Pada suatu hari, saya pergi ke salah satu negara Arab untuk sebuah urusan. Satu hari sebelum saya kembali ke bandara untuk pulang, saya berusaha mencari hotel yang nyaman untuk beristirahat. Namun saya tidak menemukan hotel yang nyaman itu, sehingga saya terpaksa menginap di sebuah hotel yang untuk pertama kalinya saya menginap di tempat seperti itu. Suasana cabul dan aroma zina tampak sangat jelas di tempat itu.
Tiba-tiba beberapa saat setelah memasuki hotel itu, seorang pemuda menyapa saya, dan bertanya mengapa saya datang ke sana. Ia heran melihat penampilan saya yang tidak sesuai dengan nuansa hotel itu. Saya katakan kepadanya, "Aku mencari tempat istirahat yang nyaman, dan aku tidak tahu kalau hotel ini keadaannya seperti ini." Mendengar itu, ia berkata, "Wahai Tuan, naiklah. Tempat ini tidak cocok untuk Anda dan orang-orang seperti Anda."
Kemudian saya pun meninggalkan tempat itu menuju taman untuk beristirahat di sana sampai pagi. Pada keesokan harinya, setelah urusan selesai, saya berangkat ke bandara untuk pulang. Saat itu, seluruh otot-otot saya terasa lelah. Saya pun mencari tempat untuk istirahat di bandara itu. Kebetulan saat itu saya menemukan sebuah mushalla kecil di sudut bandara. Saya masuk ke dalam mushalla itu, kemudian tidur dengan lelap.
Beberapa saat kemudian, saya terbangun karena isak tangis seorang pemuda yang belum berusia 30 tahun yang sedang shalat. Ia menangis seperti seorang suami yang kehilangan istri, atau seperti seorang ibu yang kehilangan anaknya.
Kemudian saya melanjutkan tidur. Beberapa saat kemudian pemuda itu membangunkan saya untuk shalat. Ia berkata, "Apakah Anda bisa tidur?" saya menjawab, "Bisa." Ia kemudian kembali berkata, "Saya tidak bisa tidur dan tidak pula merasakan nikmatnya." Saya lalu berkata, "Sekarang kita shalat dulu. Setelah itu, mudah-mudahan Allah mengizinkan kita bisa menyelesaikan masalah Anda."
Setelah shalat, saya tanyakan apa yang terjadi dengannya. Ia pun bercerita:
"Saya berasal dari sebuah keluarga yang kaya raya. Semua keinginan saya selalu terkabul, mulai dari uang, mobil, hingga segala macam fasilitas lainnya. Namun saya kemudian merasakan kebosanan dalam hidup ini. Karena itu, saya merencanakan sebuah perjalanan ke luar negeri. Saya akhirnya memutuskan untuk pergi ke sebuah negara yang tidak banyak dikunjungi oleh orang-orang yang berasal dari daerah saya, agar tidak ada yang mengetahui keberadaan saya, sehingga apa pun yang saya lakukan tidak ada yang tahu. Perjalanan ini saya lakukan hanya dengan tujuan bersenang-senang dan menghabiskan waktu.
Ketika sampai di tempat yang dituju, bertemulah saya dengan teman-teman yang nakal. Saya hidup bersama mereka, menghabiskan hari-hari dengan bersenang-senang dan menghabiskan waktu. Secara bertahap mereka menggiring saya melakukan zina di sebuah acara malam. Mereka menemani saya dalam acara itu beberapa saat, tapi akhirnya mereka meninggalkan saya berdua dengan seorang pelacur. Pelacur itu terus menggoda saya sampai saya pun terjebak hubungan badan dengannya. Ketika saya selesai melampiaskan birahi, saya merasakan ada hawa panas yang menyengat hati saya. Dada saya seakan dicambuk dengan keras. Saya meloncat meninggalkan pelacur itu sambil berteriak, 'Saya telah berzina! Saya telah berzina untuk pertama kali dalam hidup saya. Kenapa saya melakukan ini? Mengapa saya mendobrak dinding aturan Tuhan yang memisahkan saya dengan perbuatan terkutuk ini! Kenapa secara tidak saya sadari ternyata saya telah mengedepankan kelezatan dunia di atas kenikmatan Akhirat? Saya tidak akan mendapatkan bidadari Surga!'
Sambil menangis, saya keluar dari kamar itu. Tiba-tiba salah seorang germo yang menjerumuskan saya ke tempat itu telah berdiri di depan saya. Ia berkata, 'Kenapa Anda menangis dan gemetar?' Saya jawab perkataannya dengan suara lantang, 'Aku telah berzina. Engkau tahu apa arti kata aku telah berzina?! Aku telah berzina!' Dengan sangat tenang ia menjawab, 'Ambillah minuman ini, Anda pasti akan tenang dan Anda akan lupa dengan masalah yang Anda hadapi'.
Saya katakan kepadanya, 'Engkau telah menggiringku kepada maksiat. Engkau telah menghalangiku dari bidadari Surga, sekarang engkau ingin menghalangiku dari minuman Surga dengan minuman ini!' Lelaki itu menenangkan saya dengan jawaban yang selayaknya keluar dari mulut Iblis, 'Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'. Ia lupa bahwa siksa Allah juga sangat pedih. Allah menyediakan untuk para pelaku dosa Neraka yang menyala-nyala, yang saat melihat orang-orang jahat akan terdengar amukan dan suara nyalanya.
Saya terus menangis dan menangis karena penyesalan yang sangat dalam. Kemudian saya tinggalkan teman-teman yang jahat itu, dan saya segera pergi ke bandara untuk memesan tiket dan menunggu waktu kepulangan."
Pemuda itu terus berkata kepada saya, "Aduh, kenapa mereka tidak mencuri uangku saja?! Kenapa mereka tidak mengambil hartaku saja?! Mengapa mereka merampas agamaku?!" Ia mengaku bahwa sejak peristiwa itu, ia tidak berhenti menangis dan menyesali apa yang sudah ia lakukan.
Saya kemudian berkata kepadanya, "Saya ingin membacakan kepada Anda sebuah ayat Al-Quran. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kalian kepada Tuhan kalian, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepada kalian, kemudian kalian tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian sebelum azab datang kepada kalian dengan tiba-tiba, dan kalian tidak menyadarinya'."[QS. Az-Zumar: 5-55]
Ia menimpali, "Semua orang akan diampuni, kecuali saya." Ia melanjutkan, "Apakah Anda tahu bahwa saya sudah berzina?! Apakah Anda sendiri pernah berzina?" Saya menjawab, "Tidak." Ia kembali berkata, "Makanya, Anda tidak merasakan siksaan dosa seperti yang saya rasakan."
Beberapa saat kemudian, pengumuman keberangkatan pesawat kami pun terdengar. Kami saling bertukar alamat dan nomor telepon. Saat itu, saya berkeyakinan bahwa rasa menyesalnya itu akan berakhir selama tiga hari, untuk kemudian lenyap dan ia pun lupa.
Beberapa hari setelah saya sampai ke kota saya dan beristirahat di rumah, tiba-tiba ia menelpon saya. Saat itu kami berjanji untuk bertemu. Ketika bertemu, tangisnya langsung pecah. Ia berkata, "Demi Allah, sejak melakukan perbuatan itu, dan sejak kita berpisah, saya tidak bisa tidur kecuali sekejap saja.Apa yang akan saya katakan kepada Tuhan seandainya Dia berkata nanti, 'Hamba-Ku, engkau telah berzina. Engkau telah melangkahkan kakimu untuk berzina'?"
Saya berkata kepadanya, "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan rahmat-Nya sangat luas bagi orang yang bertobat dan menyesali dosanya." Ia segera memotong kata-kata saya, "O ya, saya menemui Anda bukan untuk berkunjung. Saya datang untuk pamit kepada Anda." Saya segera bertanya, "Anda mau kemana?" Ia menjawab, "Saya akan menyerahkan diri ke pengadilan untuk mengakui perbuatan saya, bahwa saya telah berzina."
Mendengar itu, saya berkata kepadanya, "Anda telah gila?! Apakah Anda lupa bahwa Anda sudah menikah?! Apakah Anda lupa bahwa hukuman bagi pezina yang sudah menikah adalah dirajam sampai mati?"
Ia menjawab, "Itu lebih ringan bagi saya daripada hidup sebagai pezina, dan bertemu dengan Allah dalam keadaan belum disucikan dengan hukuman zina. Aku ingin pamit kepada Anda. Mudah-mudahan kita bertemu lagi di Surga, jika Allah merahmati Anda dan berkenan memasukkan saya ke dalamnya."
Saya kembali menahannya, "Tidakkah Anda lebih berhati-hati?! Tutuplah aib Anda, aib keluarga Anda, dan aib masyarakat Anda." Ia menjawab, "Mereka semua tidak mampu menyelamatkan saya dari Neraka. Sedangkan saya ingin menyelamatkan diri dsaya dari Neraka itu."
Saya tidak tahu harus mengatakan apa untuk menjawab kata-katanya. Tapi kemudian saya berkata, "Tapi sebelumnya, saya ingin mengajukan satu permintaan kepada Anda." Ia menjawab, "Mintalah. Saya akan memenuhi apapun permintaan Anda, kecuali jika Anda meminta saya mengurungkan niat ke pengadilan." Saya jawab, "Bukan itu yang saya minta. Tapi sebelumnya, saya minta Anda berjanji untuk mengabulkannya." Ia berkata, "Saya setuju."
Saya kembali berkata "Kalau demikian, berikan tangan Anda untuk berjanji bahwa Anda akan memegang dan melaksanakan janji Anda." Ia pun mengulurkan tangannya untuk berjanji. Saya kemudian berkata, "Kita hubungi Syaikh Fulan—salah seorang ulama besar yang bertakwa dalam pandangan kami—untuk kita tanyai masalah Anda ini. Jika ia mengatakan kepada Anda, 'Serahkan diri Anda ke meja hukum,' saya akan mengantar Anda ke sana. Namun seandainya ia mengatakan sebaliknya, Anda tidak ada pilihan selain mematuhinya." Kami pun menghubungi Syaikh yang dimaksud. Singkat cerita, Syaikh tersebut mengatakan bahwa ia tidak boleh menyerahkan dirinya ke pengadilan.
Syaikh tersebut mengaku bahwa pemuda itu sering membuatnya sibuk melalui telepon. Pamuda itu terus memaksa agar ia mengizinkannya menyerahkan diri ke pengadilan. Ia terus mendebat Syaikh itu.
Ketika bertemu dengan pemuda itu, saya berkata kepadanya, "Kenapa Anda selalu mengganggu Syaikh itu dengan telepon-telepon Anda, padahal saya ada untuk Anda hubungi?" Ia menjawab, "Saya hanya berusaha. Mana tahu ia berubah pikiran dan menyetujui keinginan saya."
Di antara yang ia sampaikan kepada Syaikh tersebut adalah: "Berhati-hatilah Syaikh! Pada hari Kiamat nanti saya akan bergayut di kaki Anda, dan saya akan katakan kepada Allah, 'Hamba sudah ingin menyerahkan diri untuk menjalani hukuman (di dunia), tapi Syaikh ini menghalangi hamba'." Syaikh itu menjawab, "Saya akan mempertanggungjawabkan apa yang saya sampaikan kepada Anda. Dan saya tidaklah berfatwa kepada Anda kecuali dengan ilmu."
Kemudian ia berkata kepada saya, "Saya ingin pamit kepada Anda, karena saya akan naik haji." Kebetulan saat itu waktu haji sudah dekat. Saya mengusulkan kepadanya untuk berangkat haji bersama, namun ia menolak. Saya mengira ia sudah memiliki teman lain yang akan menunaikan haji bersamanya.
Pada tahun itu saya pun naik haji. Saya tidak tahu siapa yang menemaninya. Nah, pada hari Tasyrîq kedua, saya melihatnya dari jauh. Oh ya, nama pemuda itu Ahmad. Saya memanggilnya, "Ahmad!" Ia menoleh dan melihat saya, akan tetapi ia langsung kabur meninggalkan saya. Saya bergumam, "Subhânallâh, apa yang membuat sikapnya berubah sedrastis itu terhadapku? Mudah-mudahan setelah haji nanti aku bertemu lagi dengannya untuk menanyakan hal itu."
Setelah ritual haji selesai, dan kami pun telah kembali ke rumah masing-masing, saya menemuinya. Saya tanyakan kepadanya tentang perjalanan hajinya. Ia menjawab, "Saya berangkat haji sendirian. Saya berangkat dari satu lokasi ritual ibadah haji ke lokasi lain dengan berjalan kaki. Saya berharap, mudah-mudahan Allah melihat saya berjalan dari Mina menuju Arafah, atau sedang wuquf di `Arafah, atau pun di salah satu tempat pelaksanaan ritual haji lainnya, sehingga Dia merahmati saya."
Kemudian saya tanyakan kepadanya kenapa ia lari ketika saya panggil pada hari Tasyrîq kedua. Ia menjawab, "Saya ketika itu sedang sibuk meminta ampun atas perbuatan yang telah saya lakukan."
"Kenapa Anda tidak mau ikut dengan kami?" tanya saya. Ia menjawab, "Bagaimana saya ikut bersama kalian, sedangkan kalian adalah orang-orang yang suci?! Apakah kalian mau saya nodai dengan dosa zina?"
Ketika menunaikan haji, ia sering berkata, "Aku takut dosaku membuat Allah tidak mengampuni dosa-dosa orang sekitarku." Namun kadang ia juga mengatakan, "Mudah-mudahan Allah mengampuni dosaku berkat orang-orang yang bertasbih dan bertalbiyah kepada-Nya."
Sejak saat itu, hubungan kami semakin erat. Kami mulai saling mengunjungi. Kami juga sering membaca dan merenungi kisah orang-orang shalih dan orang-orang yang bertobat. Saya teringat, bahwa setelah haji, pemuda itu berhasil mengkhatamkan hapalan Al-Quran. Sejak saat itu, ia juga melaksanakan puasa Daud, sehari berpuasa dan sehari berbuka.
Pada suatu hari, saat kami membaca kisah orang-orang shalih, tiba-tiba kami bertemu dengan kisah Rabî` Ibnu Khutsaim, seorang pemuda yang usianya belum mencapai 30 tahun, gagah, perkasa, mengenal Allah, dan takut kepada-Nya. Di daerahnya terdapat orang-orang fasik yang bersekongkol merusak orang lain. Mereka lalu bersekongkol ingin merusak Rabî` Ibnu Khutsaim. Mereka berkata, "Mari kita rusak Rabî` Ibnu Khutsaim." Mereka berusaha mencari cara yang akan mereka tempuh untuk merusaknya. Setelah berdiskusi panjang, mereka sepakat untuk menyewa seorang pelacur dan memberinya segala sesuatu yang ia perlukan untuk menggelincirkan Rabî`.
Mereka lalu menemui pelacur yang paling cantik yang mereka ketahui, lalu berkata kepadanya, "Engkau akan kami beri 1000 dinar." Pelacur itu bertanya, "Untuk apa?" Mereka menjawab, "Sebagai upah jika engkau mampu membuat Rabî` Ibnu Khutsaim memberikan sebuah ciuman kepadamu." Pelacur itu dengan yakin mengatakan, "Tidak hanya itu. Kalian akan melihat lebih dari sekedar ciuman. Ia akan berzina dan melakukan ini dan itu denganku."
Pelacur itu pun mempersiapkan diri untuk menemui Rabî`. Kemudian ia mencegat Rabî` di tempat sepi, di jalan yang biasa dilalui pemuda shalih itu. Ia membuka pakaiannya kemudian memamerkan tubuhnya kepada Rabî`. Ketika melihat perempuan itu, Rabî` berkata dengan lantang, "Apa yang akan engkau lakukan seandainya tubuhmu itu dibakar api panas, sehingga berubah warna kulit dan keanggunanmu?! Apa yang akan engkau lakukan saat Malaikat Maut datang dan memotong urat lehermu?! Apa yang akan engkau lakukan nanti saat Munkar dan Nakir menanyaimu?!"
Perempuan itu memekik dan segera lari meninggalkan Rabî`. Sejak saat itu, perempuan itu menjadi seorang yang taat beribadah. Bahkan ia sampai digelari dengan `ÂbidatulKûfah, (perempuan ahli ibadah dari Kufah). Melihat kejadian itu, orang-orang fasik yang bersekongkol tadi mengatakan, "Rabî` telah merusak wanita itu."
Setelah membaca kisah ini, tangis Ahmad langsung pecah. Ia berkata, "Rabî` menolaknya, sedangkan aku mendatanginya untuk berzina! Rabî` menolaknya, sedangkan aku mendatanginya untuk berzina!" Ia pun lalu pergi meninggalkan saya dalam keadaan menangis sedih.
Saya kemudian menceritakan kisah sahabat saya ini kepada seorang ulama. Saya jelaskan tentang tobatnya, ibadahnya, ketakutannya, ketawaannya, puasanya, dan hapalan Al-Qurannya. Ulama itu berkata pada saya, "Barangkali zina yang telah ia lakukan menjadi awal yang menyebabkan ia dimasukkan ke dalam Surga. Barangkali ayat berikut ini sesuai dengan kisahnya, dan berbicara tentang masalah yang ia hadapi: "Dan (hamba-hamba Allah yang tulus adalah) orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain bersama Allah, dan tidak menghilangkan nyawa orang yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan itu niscaya akan mendapat (balasan) dosa-(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat, dan ia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal shalih; maka untuk mereka itu, kejahatan mereka akan diganti oleh Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Al-Furqân:68-70]
Saya terkejut mendengar ayat ini. Saya bergumam, "Bagaimana saya sampai lupa kepada ayat ini?" Saya kemudian segera menemui sahabat saya itu di rumah orang tuanya yang luas. Saya ingin memberinya kabar gembira. Ketika sampai di rumah itu, keluarganya mengatakan bahwa ia sedang berada di mesjid. Saya pun pergi ke mesjid itu. Saya lihat ia sedang khusuk membaca Al-Quran. Saya langsung berkata padanya, "Saya punya berita gembira untuk Anda."
"Berita apa?" ia bertanya. Aku langsung membacakan ayat tadi dengan tartil di hadapannya. Ketika saya selesai membacakan ayat ini, ia bangkit dan memeluk saya. Ia berkata, "Saya hapal Al-Quran. Akan tetapi saya seakan baru pertama kali membaca ayat ini. Sungguh, Anda telah membukakan untuk saya sebuah pintu harapan yang besar. Saya berharap semoga Allah mengampuni saya dengan ayat ini. Kemudian muazin mengumandangkan azan untuk shalat. Kebetulan imam saat itu tidak datang, ia pun maju sebagai imam.
Setelah bertakbir dan membaca Al-Fâtihah, ia membaca ayat tadi. Ketika sampai pada potongan ayat (yang artinya): "Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal shalih…",ia menangis dan tidak mampu melanjutkan ke ayat berikutnya. Ia pun bertakbir dan rukuk, kemudian beriktidal dan sujud. Ketika berdiri untuk melanjutkan rakaat kedua, setelah membaca Al-Fâtihah, ia berusaha mengulangi ayat itu, karena ingin melanjutkan ke ayat berikutnya. Ketika sampai pada kalimat yang sama, ia pun rukuk dan menyelesaikan shalatnya sambil menangis.
Keadaannya terus seperti itu selama beberapa waktu. Sampai suatu ketika, pada hari Jumat, yang bertepatan dengan hari libur musim semi, saya ditelepon oleh seseorang. Orang itu berkata, "Saya orang tua teman Anda, Ahmad. Saya ingin bertemu dengan Anda untuk sesuatu yang penting. Saya ingin Anda segera datang ke sini."
Ketika saya sampai di depan rumahnya, ternyata bapak itu telah menunggu di depan pintu. Saya tanyakan kepadanya hal penting apa yang ingin ia sampaikan. Ia menjawab, "Sahabatmu, Ahmad meminta maaf kepadamu. Ia telah meninggalkanmu menuju Akhirat. Ia meninggal dunia hari ini." Kemudian tangis orang tua itu pecah. Saya berusaha menenangkannya, walapun di dalam hati, saya juga merasakan kepedihan yang dirasakan oleh bapak itu. Kemudian ia mengajak saya ke kamar di mana sahabat saya dibaringkan dalam keadaan tertutup. Saya buka wajahnya yang cerah bersinar. Wajah yang telah meninggalkan kehidupan, namun tampak bahagia, indah, dan bercahaya.
Tiba-tiba sang bapak bertanya kepada saya, "Apa yang telah terjadi dengan putra saya dalam perjalanannya, sehingga keadaannya seperti ini?" Saya jawab—sambil mengingat bahwa saya sudah berjanji kepada Ahmad untuk tidak menceritakan kisah ini kecuali untuk diambil pelajaran, "Sesungguhnya putra bapak dalam perjalanannya (ke luar negeri) telah kehilangan sesuatu yang sangat ia cintai." Iya, maksud saya, ia sempat kehilangan iman yang agung dan ketundukan kepada Allah—`Azza wajalla. Istrinya menceritakan bahwa sejak pulang dari perjalanan itu, tidurnya hanya sekejap-sekejap saja. Istrinya itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kemudian saya bertanya kepada sang bapak tentang proses kematian sahabat saya itu. Ia lalu menjelaskan, "Seperti yang Anda tahu, Ahmad puasa sehari dan berbuka sehari. Pada hari Jumat ini, ia menetap di mesjid, mencari waktu ijâbah (doa dikabulkan). Sebelum Maghrib, saya menemuinya di mesjid dan mengajaknya pulang, 'Hai Ahmad, mari berbuka di rumah'. Ia menjawab, 'Bapak, saya sedang merasakan kebahahagiaan yang luar biasa saat ini. Biarkanlah saya di sini'. Saya kembali berkata kepadanya, 'Mari berbuka di rumah saja'. Ia menjawab, 'Tolong antarkan saja makanan berbuka saya ke mesjid, pak'. Saya jawab, 'Kalau begitu, terserah engkau saja'.
Setelah shalat Maghrib, saya kembali mengajaknya pulang, 'Mari kita pulang untuk makan malam'. Akan tetapi ia menjawab, 'Saya sedang merasakan ketenangan yang luar biasa saat ini. Saya ingin menetap dulu di mesjid. Setelah shalat Isya, saya akan pulang untuk makan'. Ketika pulang, saya merasakan firasat yang tidak enak. Karena itu, saya suruh anak saya yang kecil untuk melihatnya, 'Pergilah ke mesjid, dan lihatlah apa yang terjadi dengan kakakmu!'.
Adiknya itu pun pergi, namun tiba-tiba adiknya itu kembali ke rumah dalam keadaan berlari sambil berteriak, 'Bapak! Bapak! Saudaraku Ahmad tidak bisa berbicara. Mendengar itu, aku segera pergi ke mesjid. Aku temukan Ahmad dalam keadaan kejang menghadapi sakaratul maut. Ia bersandar pada sandaran yang biasa ia gunakan dalam munajat, dzikir, dan tilawahnya. Aku jauhkan sandaran itu darinya, kemudian aku baringkan ia di pangkuanku. Aku tatap wajahnya, ternyata ia menyebut namamu. Seakan ia menyampaikan salam untukmu. Ia tersenyum dalam menghadapi maut. Sejak pulang dari perjalanannya, ia tidak pernah tersenyum seindah itu. Kemudian ia membaca ayat (yang artinya): "Dan (hamba-hamba Allah yang tulus adalah) orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain bersama Allah dan tidak menghilangkan nyawa orang yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan itu, niscaya ia mendapat (pembalasan) dosa-(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat, dan ia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal shalih; maka untuk mereka itu, kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [Al-Furqân: 68-70]. Setelah itu, ia pun meninggal dunia.
Sang bapak kembali berujar, "Aku tidak tahu apakah aku menangis karena bahagia dengan indahnya kematian anakku itu, atau karena sedih dengan kepergiannya."
Kejadian itu membuat keluarga dan saudara-saudara Ahmad menjadi lebih shalih.
Saudaraku, segeralah bertobat. Segeralah bertobat! Sesungguhnya kematian tidak akan memberi tangguh kepada orang-orang yang berbuat dosa. Ia datang secara tiba-tiba, ketika harapan untuk hidup lama sedang membuncah. Kematian datang memutus semua harapan dan angan-angan. Saat itu, tiada lagi yang dimiliki seseorang selain amal shalih yang sudah ia lakukan di dunia. Amal yang akan yang menjadi teman penghibur dirinya di dalam kubur, menjadi syafaat baginya di hadapan Tuhan, dan akan mengangkat derajatnya di Surga.
Setelah ini, akankah kita masih akan menunda-nunda untuk memasuki pintu rahmat Allah yang luas?
Berbahagialah saudaraku. Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa dan mengganti keburukan dengan kebaikan bagi orang yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan meniti jalan kebenaran.