Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Adab Kepada Diri Sendiri

Kekalahan Mental

 Kekalahan Mental

Bismillâhirrahmânirrahîm. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga, para shahabat, dan semua pengikut beliau.

Orang lemah terkadang takluk di hadapan orang kuat hanya karena masalah imajinasi. Terjadi semacam rasa frustrasi dan rendah diri akibat siasat dramatisasi dan peremehan. Kondisi ini membantu Syetan-syetan yang sesungguhnya lemah, baik dari kalangan Jin maupun manusia, untuk menguasai sebagian kaum Muslimin. Ditambah lagi dengan kelemahan atau kehilangan mata hati, masalah ini semakin menjadi penyakit akut dalam kehidupan individu, kelompok, dan bangsa muslim, sehingga akhirnya kekalahan mental berpindah menjadi kekalahan di medan perang. Musuh berhasil menguasai negeri-negeri muslim dan seluruh penduduknya. Nilai-nilai dan parameter kebenaran pun hilang. Berikut ini adalah beberapa bentuk kekalahan mental itu:

Kekalahan dalam Nilai, Ide, dan Prinsip

·         Sunnah Menjilat Jari Setelah Makan

Pernah terjadi, seorang muslim menumpangi sebuah kapal bersama beberapa orang asing. Setelah selesai makan, ia merasa malu untuk menjilati jari-jarinya, karena takut dituduh berperilaku tidak layak atau tidak memperhatikan nilai-nilai etiket. Tetapi setelah orang-orang asing tersebut selesai makan, ternyata mereka menjilati jari-jari mereka. Orang itu pun terperangah. Alangkah hebatnya andaikan ia lebih dahulu menerapkan sunnah ini. Alih-alih menjadi orang yang diikuti, ia justru terpaksa mengikut kepada orang-orang asing itu.

·         Menjabat Tangan Wanita, Ikhthilâth, dan Pamer Aurat

Salah satu gambaran kekalahan mental Umat ini adalah fenomena-fenomena yang sering kita saksikan seperti jabat tangan antara laki-laki dan perempuan non-mahram, pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, pamer aurat, dan perilaku sebagian wanita yang dengan leluasa memasukkan laki-laki non-mahram ke rumahnya ketika suaminya sedang tidak di rumah. Semua ini terjadi karena tekanan tradisi dan realita, anggapan bahwa itu adalah wajar, dilakukan oleh banyak orang, dan demi mengikuti gaya hidup orang lain. Yang berbahaya adalah pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan, sementara mereka tahu ada larangan melakukannya di dalam hadits-hadits dan sunnah Nabi. Penyebab semua itu tiada lain adalah kelemahan iman dan keyakinan. Karena bila tekad sudah kuat, seseorang pasti dapat teguh berdiri di atas kebenaran, walaupun harus sendirian. Ia akan berkata kepada dirinya: Tapakilah jalan kebenaran tanpa peduli sedikitnya orang yang berjalan di atasnya, dan jauhilah jalan kesesatan tanpa terpedaya oleh banyaknya orang yang sesat.

Ratu Kecantikan, Mode, dan Selebritis

Dalam konteks yang sama, tersebar promosi-promosi kontes kecantikan, dan kehidupan harus tunduk mengikuti mode. Dunia Islam dan masyarakat di berbagai belahan bumi tertipu oleh sihir selebritis: para penari, penyanyi, aktor, dan olahragawan. Semuanya menjadi kilat yang menyilaukan mata dan membuat kita lupa kepada hakikat penciptaan kita yang diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya): "Aku tidak menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku." [QS. Adz-Dzâriyât: 56]. Nilai-nilai keimanan dan kedudukan para ulama pun luntur di mata banyak orang, akibat serangan ganas ini.

Kekalahan dalam Keyakinan

·         Malu dengan Istilah-istilah Syariat

Jika sebagian orang merasa malu menampilkan beberapa syiar Islam seperti jenggot, cadar, dll., maka ada pula sebagian orang yang mengalami kekalahan dalam hal yang terkait dasar-dasar Agama. Ia tidak sanggup mengucapkan kata 'Islam' yang begitu jelas. Jika terpaksa, ia akan menggunakan istilah: agama-agama samawi. Demikianlah, hakikat kebenaran pun tercemar, padahal Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka (ingatlah) sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." [QS. Âli `Imrân: 19]

·         Kekalahan Politik dan Militer

Musuh telah berhasil mengelabui sebagian orang yang bermata hati lemah di kalangan Umat ini. Mereka membayangkan bahwa musuh adalah kekuatan yang tidak terkalahkan. Mereka adalah pemilik sistem ilmiah dan legitimasi internasional, dan di tangan mereka dunia dapat dihancurkan, seakan-akan mereka dapat mengatakan: kun fayakûn! Seolah-olah mereka dapat mengetahui jejak semut hitam di atas batu hitam di malam gelap gulita. Omong kosong itu pun dipercayai oleh manusia-manusia malang yang melupakan syariat Allah dan realita sekeliling mereka.

Sementara itu, musuh begitu lihai membuat rekayasa seperti ini. Mereka menggambarkan bahwa intelijen mereka adalah yang paling canggih di dunia, memiliki bom nuklir dan senjata-senjata luar biasa. Untuk meyakinkan hal ini, mereka menampilkannya dalam bentuk informasi-informasi yang seolah-olah dibocorkan di luar keinginan mereka. Musuh seperti mereka bagaikan orang yang melemparkan kelemahannya kepada kita, sebagaimana pepatah mengatakan: "Ia melemparku dengan penyakitnya lalu menyelinap pergi." Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui." [QS. Al-`Ankabût: 41]

Padahal mereka tidak berdaya menghadapi gempa bumi, badai, dan banjir yang menghantam mereka. Sebagaimana mereka tidak mampu menghadapi umat yang mempersenjatai diri dengan senjata iman. Dahulu, orang-orang Romawi melarikan diri dari pertempuran jika mendengar kedatangan Khalid ibnul Walîd—Semoga Allah meridhainya. Kepemilikan mereka akan satelit canggih dan senjata-senjata modern tidak akan mengubah realitas apa pun. Karena perjuangan di tengah pertempuran dari awal hingga akhir tetap membutuhnya orang-orang yang menjual jiwa mereka kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ.

Mereka yang ada sekarang sama saja dengan nenek moyang mereka dahulu. Lihatlah apa yang dilakukan Allah terhadap kaum `Âd yang dahulu berkoar: "Siapakah yang lebih kuat dari kami?" Allah—Subhânahu wata`âlâ—pun mengirim badai dingin yang membuat tidak satu pun dari mereka yang tersisa! Demikian pula dengan kaum Tsamûd, Firaun, dan penguasa-penguasa zalim lainnya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum `Âd? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. Dan kaum Tsamûd yang memotong batu-batu besar di lembah. Dan kaum Firaun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak). Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. Karena itu, Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi." [QS. Al-Fajr: 6-14]

Orang-orang kafir, walaupun begitu sesumbar dengan kekuatan dan kehebatan mereka, tetap saja tidak bisa menyembunyikan kekurangan dan kelemahan mereka di hadapan Pencipta langit dan bumi. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai sekalian manusia, kalianlah yang butuh kepada Allah, dan Allah Dialah yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji." [QS. Fâthir: 15]

Bahaya Perang Pemikiran

Negara-negara besar sangat menyadari akan bahaya perang pemikiran. Oleh karena itu, mereka rela menghabiskan jutaan uang untuk mendirikan departemen-departemen informasi guna melindungi rakyat mereka dari bahaya perang ini, sekaligus untuk memberikan kekalahan mental pada diri musuh. Negara Jerman pada masa kepemimpinan Nazi adalah yang paling giat menggunakan metode ini di masa Perang Dunia. Kita juga perlu mengenal metode perang semacam ini, melindungi kaum muslimin dari perang psikologis, dan berusaha mengerdilkan kekuatan musuh, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam perang Uhud. Karena perang adalah tipuan. Musuh menebarkan berita tentang keamanan situasi supaya kita santai dan tidak bersiap-siap. Mereka juga menyebarkan isu-isu ketakutan supaya kita gemetar dan gentar. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah Syetan yang menakut-nakuti (kalian) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik). Karena itu, janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman." [QS. Âli `Imrân: 175]

Dahulu, sebagian wilayah Syam menyerah akibat menderita kekalahan mental yang menguasai banyak jiwa kaum muslimin saat itu, setelah berita kekejaman Tatar mendahului kedatangan mereka. Namun kemudian Saifuddîn Qutz dan Baybars—berkat Rahmat Allah—berhasil menang, mengusir, dan mematahkan kekuatan mereka pada perang `Ain Jâlût.

Bagaimana Caranya?

Tidak ada jalan keluar dari situasi kritis ini selain kembali dengan penuh kejujuran kepada ajaran para nabi dan rasul. Karena Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui." [QS. Al-Munâfiqûn: 8]

Para nabi menghadapi kaum-kaum mereka tanpa rasa takut dan lemah. Jiwa mereka tidak pernah gentar menghadapi kebatilan.  Nabi kita berucap, "Demi Allah, kalaulah mereka menaruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan dakwah Agama ini niscaya aku tidak akan pernah meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku mati di jalannya."

Untuk menghambat dakwah Islam, kaum Quraisy pernah menawarkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—kekuasaan, harta benda, dan kehormatan. Mereka juga menawarkan jasa pengobatan jika beliau menderita sakit. Namun beliau tidak pernah surut memerangi kesyirikan dan kaum musyrikin.

Sebelumnya, Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—juga tidak pernah merasa lemah dalam menyeru ayah dan kaumnya. Ia dilemparkan ke dalam kobaran api, namun ia hanya berkata, "Cukuplah bagiku Allah, sebaik-baik penolong."

Gunung-gunung boleh bergetar goyah, namun spirit keimanan tidak akan goyah di dalam hati para nabi. Ketika Firaun berhasil mengejar Nabi Musa dan orang-orang yang beriman bersamanya, kebinasaan sudah terpampang jelas di depan mata mereka; Firaun dan bala tentaranya berada di belakang mereka, sedangkan di depan mereka laut luas membentang. Bani Israil yang bersamanya ketika itu berkata, "Sungguh kita benar-benar akan tersusul." [QS. Asy-Syu`arâ': 62]. Tapi Nabi Musa dengan tegar menjawab, "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku ada bersamaku, Dia akan memberi petunjuk (jalan) kepadaku." [QS. Asy-Syu`arâ': 62]

Para pengikut nabi-nabi Allah juga diberikan oleh Allah keteguhan dan kemenangan mental dalam segala medan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari Kiamat)." [QS. Ghâfir: 51]

Orang-orang mulia memahami betul tujuan mereka diciptakan, sehingga mereka tetap tegar hati, hingga pada saat-saat paling genting sekalipun. Lihatlah misalnya kisah Abdullah ibnu Hudzâfah As-Sahmi, Khubaib ibnu `Adi, Zaid ibnud Datsinah, Anas ibnun Nadhar, dan `Âshim ibnu Tsâbit.

Lihatlah bagaimana Khalid ibnul Walîd berkata kepada pasukan Romawi, "Aku datang dengan kaum yang lebih mencintai kematian (syahid) daripada kehidupan."

Ibnu Taimiyah, di dalam penjaranya di benteng Damaskus, berkata, "Apa yang akan dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya penjara bagiku adalah khulwah (menyendiri beribadah kepada Allah), kematian bagiku adalah syahid, dan terusir dari kampung halaman bagiku adalah wisata." Ketika pintu penjaranya dikunci, ia melantunkan firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa." [QS. Al-Hadîd: 13]. Sebelah dalam yang berisi rahmat adalah tempatnya berada, sedangkan sebelah luar yang berisi azab adalah tempat mereka yang memenjarakannya.

Sesungguhnya ketika Umat ini berpegang teguh kepada Syariat Tuhannya, niscaya ia tidak akan gentar menghadapi kuatnya kebatilan, tidak akan berpengaruh oleh perang pemikiran yang dilancarkan para musuh. Sebab Umat ini memiliki ciri khas yang membedakannya dengan umat-umat lain yang terbiasa lari dari medan pertempuran. Umat-umat lain adalah manusia-manusia yang paling rakus terhadap dunia. Rumah sakit-rumah sakit kejiwaan dipenuhi oleh mereka, karena dunia adalah puncak cita-cita dan pengetahuan mereka.

Orang beriman yang menyambungkan antara langit dengan bumi, mengaitkan dunia dengan Akhirat, tidak akan pernah tunduk pada kekalahan mental. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." [QS. Ath-Thalâq: 2-3]

Mereka mungkin saja ditimpa musibah dan ujian, tetapi syiar mereka ketika itu adalah: "Dan Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." [QS. Ath-Thalâq: 7]. Seorang mukmin mengetahui bahwa jalan keluar selalu ada bersama kesulitan, kemudahan selalu ada bersama kesusahan, sehingga ia selalu optimis akan datangnya kebaikan pada saat-saat sulit. Ia tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji." [QS. Asy-Syûrâ: 28]

Kelemahan yang dialaminya sekarang ia yakini bukanlah akhir dari kisah hidupnya, karena semua itu akan segera berlalu dengan izin Allah, dan kelak ia akan memegang kepemimpinan dalam Agama. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya) "Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)." [QS. Al-Qashash: 5]

Seorang muslim mungkin saja diganggu oleh Syetan, namun ia segera mengadu kepada Allah, memperbanyak zikir, dan menyadari bahwa tiada daya upaya melainkan dari Allah. Akibatnya, Syetan-syetan menjadi kecut setelah sebelumnya menggebu-gebu, dan mereka pun harus mundur dalam kondisi kalah, hina, dan rendah.

Demikianlah, seorang mukmin memiliki urusannya sendiri, sebagaimana manusia-manusia lain memiliki urusan mereka. Tetapi, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan Allah akan menang dalam segala urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya." [QS. Yûsuf: 21]

Sebagai penutup, simaklah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—berikut (yang artinya): "Janganlah kalian bersikap lemah dan janganlah (pula) kalian bersedih hati, karena kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman." [QS. Âli `Imrân: 139]

 

 

Artikel Terkait