang. Sebagaimana seseorang terkadang kehilangan pertimbangan akal dan kendali atas indernya lantaran kemarahan yang besar, begitu pula ada kalanya seseorang mengalami kematian indra disebabkan kelalaian, kekerasan hati, dan lama tidak bersentuhan dengan cahaya kebenaran.
Kepada orang yang lebih memilih sakit daripada kesehatan, dan lebih memilih kekeruhan daripada kesucian, kita kataakan: kenapa Anda mengeluh melihat matahari tertutup dalam waktu yang ringkas, tetapi tidak mengeluh ketika akal Anda tertutup dari kebenaran selama empat puluh tahun?
Beberapa Jenis Hati yang Keras
1. Di antara bentuk hati yang keras adalah hati yang diubah coraknya. Ketika membahas pengaruh dosa, Ibnul Qayyim berkata, "Di antara bentuk hati yang keras adalah hati yang diubah coraknya seperti diubahnya corak sebuah gambar. Setelah diubah, hati tersebut menjadi seperti hati binatang, sehingga pemiliknya memiliki akhlak, perangai, dan tabiat yang serupa dengan binatang itu. Ada hati yang diubah menjadi seperti hati babi, sehingga perangai pemiliknya sama dengan perangai babi. Ada juga hati yang diubah menjadi seperti hati anjing, keledai, ular, kalajengking, dan sebagainya. Ini merupakan penafsiran Sufyan ibnu `Uyainah terhadap firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): 'Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat (juga) seperti kalian. Tiadalah Kami lalaikan sesuatu apa pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka kelak dihimpun.' [QS. Al-An`âm: 38]. Dalam keterangannya terhadap ayat ini, Ibnu `Uyainah berkata, 'Di antara manusia ada yang berperilaku layaknya binatang buas. Ada juga yang berperilaku seperti anjing, babi, dan keledai. Ada juga yang berpakaian seakan meniru bulu burung merak. Ada juga yang dungu seperti keledai'." [Al-Jawâbul Kâfi, hal. 82]
2. Di antara bentuk hati yang keras juga adalah hati yang terhijab. Masih dalam pembahasan di atas, Ibnul Qayyim berkata, "Di antara bentuk hati yang keras juga adalah hati yang terhijab (terhalang) dari Tuhan di dunia, dan terhijab juga di Akhirat. Sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka." [QS. Al-Muthaffifîn: 15]. Dosa-dosa menghalangi mereka untuk bisa menggapai hati mereka sendiri agar dapat mengenal cara memperbaikinya, menyucikannya, dan memahami apa yang merusak dan menyakitinya. Dosa-dosa itu juga menghalangi mereka untuk dapat mendekati Tuhan mereka, guna meraih kedudukan dan kehormatan di sisi-Nya, serta merasa damai dan tentram bersama-Nya. Dengan demikian, dosa-dosa telah menghalangi mereka untuk menggapai hati mereka, sekaligus mendekati Tuhan dan Pencipta mereka." [Al-Jawâbul Kâfi]
3. Di antara bentuk hati yang keras juga adalah hati yang terkunci. Dalam hal ini, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan Kami kunci hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)." [QS. Al-A`râf: 100]. Kata thaba`(kunci) dalam bahasa Arab pada asalnya berarti karat yang ada di mata pedang atau benda lainnya. Bagian yang tertutup karat itu tidak bisa ditembus cahaya. Begitu juga mereka yang berhati keras, dosa-dosa yang mereka lakukan membuat hati mereka terkunci oleh karat dan tidak bisa ditembus oleh cahaya kebenaran. Akibatnya, mereka tidak bisa lagi mendengar nasihat dan peringatan.
Terus menerus melakukan perbuatan dosa merupakan salah satu kunci paling utama yang menyebabkan hati berkarat. Karena itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Siapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur, niscaya Allah akan mengunci hatinya. [Menurut Al-Albâni: shahih]
4. Hati yang tertutup juga merupakan dalah satu bentuk hati yang keras. Hal ini seperti disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dan mereka berkata, 'Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang engkau seru kami kepadanya, dan di telinga kami ada sumbatan, dan di antara kami dan engkau ada dinding." [QS. Fushshilat: 5]
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan tiga penghalang hidayah, yaitu: penutup hati, penyumbat telinga, dan penghalang pandangan mata. Jadi, seakan mereka mengatakan, "Dalam menolak semua yang engkau sampaikan, kami seperti orang yang tidak mendengar dan tidak pula melihat engkau."
Golongan ini tidak hanya sebatas mengalami apa yang dikatakan oleh orang yang hatinya terkunci dalam firman Allah (yang artinya): "Hati kami tertutup." [QS. Al-Baqarah: 88], tetapi jauh melampaui itu. Mereka menampakkan kebencian untuk mendengar segala nilai kebaikan. Bukan hanya itu, mereka juga bahkan tidak suka melihat orang yang menunjuki mereka kepada kebaikan. Karena hal itu―menurut mereka―mengurangi kenikmatan hidup mereka. Ini adalah jenis hati yang paling keras. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—memberi mereka perumpamaan yang keras dalam firman-Nya (yang artinya): "Maka mengapa mereka berpaling dari peringatan (Allah)? Seakan-akan mereka itu keledai liar yang terkejut dan lari dari singa." [QS. Al-Muddatstsir: 49-51]
Ibnul Qayyim berkata, "Allah mengumpamakan mereka yang berpaling dari Al-Quran dengan keledai yang lari saat melihat singa atau para pemburu. Ini adalah sebuah ilustrasi dan perumpamaan yang sangat indah. Ketidaktahuan mereka terhadap risalah yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya diumpamakan dengan kebodohan seekor keledai yang tidak mengerti apa-apa, dan ketika mendengar auman singa, ia lari sekencang-kencangnya. Ini adalah penghinaan yang sangat keras terhadap mereka. Mereka lari dari hidayah yang menjamin kebahagiaan mereka layaknya seekor keledai yang lari dari kematian. Selain itu dalam kaidah bahasa Arab, kata 'mustanfirah' dalam ayat ini mengandung makna lebih dari sekedar lari (nâfirah). Kata itu mengisyaratkan mereka bersepakat dan saling mengajak untuk lari." [I`lâmul Muwaqqi`în `an Rabbil `âlamîn]
Mungkinkah nasihat masih berguna bagi orang-orang yang berhati seperti mereka di atas? Demi Allah, kemungkinannya sangat kecil.
[Disadur dari buku "Bi Ayyi Qalbin Nalqâhu", karya Khalid Abu Syâdi]