Ibadah haji berbeda dengan ibadah-ibadah lainnnya dalam beberapa bangunan kaidah fikihnya. Hal ini karena telah dimaklumi bahwa meninggalkan salah satu kewajiban atau rukun ibadah apapun apabila ditinggalkan secara sengaja, hal itu akan membatalkannya. Hal inilah yang membuat ibadah haji berbeda dari ibadah yang lainnya, karena meninggalkan salah satu kewajiban atau rukunnya tidak membuat haji tersebut batal, walaupun dilakukan secara sengaja. Yang diwajibkan ketika meninggalkan kewajiban haji ini hanyalah mengerjakan beberapa amalan untuk menjadikah haji itu sah, atau keluar darinya. Ditambah lagi dengan berbagai perbedan pendapat yang disebutkan oleh para ulama dalam masalah ibadah yang satu ini.
Berdasarkan atas apa yang telah kami sebutkan di atas, kita akan berusaha membaca dan memahami dua hadits berikut ini, dan hadits-hadits lain yang semakna denganya:
Disebutkan dalam kitab Shahîhain, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—berdiri ketika haji Wadâ` di Mina untuk ditanya oleh manusia. Lalu datanglah seorang laki-laki dan berkata, "Saya tidak tahu, saya mencukur rambut saya sebelum menyembelih." Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—menjawab, "Sembelihlah, tidak ada dosa bagimu!" Kemudian datanglah seseorang lagi dan berkata, "Saya tidak tahu, saya menyembelih sebelum melontar (Jumrah)." Rasulullah kemudian menjawab, "Lontarlah, tidak ada dosa bagimu!" Tak satupun amalan yang ditanyakan baik yang didahulukan atau diakhirkan, melainkan beliau bersabda, "Lakukanlah, tidak ada dosa bagimu!" [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—berkhutbah pada hari Nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah). Lalu berdirilah serang laki-laki dan berkata, "Saya mengira bahwa (amalan) ini sebelum (amalan) ini, saya mencukur rambut sebelum menyembelih, saya menyembelih sebelum melontar (Jumrah) dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya. Sementara Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—menjawab, "Lakukanlah, tidak ada dosa bagi kalian, untuk mereka semua yang kalian lakukan." Tak satupun perkara yang ditanya kepada beliau ketika itu, melainkan beliau menjawab, "Lakukanlah, tidak ada masalah!" [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Kosakata Hadits
Kata: "`an syai'in (tentang sesuatu pun)"
Perkataan Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam: "if`al wa lâ haraj (lakukanlah, tidak ada masalah!", lakukanlah manasik yang tersisa, karena apa yang telah engkau lakukan benar, tidak ada masalah engkau memajukan atau mengakhirkan.
Kandungan Hadits
Pembahasan hadits-hadits di atas terdapat dalam berbagai riwayat yang berbeda. Yang dapat disimpulkan dari mazhab ulama dalam memahami hadits-hadits tersebut adalah bahwa hadits-hadits tersebut berbicara tentang amalan-amalan pada hari Nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah). Hal ini karena semua riwayat dengan berbagai perbedaan lafaznya, merujuk khusus kepada amalan-amalan hari Nahr ini, sebab sebagian besar manasik haji dilakukan pada hari ini seperti, melontar Jumrah `Aqabah (kubrâ), penyembelihan Hadyu (kurban bagi yang haji Tamattu` dan ifrâd), halq (mencukur bersih rambut) dan taqshîr (memendekkan rambut) dan Thawâf Ifâdhah. Maka, hadits ini tidak menunjukkan raf`ul haraj (kebolehan/ ketiadaan dosa) dalam memajukan dan mengakhirkan seluruh manasik Haji. Oleh karena itu, tidak boleh—umpamanya—melontar Jumrah sebelum melaksanakan wuquf di Arafah dan tidak sah Thawâf Ifadhah sebelum berwuquf. Demikian juga tidak sah melakukan Sa`i bagi yang melakukan Haji Tamattu` sebelum Thawâf Ifâdhah.
Urutan manasik Haji pada hari Nahr yang disunnahkan adalah sebagai berikut: melontar Jumrah `Aqabah, menyembelih hadyu (kurban), mencukur bersih atau memendekkan rambut, kemudian Thawâf Ifâdhah. Para ulama menyepakati disunnahkannnya urutan seperti ini. Mereka juga sepakat bahwa barang siapa yang memajukan atau mengakhirkan manasik-manasik pada hari Nahr, hal itu dibolehkan dan disahkan baginya. Hanya saja mereka berbeda pendapat apakah mereka wajib membayar kaffârah atau tidak, sebagian mereka mewajibkannya dan sebagian yang lain tidak mewajibkannya.
Pendapat mayoritas ulama adalah tidak ada masalah bagi orang yang mendahulukan halq sebelum melontar jumrah, demikian juga dengan orang yang memajukan atau memundurkan salah satu manasik, karena lupa atau tidak tahu, bahkan orang yang sengaja melakukannya, untuk manasik-manasik pada hari Nahr. Diriwayatkan dari Hasan dan Thâwûs bahwa keduanya berkata, "Tidak ada kewajiban apapun bagi orang yang mendahulukan halq dari melontar Jumrah." Diriwayatkan juga dari Athâ` ibnu Abi Rabâh bahwa ia berkata, "Siapa yang mendahulukan suatu manasik dari manasik yang lain, hal itu tidak ada masalah baginya."
Pendapat mayoritas ulama tentang dibolehkan memajukan dan mengakhirkan manasik Haji pada hari Nahr ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam: "Lakukanlah, tidak ada dosa bagimu!" Karena jika hadits di atas ditujukan hanya untuk orang yang lupa atau tidak tahu saja, maka ia tidak bermakna apa-apa. Hal ini karena seluruh ibadah wajib yang ditinggalkan oleh seseorang karena lupa atau tidak tahu, meninggalkannya tidak akan menyebabkan orang itu berdosa, walaupun ia tetap dituntut untuk menutupi kecacatan atau kekurangan dalam melaksanakannya, sesuai karakteristik masing-masing ibadah. Berbeda dengan orang meninggalkannya secara sengaja, walaupun ia dituntut untuk mengganti kecacatan atau ketidaksempurnaan ibadah itu, itu ia juga berdosa karena meninggalkannya secara sengaja.
Jika hal ini jelas, kita mengetahui bahwa hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam: "Lakukanlah, tidak ada dosa bagimu!" tidak hanya mengandung pengangkatan (tidak diberlakukannya) dosa bagi orang yang menjalankan manasik-manasik Haji secara tidak berurutan pada hari Nahr karena lupa atau tidak tahu, sebab hal ini telah dimaklumi dalam ketentuan-ketentuan dasar Syariah. Dan (pengangkatan dosa) ini juga tidak terkhusus untuk manasik-manasik pada hari Nahr, tetapi mencakup siapa saja yang melakukan kecacatan dalam menjalankan seluruh manasik Haji baik karena lupa atau tidak tahu. Walaupun ia tetap diwajibkan untuk mengganti kecacatan yang terjadi itu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Syariah seperti yang telah disebutkan di atas.
Jika demikian halnya, maka sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam: "Lakukanlah, tidak ada dosa bagimu!" mengandung makna lebih dari sekedar pengangkatan dosa, yakni dosa yang ditimbulkan karena kecacatan dalam melaksanakan urutan manasik-manasik pada hari Nahr, sehingga, tidak diwajibkan bagi orang yang melakukan kecacatan tersebut membayar fidyah atau pengganti atau selainnya. Jika melakukan kecacatan ini tidak berkonsekuensi apapun, maka sama saja dalam hal ini antara orang yang sengaja atau lupa atau tidak tahu. Karena kalau "urutan manasik" tersebut wajib hukumnya, berarti ia tergolong perintah Syariat yang tidak gugur karena lupa atau tidak tahu. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hadits di atas menunjukkan sunnatnya urutan manasik-manasik pada hari Nahr dan bahwa yang lebih utama adalah melaksanakannya sesuai dengan urutan yang dicontohkan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam, serta meninggalkan urutan ini tidak mengharuskan sesuatu apapun.
Adapun masalah ketidaktahuan penyanya tentang hukum-hukum Haji dalam beberapa riwayat hadits di atas, tidaklah menunjukkan bahwa "pengangkatan dosa" hanya karena alasan ketidaktahuan. Karena sifat ketidaktahuan penanya ini hanya sekedar keterangan tentang realita pertanyaan tersebut, dan hal ini tidak kemudian menjadi pengikat atau pengkhusus hukum hanya untuk keadaan seperti itu dan bukan keadaan yang lain.
Bagaimanapun juga, hadits ini dengan berbagai riwayatnya yang berbeda-beda menjadi dasar utama dalam memahami seluruh hukum-hukum Haji, sebagaimana juga menjadi dalil yang kuat terutama dalam men-shahîhkan banyak sekali manasik-manasik para jamaah Haji. Dalam hadits tersebut terdapat kelapangan dan keluasan yang menunjukkan kemudahan Syariah ini dan tujuannya untuk mengangkat dosa dan kesulitan para hamba. Maha benar Allah ketika berfirman yang artinya: ".Dan ia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan." [QS. Al-Hajj: 78]