Saudaraku, inilah beberapa amal shalih yang sangat penting dilaksanakan pada bulan Ramadhan:
1. Puasa. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Semua amal kebaikan anak Adam adalah untuk dirinya, satu kebaikan dibalas sepuluh kebaikan, lalu dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali lipat. Allah—`Azza wajalla—berfirman (yang artinya): 'Kecuali puasa, karena ia adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya langsung. Karena ia telah meninggalkan syahwatnya, serta makan dan minumnya karena Aku'. Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: Kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi kesturi." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap keridhaan Allah niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Tidak diragukan lagi, bahwa pahala yang besar ini tidak diberikan kepada orang yang sekedar meninggalkan makan dan minum saja, tetapi sebagaimana sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Barang siapa yang belum meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkan puasanya yang meninggalkan makan dan minum itu." [HR. Al-Bukhâri]
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang dari kalian berpuasa, janganlah ia berkata-kata kotor, janganlah berbuat kefasikan, dan janganlah berlaku bodoh. Jika ada orang yang mencelanya hendaklah ia berkata: Aku sedang berpuasa." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Maka jika Anda—wahai hamba Allah—berpuasa, hendaknya pendengaran, penglihatan, lidah, dan seluruh anggota badan Anda ikut berpuasa. Jangan sampai hari saat Anda berpuasa sama dengan hari di mana Anda tidak berpuasa.
2. Qiyâmullail (shalat malam). Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang melakukan qiyâm pada bulan Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap keridhaan Allah niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (adalah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (shalat malam)." [QS. Al-Furqân: 63-64]. Qiyâmullail adalah tradisi Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan para shahabat beliau. 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Janganlah kalian meninggalkan qiyâmullail, karena Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Dan jika beliau sedang sakit atau merasa lemah, beliau shalat dalam posisi duduk."
Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—biasa mendirikan shalat malam, dan ketika tiba tengah malam, ia membangunkan keluarganya untuk shalat, kemudian berkata kepada mereka, "Shalat, shalat!" sembari membaca firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah engkau dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah untuk orang yang bertakwa." [QS. Thâhâ: 132]
Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—membaca ayat (yang artinya): "(Apakah kalian, hai orang-orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) Akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?" [QS. Az-Zumar: 9], lalu ia berkata, "Orang itu adalah Utsmân ibnu `Affân—Semoga Allah meridhainya."
Ibnu Abi Hâtim berkata, "Ibnu Umar berkata demikian karena banyaknya shalat Amîrul Mukminîn `Utsmân di malam hari dan (panjangnya) bacaan (shalat)-nya. Sampai-sampai ia menamatkan Al-Quran dalam satu rakaat."
Diriwayatkan dari `Alqamah ibnu Qais, ia berkata, "Aku pernah bermalam di rumah Abdullah ibnu Mas`ûd pada suatu malam. Lalu ia bangun di awal malam dan mendirikan shalat. Ia membaca seperti bacaan imam di mesjid kampungnya, membaca dengan tartil dan tidak mengulang-ulang. Orang di dekatnya dapat mendengar suaranya namun tidak menggema. Sampai ketika tidak tersisa waktu ghalas (waktu gelap sebelum subuh) kecuali seukuran waktu antara azan Maghrib sampai selesai shalat Maghrib, barulah ia melakukan shalat witir."
As-Sâ'ib ibnu Zaid berkata dalam sebua hadits yang diriwayatkannya, "Imam membaca surat-surat yang ayatnya sekitar seratus, sampai kami bertumpu dengan tongkat karena lamanya berdiri. Mereka tidak berhenti (shalat malam) kecuali saat fajar menjelang."
Catatan: Seyogianya bagi Anda, wahai saudaraku, untuk melakukan shalat Tarawih bersama imam sampai selesai, supaya Anda tergolong orang-orang yang mendirikan shalat malam. Karena Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Barang siapa yang shalat bersama imamnya sampai selesai maka ia diberikan pahala qiyâm satu malam penuh." [HR. Pemilik kitab-kitab Sunan]
3. Sedekah. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah manusia yang paling dermawan. Dan puncak kedermawanan beliau terlihat ketika bulan Ramadhan. Saat itu, beliau lebih dermawan daripada angin yang berhembus. Sebuah hadits diriwayatkan dari Anas—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sedekah paling utama adalah sedekah pada bulan Ramadhan." [HR. At-Tirmîdzi]
Zaid ibnu Aslam meriwayatkan bahwa bapaknya mendengar Umar ibnul Khaththâb berkata, "Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk bersedekah, dan itu bertepatan dengan adanya harta di tanganku ketika itu. Aku pun berkata, 'Hari ini aku pasti akan mendahului Abu Bakar (bersedekah) kalau aku memang pernah bisa mendahuluinya'. Lalu aku bersedekah dengan setengah hartaku. Kemudian Rasulullah bertanya kepadaku, 'Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?' Aku menjawab, 'Sejumlah harta (yang aku sedekahkan) itu'. Lalu Abu Bakar datang menyedekahkan seluruh hartanya. Rasulullah bertanya kepadanya, 'Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?' Ia menjawab, 'Aku tinggakan untuk mereka Allah dan Rasulnya'. Mendengar itu, aku pun berkata, 'Aku tidak akan pernah bisa mendahuluimu dalam hal apa pun selamanya'."
Diriwayatkan dari Thalhah ibnu Yahyâ ibnu Thalhah, ia berkata, "Nenekku, Su`dâ ibnu `Auf Al-Murriyyah, istri Thalhah ibnu `Ubaidillah, bercerita kepadaku, 'Pada suatu hari, Thalhah datang kepadaku dalam keadaan lunglai. Aku pun bertanya, 'Mengapa aku melihat wajahmu masam? Ada apa denganmu? Apakah ada sesuatu yang membuatmu ragu terhadapku, supaya aku dapat membantumu?' Ia menjawab, 'Tidak, sungguh engkau adalah istri terbaik bagi seorang muslim'. Aku bertanya, 'Lantas ada apa denganmu?' Ia menjawab, 'Harta yang ada padaku telah banyak dan menyibukkanku'. Aku berkata, 'Tidak mengapa, bagi-bagikanlah harta itu'. Lalu ia membagi-bagikannya (kepada fakir miskin) sampai tidak tersisa walau hanya satu dirham." Thalhah ibnu Yahyâ (rawi hadits) berkata, "Lalu aku bertanya kepada penjaga harta Thalhah, 'Berapa jumlah harta yang dibagi-bagikan itu?' Ia menjawab, 'Empat ratus ribu'."
Sungguh, wahai saudaraku, sedekah pada bulan Ramadhan memiliki keistimewaan tersendiri. Karena itu, bersegera dan bersemangatlah menunaikannya sesuai kondisi Anda. Sedekah pada bulan Ramadhan memiliki beberapa bentuk:
a. Memberi makan orang lain. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan pun memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka, (dengan) Surga dan (pakaian) sutera." [QS. Al-Insân: 8-12]
Generasi Salaf sangat antusias memberi makan orang lain, serta mendahulukan itu daripada banyak ibadah yang lain. Baik bentuknya memberi makan orang yang lapar, maupun memberi hidangan kepada saudara yang shalih. Artinya, tidak disyaratkan bahwa orang yang menerima makanan kita harus fakir (miskin).
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, berilah makan orang lain, sambunglah tali silaturahim, dan shalatlah di malam hari ketika manusia tidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan selamat." [HR. Ahmad dan At-Tirmîdzi. Menurut Al-Albâni: shahîh]
Sebagian ulama salaf berkata, "Sungguh, mengundang sepuluh orang sahabatku dan memberi mereka makanan yang mereka sukai lebih aku sukai daripada memerdekakan sepuluh orang dari keturunan Ismâ`îl."
Banyak tokoh salaf yang lebih mendahulukan orang lain untuk makan, sementara ia sendiri berpuasa. Di antara mereka adalah Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, Dâwûd Ath-Thâ'i, Mâlik ibnu Dînâr, dan Ahmad ibnu Hanbal. Ibnu Umar tidak mau berbuka kecuali bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Kalau suatu ketika ia mengetahui bahwa keluarganya telah menolak kedatangan para fakir miskin, ia tidak akan makan pada malam itu. Ada juga sebagian ulama salaf yang memberi saudara-saudaranya makan, sementara ia sendiri berpuasa. Ia mau duduk melayani dan menghibur mereka. Di antara mereka adalah Al-Hasan dan Abdullah ibnul Mubârak.
Abus Sawwâr Al-`Adawi berkata, "Beberapa orang lelaki dari Bani `Adi biasa shalat di mesjid ini. Setiap mereka sama sekali tidak pernah mau memakan makanannya seorang diri. Kalau ada orang yang makan bersamanya baru ia akan makan, dan kalau tidak ada, ia akan membawa makanannya ke mesjid dan makan bersama orang banyak."
Ibadah memberi makan orang lain akan melahirkan banyak ibadah yang lain, di antaranya: mencintai dan menyayangi saudara yang diberi makan, sehingga itu dapat menjadi penyebab masuk Surga. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Kalian tidak akan masuk Surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai."
Ibadah ini juga akan membawa kepada pergaulan dengan orang-orang shalih, sekaligus mengharapkan pahala dengan membantu mereka melakukan ibadah, karena mereka akan menjadi kuat beribadah dengan makanan Anda.
b. Memberi makan orang yang berpuasa. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang memberi makan seorang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa dikurangi sedikit pun pahalanya (orang yang berpuasa itu)." [HR. Ahmad dan An-Nasâ'i. Menurut Al-Albâni: shahîh]
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Salmân—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang memberi makan di dalamnya (bulan Ramadhan) seorang yang berpuasa, maka itu akan menjadi (penyebab) ampunan bagi dosa-dosanya dan pembebasan dirinya dari Neraka. Ia juga akan mendapat pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, tanpa dikurangi sedikit pun pahalanya (orang yang berpuasa)." Para shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, tidak semua kami memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang yang berpuasa." Mendengar itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun bersabda, "Allah akan memberikan pahala ini kepada siapa saja yang memberi makan orang yang berpuasa walau dengan segelas susu bercampur air, sebutir kurma, atau seteguk air minum. Barang siapa yang memberi minum orang yang berpuasa maka Allah akan memberinya minum dari Haudh (telaga)-ku (di Akhirat kelak) yang membuatnya tidak akan pernah haus untuk selamanya, hingga ia masuk Surga."
4. Memperbanyak membaca Al-Quran. Saudaraku, saya akan menyebutkan di sini dua tradisi generasi salafushshâlih, yaitu:
Pertama, memperbanyak membaca Al-Quran;
Kedua, menangis ketika membaca atau mendengar Al-Quran, karena rasa khusyuk dan tunduk kepada Allah.
Pertama, Banyak Membaca Al-Quran.
Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Quran. Karena itu, sudah seyogianya seorang hamba muslim memperbanyak membaca Al-Quran. Di antara tradisi generasi salaf adalah sangat perhatian terhadap Kitab Allah. Jibril—`Alaihis salâm—juga melakukan tadarus Al-Quran bersama Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pada bulan Ramadhan. Utsmân ibnu `Affân—Semoga Allah meridhainya—menamatkan Al-Quran satu kali dalam sehari. Sebagian ulama Salaf menamatkan bacaan Al-Quran dalam shalat Tarawih tiga malam sekali. Ada juga yang satu minggu sekali, atau sepuluh hari sekali. Mereka membaca Al-Quran di dalam dan di luar shalat. Asy-Syâfi`i menamatkan Al-Quran enam puluh kali selama satu bulan Ramadhan, dan itu ia baca di luar shalat. Qatâdah selalu menamatkan Al-Quran satu kali dalam seminggu, dan khusus pada bulan Ramadhan, ia menamatkannya satu kali dalam tiga hari. Sementara pada sepuluh hari terakhir, ia menamatkannya setiap malam.
Lain lagi dengan Az-Zuhri, ketika masuk bulan Ramadhan, ia tidak mau membaca (belajar) hadits dan mengikuti majelis para ulama. Ia mengkhususkan diri hanya untuk mambaca Al-Quran dengan mushaf. Sufyân Ats-Tsauri, ketika masuk bulan Ramadhan, meninggalkan ibadah-ibadah yang lain dan berkonsentrasi untuk membaca Al-Quran.
Ibnu Rajab berkata, "Sesungguhnya larangan menamatkan Al-Quran dalam waktu kurang dari tiga hari adalah bagi orang yang terus-menerus melakukan itu. Adapun pada waktu-waktu yang diutamakan seperti bulan Ramadhan dan di tempat-tempat yang utama seperti di Mekah, bagi orang yang memasukinya dan bukan penduduknya, diutamakan untuk memperbanyak membaca Al-Quran di dalamnya, demi memanfaatkan keutamaan waktu dan tempat itu. Pendapat ini adalah pendapat Ahmad, Ishâq, dan imam-imam yang lain. Hal ini juga dikuatkan oleh amalan para ulama selain mereka, seperti yang telah disebutkan."
Kedua, Menangis Ketika Membaca Al-Quran.
Bukan merupakan perilaku ulama Salaf membaca Al-Quran seperti membaca syair, tanpa mentadaburi dan memahaminya. Mereka justru sangat terpengaruh oleh firman-firman Allah—`Azza wajalla, dan hati mereka tergerak karenanya. Dalam sebuah hadits shahîh disebutkan bahwa Abdullah ibnu Mas`ûd berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepadaku, 'Bacakanlah (Al-Quran) untukku!' Mendengar itu, aku pun menjawab, 'Bagaimana aku akan membacakannya kepada Anda sementara ia diturunkan kepada Anda?' Beliau bersabda, 'Sesungguhnya aku suka mendengarnya dari orang lain'. Lalu aku membaca surat An-Nisâ', sampai ketika aku membaca ayat (yang artinya): 'Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).' [QS. An-Nisâ': 41], beliau bersabda, 'Cukup!' Aku pun menoleh dan melihat kedua mata beliau berlinang air mata." [HR. Al-Bukhâri]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Ketika turun ayat (yang artinya): 'Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakannya dan tidak menangis?' [QS. An-Najm: 59-60], Ahlush Shuffah menangis hingga air mata membasahi pipi-pipi mereka. Ketika Rasulullah mendengar isak tangis mereka, beliau juga ikut menangis, dan kami pun menangis karena tangisan beliau."
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidak akan masuk Neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah."
Ibnu Umar pernah membaca surat Al-Muthaffifîn, hingga ketika sampai pada ayat (yang artinya): "(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?" [QS. Al-Muthaffifîn: 6], ia menangis hingga jatuh tersungkur, dan tidak mau meneruskan bacaannya ke ayat setelah itu.
Diriwayatkan dari Muzâhim ibnu Zufar, ia berkata, "Sufyân Ats-Tsauri suatu ketika mengimami kami shalat Maghrib. Ketika membaca ayat (yang artinya): "Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan." [QS. Al-Fâtihah: 5], ia menangis sampai bacaannya terputus. Kemudian ia mengulangi bacaan Al-Fâtihah dari awal."
Diriwayatkan dari Ibrâhîm ibnul Asy`ats, ia berkata, "Aku pernah mendengar Fudhail membaca surat Muhammad pada suatu malam sambil menangis dan mengulang-ulang ayat (yang artinya): 'Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal kalian. [QS. Muhammad: 31]. Ia ketika itu berkata, 'Engkau akan menampakkan hal ihwal kami. Jika Engkau menampakkan hal ihwal kami berarti Engkau akan membuka segala keburukan kami dan menyingkap segala tirai (aib) kami. Sesungguhnya jika Engkau mengungkapkan segala hal ihwal kami berarti Engkau menghancurkan dan mengazab kami'. Lalu ia menangis tersedu-sedu."
5. Duduk (berzikir) di mesjid setelah Subuh sampai terbit matahari. Dalam hadits disebutkan: "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—apabila selesai melakukan shalat Subuh, beliau duduk di tempat shalat beliau sampai terbit matahari." [HR. Muslim]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Anas—Semoga Allah meridhainya, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang shalat Subuh berjemaah, kemudian duduk berzikir mengingat Allah sampai terbit matahari, lalu shalat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna." [HR. At-Tirmîdzi. Menurut Al-Albâni: shahîh]. Ini berlaku di semua hari, apalagi di hari-hari bulan Ramadhan.
Karena itu, wahai saudaraku, tolonglah diri Anda untuk mampu meraih pahala besar ini dengan tidur pada malam hari, serta mengikuti tradisi orang-orang shalih, memerangi nafsu karena Allah, dan menancapkan obsesi yang tinggi untuk meraih posisi paling mulia di Surga.
6. Iktikaf. Dalam hadits disebutkan: "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—beriktikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari, dan pada tahun beliau wafat, beliau beriktikaf selama dua puluh hari." [HR. Al-Bukhâri]. Iktikaf adalah sebuah ibadah yang mengumpulkan banyak ibadah lain di dalamnya, seperti tilawah, shalat, zikir, doa, dan lain-lain.
Mungkin saja orang yang belum pernah mencobanya mengira bahwa ibadah ini sangat sulit dan berat. Tetapi sebenarnya ia begitu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah. Barang siapa yang mempersenjatai diri dengan niat yang ikhlas dan keinginan yang kuat, niscaya Allah akan membantunya.
Iktikaf yang paling utama adalah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sambil mencari malam Lailatul Qadar. Iktikaf adalah perilaku menyendiri yang disyariatkan dalam Agama kita. Seorang yang beriktikaf memenjarakan dirinya untuk beribadah dan berzikir di hadapan Allah, memutuskan hubungan dengan segala pekerjaan yang menyibukkannya. Lahir batinnya berdiam melakukan munajat di hadapan Allah, mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak ada lagi yang diinginkannya selain Allah dan amalan yang diridhai-Nya.
7. Ibadah Umrah di bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits shahîh, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Umrah pada bulan Ramadhan menyamai pahala haji." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Dalam riwayat lain: "Menyamai pahala haji bersamaku." Maka beruntunglah engkau, wahai saudaraku, bila mampu menunaikan haji bersama Nabi.
8. Menunggu malam Lailatul Qadar. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam Lailatul Qadar. Dan tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan." [QS. Al-Qadr: 1-3]
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang melakukan qiyâm (mendirikan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh iman dan mengharap ridha Allah niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga selalu mencari dan menunggu malam Lailatul Qadar (dengan beribadah), serta memerintahkan para shahabat beliau untuk mencari dan menunggunya. Beliau juga membangunkan keluarga beliau pada sepuluh malam terakhir, dengan harapan mereka mendapatkan Lalilatul Qadar itu. Sebuah hadits diriwayatkan dari 'Ubâdah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang menghidupkan malam dengan penuh harap menemui Lailatul Qadar, kemudian malam itu memang malam Lailatul Qadar, maka akan diampuni dosa-dosanya yang akan datang dan yang telah lalu." [HR. Ahmad dan An-Nasâ'i. Menurut Al-Hâfiz: Hadits ini sesuai dengan kriteria hadits Shahîh]
Beberapa ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi`in diriwayatkan melakukan mandi dan memakai wangi-wangian pada sepuluh malam terakhir untuk mencari malam Lailatul Qadar. Malam yang dimuliakan dan ditinggikan kedudukanya oleh Allah.
Maka, wahai orang-orang yang menyia-nyiakan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, kejarlah ketinggalanmu pada malam Lailatul Qadar. Karena malam itu sebanding dengan satu umur manusia. Amal kebaikan di dalamnya lebih baik daripada amal kebaikan yang dilakukan selama seribu bulan di waktu lain. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikannya berarti benar-benar kehilangan seluruh kebaikan.
Malam Lailatul Qadar ini jatuh pada salah satu malam di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil. Dan yang paling masyhur, malam ke dua puluh tujuh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka`b—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam keberapa Laulatul Qadar itu. Ia adalah malam di mana Rasulullah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat di dalamnya. Ia adalah malam kedua puluh tujuh." [HR. Muslim]. Ubay ibnu Ka`b bersumpah atas hal ini, dan berkata, "Dengan tanda yang dikabarkan kepada kita oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahwa matahari pada keesokan harinya tidak memiliki cahaya yang tajam."
Hadits lain diriwayatkan dari 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Wahai Rasulullah, jika aku bertemu dengan Lailatul Qadar, apakah yang harus aku ucapkan saat itu?" Beliau menjawab, "Berdoalah denganmengucapkan: 'Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan menyukai keampunan. Karena itu, ampunilah aku'." [HR. Ahmad dan At-Tirmidzi. Menurut Al-Albâni: shahîh]
9. Memperbanyak zikir, doa, dan istighfar. Saudaraku yang terhormat, hari-hari dan malam-malam bulan Ramadhan adalah waktu-waktu yang sangat agung. Karena itu, manfaatkanlah ia untuk memperbanyak zikir dan doa, terutama pada waktu-waktu istijâbah, seperti:
a. Ketika berbuka, karena orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak akan ditolak, yaitu pada saat ia berbuka;
b. Sepertiga malam terakhir, ketika Tuhan kita yang Maha Agung turun ke langit dunia seraya berfirman (yang artinya): "Apakah ada yang sedang berdoa sehingga Aku kabulkan doanya? Apakah ada yang beristighfar sehingga Aku mengampuni dosanya?"
c. Beristigfar di waktu sahur (menjelang Subuh). Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan di waktu sahur mereka beristigfar." [QS. Adz-Dzâriyât: 18]
Terakhir, saudaraku, setelah perjalanan di kebun Surga dan bernaung di bawah naungan amal shalih ini, saya mengingatkan Anda kepada suatu hal penting. Tahukah Anda apa itu? Ia adalah ikhlas. Ya, keikhlasan. Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa pun dari puasanya selain lapar dan dahaga. Banyak orang yang shalat malam, tapi tidak mendapatkan apa pun dari shalat malamnya selain begadang dan letih. Semoga Allah melindungi kita semua dari hal itu.