Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Saudaraku, sesungguhnya salah satu bentuk ekspresi rasa syukur kepada Allah―`Aza wa Jalla―atas nikmat-nikmat-Nya adalah meninggalkan perbuatan dosa, baik dosa kecil, maupun dosa besar. Sebagian orang ada yang meremehkan dosa-dosa kecil dan terus-menerus melakukannya. Ini adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai kesyukuran kepada Allah―`Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, seorang muslim semestinya menghindari jalan orang-orang merugi seperti ini.
Sekali lagi, perilaku meremehkan dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa besar, bertentangan dengan nilai kesyukuran kepada Allah―`Azza wa jalla. Tentang dosa-dosa besar, tentu saja sudah sangat jelas kita pahami. Untuk pelakunya, Allah bahkan sudah menetapkan hukuman di dunia dan ancaman keras di Akhirat kelak, atau menetapkan hukuman khusus untuknya. Kita berlindung kepada Allah dari segala hal yang mengundang murka dan azab-Nya yang pedih. Untuk mengetahui hakikat dosa-dosa besar, termasuk jumlahnya dan akibatnya, Anda bisa merujuk ke buku Áz-Zawâjir `Aniqtirâfil Kabâ'ir, karya Ibnu Hajar Al-Haitsami—Semoga Allah merahmatinya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa seluruh dosa adalah besar. Sedangkan menurut jumhur ulama, dosa terbagi dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Pendapat ini sesuai dengan nas-nas yang ada, di antaranya:
· Firman Allah―`Azza wa Jalla―(yang artinya): "Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kalian dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil)." [QS. An-Nisâ': 31];
· Firman Allah―`Azza wa Jalla―(yang artinya): "(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil." [QS. An-Najm: 32]
· Sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Shalat-shalat yang lima waktu, dari satu shalat Jumat ke Jumat berikutnya, dan dari satu Ramadan ke Ramadhan berikutnya, adalah penghapus dosa-dosa yang terjadi di sela-selanya, selama dosa-dosa besar dijauhi." [HR. Muslim]
Dosa yang terjadi antara satu waktu ke waktu berikutnya yang disebut di dalam hadits ini adalah dosa-dosa kecil.
Dalil-dalil di atas dan juga dalil yang lainnya menunjukkan bahwa di antara dosa-dosa yang dilakukan anak manusia terdapat kategori dosa kecil. Dalam ayat [QS. An-Najm: 32] di atas Allah menyebutnya al-lamam. Dalam ayat lain, ia disebut as-sayyi`ah (keburukan). Sementara dalam hadits, ia juga disebut dengan muhaqqarâtudz dzunûb (dosa-dosa yang remeh). Intinya, dosa kecil adalah dosa yang dipandang sedikit dan remeh oleh manusia, dan tidak ada manusia yang terlepas darinya, kecuali orang yang diselamatkan dan dijaga oleh Allah. Dalam sebuah hadits, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Setiap anak Adam melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertobat." [HR. At-Tirmidzi; sanadnya hasan]
Saudaraku, di antara dosa kecil yang biasanya dianggap remeh oleh manusia adalah menatap wanita yang bukan mahram dan pemuda yang berwajah menawan. Baik hal itu dilakukan secara langsung dengan berhadapan wajah, maupun dengan cara mengintip, atau melalui gambar-gambar di majalah, filem-filem, kamera handphone, dan alat-alat komunikasi lainnya.
Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—memerintahkan setiap mukmin, baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan. Karena pandangan adalah pintu masuk terpenting bagi syahwat ke dalam diri seseorang. Dari sanalah kemudian syahwat mulai menguasai dirinya dan merusak hatinya. Menundukkan pandangan sangat membantu seseorang dalam menjaga kesucian dan kemaluannya. Di samping itu, ia merupakan salah satu bentuk kesyukuran kepada Allah―`Azza wa Jalla. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah kepada kaum laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, karena yang demikian adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada kaum wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka." [QS. An-Nûr: 30-31]
Pada suatu hari, Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang mengatakan bahwa ia meninggalkan maksiat dan telah bertobat. Ia juga mengatakan, seandainya dicambuk pun, ia tidak akan pernah mau kembali melakukan maksiat. Hanya saja, ia tidak menjaga pandangan. Imam Ahmad berkata, "Tobat seperti apa itu?!"
Saudaraku, pandangan merupakan sumber godaan dan membuat hati sibuk. Karena itu, takutlah kepada Allah, dan rasakanlah selalu pengawasan-Nya. Sadarilah bahwa Dia selalu melihat Anda. Jika Anda tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia selalu melihat Anda.
Pada suatu ketika, seorang ulama salaf ditanya tentang kiat agar seseorang bisa menundukkan pandangan. Ulama salaf itu menjawab, "Dengan menyadari bahwa pandangan Alah kepadamu lebih cepat daripada pandanganmu kepada orang yang engkau lihat."
Rabî' ibnu Khutsaim—Semoga Allah merahmatinya, karena saking hebatnya menjaga pandangan, sebagian orang mengira bahwa ia buta. Pada suatu ketika, ia berkunjung ke rumah seorang sahabatnya. Saat itu, yang membukakan pintu adalah budak perempuan sahabatnya itu. Si budak perempuan itu pun melaporkan kepada tuannya, "Sahabat Tuan yang buta itu ada di depan pintu."
Pada suatu ketika, ia berjalan di depan sekumpulan wanita. Salah satu dari wanita itu berkata, "Perhatikanlah orang buta itu. Semoga Allah menjauhkan kita dari kebutaan." Padahal Rabî' tidaklah buta. Ia hanya membutakan matanya terhadap godaan duniawi dan dosa. Ia mengamalkan firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Katakanlah kepada kaum laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, karena yang demikian adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada kaum wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka." [QS. An-Nûr: 30-31]. Ia melakukan semua itu karena mensyukuri nikmat-nikmat Allah―`Azza wa Jalla.
Saudaraku, termasuk juga ke dalam kategori dosa kecil adalah bercampur-baur dengan wanita-wanita yang bukan mahram, seperti yang terjadi di pusat-pusat perbelanjaan pakaian wanita dan anak-anak. Juga berbaurnya pembantu, sopir, dan istri majikan di dalam rumah. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Janganlah kalian masuk ke tempat perempuan." Salah seorang shahabat bertanya, "Bagaimana dengan ipar, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ipar adalah maut (berbahaya)." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Dalam sebuah hadits shahîh, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabada, "Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan, kecuali dengan kehadiran laki-laki yang merupakan mahram (perempuan tersebut)." [HR. Al-Bukhâri]
Saudaraku yang budiman, perkara lain yang termasuk dosa kecil adalah:
§ Mencela orang lain, namun tidak sampai kepada tingkat menuduh, seperti saling memanggil dengan panggilan yang buruk;
§ Mengawasi dan melihat-lihat rumah orang lain untuk mencari tahu keadaan para penghuninya;
§ Tidak bertegur sapa dengan seorang muslim lebih dari tiga hari;
§ Makan dengan menggunakan tangan kiri;
§ Dan kesalahan-kesalahan lain yang tidak diancam dengan ancaman khusus seperti dosa besar.
Saudaraku, dosa-dosa ini disebut kecil bukan berarti ia merupakan perkara yang sepele dan remeh. Sama sekali bukan. Karena sesungguhnya seluruh dosa adalah penyebab kesesatan, sekaligus penyebab turunnya hukuman, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):
· "Dan barang siapa mendurhakai (berbuat dosa kepada) Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." [QS. Al-Ahzâb: 36];
· "Dan barang siapa yang mendurhakai (berbuat dosa kepada) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginya neraka Jahanam, dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya." [QS. Al-Jinn: 23]
Bilal ibnu Sa'ad―Semoga Allah merahmatinya―pernah berkata, "Janganlah engkau memandang kecilnya kesalahan dan maksiat, akan tetapi lihatlah keagungan Dzat yang engkau durhakai dengan maksiat itu."
Ali ibnu Abi Thâlib―Semoga Allah meridhainya―pernah berkata kepada Al-Hasan, anaknya, "Wahai anakku, hati-hatilah, jangan sampai Allah melihatmu melakukan perbuatan maksiat, dan tidak menemukanmu melakukan ketaatan, sehingga engkau termasuk orang-orang yang merugi."
Dalam sebuah hadits, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda,
"Hindarilah oleh kalian dosa-dosa yang kecil! Sesungguhnya perumpamaan dosa-dosa kecil adalah seperti suatu kaum yang turun ke sebuah lembah, lalu di antara mereka ada yang mengambil sepotong ranting kayu, dan sebagian lain juga mengambil sepotong ranting kayu. Akhirnya, mereka berhasil mengumpulkan ranting-ranting kecil yang bisa digunakan untuk memasak makanan mereka. Sesungguhnya dosa kecil, jika pelakunya diazab dengannya, niscaya akan dapat mencelakakan dirinya." [HR. Al-Bukhâri]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Anas ibnu Malik―Semoga Allah meridhainya―Rasulullah juga bersabda, "Sesungguhnya kalian akan melakukan perbuatan yang menurut kalian lebih halus daripada sehelai rambut, padahal perbuatan itu menurut kami pada masa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—termasuk dosa besar (yang mencelakakan)." [HR. Muslim]
Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Sesungguhnya jika seorang mukmin berbuat dosa, maka akan tumbuh bintik hitam di dalam hatinya. Jika ia bertobat, meninggalkan dosa itu, serta beristighfar (meminta ampun) kepada Allah, hatinya itu akan kembali bersih. Jika ia menambah perbuatan tersebut, bintik hitamnya itu juga akan bertambah. Itulah noda (râna) yang Allah sebutkan di dalam Al-Quran." [HR. Ibnu Mâjah; sanadnya hasan]
Beliau juga bersabda, "Sungguh, aku mengetahui bahwa beberapa kelompok dari umatku pada hari Kiamat kelak akan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah, namun kebaikan itu Allah jadikan bagaikan debu yang berterbangan. Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari jenis kalian. Mereka melakukan kebaikan (ibadah) pada malam hari seperti kalian. Akan tetapi, jika mereka dalam keadaan sendiri, mereka melanggar larangan-larangan Allah." [HR. Ibnu Majah; sanadnya shahîh]
Dosa-dosa tersebut, meskpiun tergolong dosa-dosa kecil, namun bertentangan dengan nilai kesyukuran kepada Allah―`Azza wa Jalla. Di antara bentuk kesyukuran seorang muslim terhadap Allah—Subhânahu wata`âlâ—adalah,bertobat dan meninggalkan dosa-dosa, baik kecil maupun besar. Hal itu membuatnya berhak mendapatkan tambahan nikmat dan keberkatan dari Allah.
* * *
Sesungguhnya dosa-dosa dan maksiat memiliki banyak akibat buruk di dunia dan di Akhirat. Akibat-akibat itu dikumpulkan oleh Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—dalam bukunya Al-Jawâbul Kâfi Liman Sa`ala 'Anid Dawâ`isy Syâfî.
Di antara akibat perbuatan dosa yang ia sebutkan di dalam buku tersebut adalah bahwa dosa melemahkan hati dan tubuh, menghapus keberkatan, serta mengurangi manfaat ilmu, amal, harta, dan keluarga seseorang. Ibnu Mas`ûd―Semoga Allah meridhainya―berkata, "Dalam perkiraanku, sesungguhnya seseorang lupa terhadap ilmu yang pernah ia pelajari lantaran dosa yang ia lakukan."
Dosa juga mendatangkan kehinaan bagi pelakunya. Sulaimân At-Tîmî—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, "Sesungguhnya seseorang melakukan dosa secara diam-diam (di malam hari), maka pada pagi harinya ia akan muncul dengan membawa kehinaan akibat dosa itu." [Ibnul Jauzi, Shafwatush Shafwah]
Dosa dan maksiat juga menyebabkan turunnya azab dan hilangnya nikmat. Sesungguhnya sebuah nikmat tidak akan hilang dari diri seseorang kecuali disebabkan oleh dosa. Tidak pula ia ditimpa oleh azab, kecuali karena dosa yang ia lakukan. Umar―Semoga Allah meridhainya―pernah berkata, "Bencana tidak akan turun kecuali karena dosa, dan tidak akan hilang kecuali dengan tobat."
Saudaraku yang budiman, kita harus mensyukuri berbagai nikmat yang telah Allah―`Azza wa Jala―karuniakan kepada kita, seperti nikmat hujan, nikmat harta benda, nikmat keberkatan, dan sebagainya. Sesungguhnya hujan adalah rahmat. Pada zaman Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, langit mendung, wajah beliau menampilkan rona syukur yang khas. Jika hujan turun, beliau merasa senang dan bahagia seraya bersabda, "Sesunggunya hujan adalah rahmat."
Sesungguhnya sikap meremehkan maksiat dan dosa, meskipun kecil, akan menyebabkan dihapuskannya keberkatan sekaligus mengundang kemarahan Allah—Subhânahu wata`âlâ―terhadap diri seseorang. Hal itu sesuai dengan sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Jauhilah oleh kalian perbuatan maksiat. Sesungguhnya kemarahan Allah―Azza wajalla―turun karena maksiat." [HR. Ahmad]
Kalaupun tidak ada yang didapatkan oleh seorang hamba dengan meninggalkan maksiat selain datangnya penjagaan dan cinta dari Allah—Subhânahu wata`âlâ, sungguh itu sudah cukup menjadi alasan bagi setiap mukmin untuk berbahagia meninggalkan maksiat. Syafiy Ibnu Mâti' Al-Ashbahi—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, "Meninggalkan maksiat lebih mudah daripada mendapatkan tobat."
Muhammad ibnu Ka'ab—Semoga Allah merahmatinya—juga pernah berkata, "Tidaklah ada suatu ibadah yang lebih Allah sukai dilakukan oleh seorang hamba melebihi meninggalkan maksiat."
Pernyataan ini dikuatkan oleh sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Jika aku menyuruh kalian melakukan sesuatu, maka lakukanlah sesuai dengan kamampuan kalian. (Tapi) jika aku melarang kalian melakukan sesuatu, maka jauhlah ia (secara total)." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Sesuai dengan kandungan hadits di atas, seorang muslim dituntut untuk melaksanakan perintah sesuai dengan kemampuannya. Namun tidak demikian halnya dengan meninggalkan larangan. Ia harus menjauhi semua larangan secara mutlak (total). Hal itu menunjukkan besarnya bahaya dan dahsyatnya efek dari perkara-perkara yang dilarang, sehingga seorang muslim harus menghindarinya secara penuh. Berbeda dengan perintah-perintah, yang hanya harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan.
Untuk kita ketahui, pencegah dosa yang paling efektif adalah rasa takut kepada Allah Yang maha Mengetahui segala perkara yang gaib.
Pada suatu ketika, Sa'îd ibnu Jubair—Semoga Allah merahmatinya—ditanya tentang makna rasa takut kepada Allah. Ia menjawab, "(Maknanya adalah) bahwa engkau merasa takut kepada Allah sehingga menghalangimu dari melakukan maksiat kepada-Nya."
Mak-hûl pernah berkata, "Hati yang paling lembut adalah hati yang paling sedikit melakukan dosa."
Di antara sekian banyak rahmat dan karunia Allah kepada kita adalah bahwa Dia memberikan jalan-jalan untuk mengampuni dosa-dosa kita. Di antaranya adalah meninggalkan dosa besar sambil tetap menjaga amal-amal ketaatan, seperti shalat dan kebaikan lainnya. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Shalat-shalat yang lima waktu, dari satu shalat Jumat ke Jumat berikutnya, dan dari satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, adalah penghapus dosa-dosa yang terjadi di sela-selanya, selama dosa-dosa besar dijauhi." [HR. Muslim]
Sebuah hadits juga diriwayatkan dari Mu'adz, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Dan ikutilah sebuah keburukan (dosa) dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapus keburukan tersebut." [QS. At-Tirmidzi; sanadnya hasan]
Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." [QS. Hûd: 114]
Faktor lain yang dapat menghapus dosa-dosa adalah memberi pinjaman dan sedekah. Hal itu sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya):
· "Jika kalian meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah akan melipatgandakan balasannya untuk kalian, dan mengampuni (dosa) kalian. Dan Allah Maha Pembalas jasa lagi Maha Penyantun." [QS. At-Taghâbûn: 17];
· "Jika kalian menampakkan sedekah, maka itu adalah baik sekali, dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian; dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan." [QS. Al-Baqarah: 271]
Di antara faktor penghapus dosa juga adalah beristighfar (meminta ampun) kepada Allah sembari meninggalkan dosa-dosa yang dilakukan. Dalam hal ini, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka mengingat Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji mereka itu, sedang mereka mengetahui." [QS. Âli `Imrân: 135]
Saudaraku, adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk segera membersihkan hati kita dengan memuji Allah, serta bertobat dan bersitighfar meminta ampun kepada-Nya, sebagai bentuk kesyukuran terhadap nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan. Kita juga mesti menjaga diri dari dosa-dosa, sehingga kita berhak merasakan kelezatan iman dan ibadah, serta meraih keberkahan dalam setiap apa yang diberikan Allah kepada kita.
Ya Allah, sucikanlah hati kami dari kemunafikan dan seluruh penyakit, bersihkanlah tubuh kami dari penyakit riya dan seluruh maksiat. Ya Allah, jagalah mata kami dari khianat. Sesunggunya Engkau Maha Mengetahui mata yang berkhianat dan segala yang disembunyikan oleh hati. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu, baik di dalam kesendirian maupun di tengah keramaian. Berilah kami sikap adil dalam keadaan marah maupun ridha. Berilah kami sikap sederhana dalam keadaan miskin maupun kaya. Amin.