Ketika berumur 15 tahun, saya sering menderita sakit. Ayah saya ketika itu berkata kepada saya: Tidak usah berpuasa pada bulan Ramadhân. Lalu saya pun tidak berpuasa selama 10 hari, dan setelah itu meng-qadhâ'-nya. Padahal ketika itu, saya merasa bahwa saya mampu berpuasa. Apakah saya harus membayar kafarat?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Secara umum, para ulama sepakat tentang kebolehan tidak berpuasa bagi orang sakit. Dalil mereka adalah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Maka barang siapa di antara kalian menderita sakit atau sedang berada dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al-Baqarah: 184]
Tetapi mereka berbeda pendapat seputar kriteria sakit yang menyebabkan penderitanya boleh tidak berpuasa itu. Jumhur (mayoritas) mereka, termasuk di dalamnya Imam yang Empat, berpendapat bahwa sakit yang membolehkan tidak berpuasa adalah sakit yang akan bertambah parah karena puasa, atau dikhawatirkan tertunda kesembuhannya karena puasa, atau puasa akan membuat penderitanya menderita kesulitan yang berat.
Ibnu Qudâmah berkata, "Penyakit yang membolehkan untuk tidak berpuasa adalah penyakit parah yang akan bertambah karena puasa, atau dikhawatirkan tertunda kesembuhannya karena puasa. Imam Ahmad pernah ditanya: 'Kapan orang yang sakit boleh tidak berpuasa?' Beliau menjawab: 'Jika ia tidak mampu berpuasa'. Beliau ditanya lagi: 'Seperti penyakit panas (demam)?' Beliau menjawab: 'Penyakit apa lagi yang lebih berat daripada demam?'." [Al-Mughni]
An-Nawawi—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Ini jika puasa menimbulkan kesulitan yang jelas baginya. Tidak disyaratkan ia (penderita sakit) harus sampai pada kondisi tidak mungkin lagi berpuasa. Bahkan para sahabat kami (ulama-ulama besar mazhab Syafi`i) mengatakan: Syarat dibolehkannya tidak berpuasa adalah bahwa puasa menimbulkan kesulitan yang sulit ia tanggung."
Al-Kharasyi dari mazhab Maliki—berkata, "Dibolehkan tidak berpuasa karena penyakit yang dikhawatirkan akan bertambah parah (dengan berpuasa)." [Syarhu Mukhtashar Khalîl]
Penulis kitab Ad-Durr Al-Mukhtâr dari mazhab Hanafi berkata ketika menyebutkan beberapa golongan yang dibolehkan tidak berpuasa, "Atau orang sakit yang dikhawatirkan bahwa puasa akan menambah parah penyakitnya."
Atas dasar ini, jika kondisi saudara penanya sampai pada kondisi-kondisi yang disebutkan oleh para ulama tersebut maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa. Dan tidak ada kewajiban apa pun baginya selain meng-qadhâ' hari-hari puasa yang ia tinggalkan itu. Tetapi jika penyakitnya tidak sampai pada kondisi-kondisi tersebut maka ia berarti telah berdosa karena tidak berpuasa ketika itu. Oleh karenanya, ia harus bertobat dan memohon ampun kepada Allah, lalu meng-qadhâ' hari-hari puasa yang ia tinggalkan itu, dan tidak ada kafarat yang harus ia tunaikan.