Oleh: Dr. Jamal Al-Murâkibi
Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan shahabat beliau.
Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun." [QS. Al-Mulk: 2]
Kenikmatan, kesengsaraan, dan cobaan datang silih berganti dalam kehidupan manusia. Seorang mukmin yang mendapat petunjuk tahu bagaimana berinteraksi dengan ujian-ujian ini. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua kondisinya adalah baik baginya. Dan itu tidak berlaku kecuali hanya bagi orang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, lalu ia bersyukur, maka itu adalah baik baginya. Jika ia ditimpa musibah, lalu ia bersabar, maka itu adalah baik baginya." [HR. Muslim]
Kesenangan dunia tidak akan terlepas dari kesusahan, kelelahan, dan keletihan. Kenikmatannya tidak kekal. Ada kalanya manusia meninggalkannya karena kematian. Ada kalanya pula kenikmatan itu yang meninggalkannya, padahal saat itu, ia sangat membutuhkan nikmat.
Kenikmatan dunia juga tidak memuaskan. Seandainya seorang manusia memiliki satu lembah emas, niscaya ia akan mengharapkan satu lembah emas yang lain. Tiada yang bisa memuaskan nafsu seorang manusia selain tanah (kematian). Di samping itu, kenikmatan dunia juga tidak murni, karena tidak pernah terlepas dari kelelahan dan keletihan.
Manusia di dunia tidak akan pernah merasa puas. Benarlah ungkapan di bawah ini:
"Orang yang kecil ingin besar
Orang yang besar pun berangan-angan seandainya ia kecil
Orang yang menganggur ingin pekerjaan
Dan orang yang sedang bekerja mengumpat pekerjaannya
Yang punya harta merasa lelah
Orang yang fakir pun kelelahan."
Dan lebih indah lagi perkataan yang diungkapkan oleh Ibnu `Abdil Barr—Semoga Allah merahmatinya, "Siapakah yang pernah menemukan kepuasaan pikiran dalam hidupnya, baik dalam keadaan susahnya maupun senangnya?!"
Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengucapkan dalam doa beliau: "Ya Allah, demi pengetahuan-Mu terhadap yang gaib dan kekuasaan-Mu terhadap para makhluk, hidupkanlah aku seandainya menurut pengetahuan-Mu kehidupan lebih baik bagiku, dan matikanlah aku seandainya menurut pengetahuan-Mu kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, aku memohon diberikan rasa takut kepada-Mu dalam keadaan sendiri atau pun di tengah keramaian. Aku memohon kepada-Mu dikaruniakan ucapan yang benar di dalam keadaan ridha atau pun marah. Aku memohon kepada-Mu diberikan kesederhanaan di saat miskin atau pun kaya. Aku memohon kepada-Mu dikaruniakan kenikmatan yang tidak akan habis. Aku memohon kepada-Mu diberikan penyejuk mata (hati) yang tidak akan terputus. Aku memohon kepada-Mu dikaruniakan keridhaan setelah ditimpa ketetapan (takdir)-Mu. Aku memohon pada-Mu diberikan kesejukan hidup setelah mati. Aku memohon kepada-Mu diberikan kenikmatan menatap wajah-Mu dan kenikmatan rindu akan pertemuan dengan-Mu. Lindungilah aku dari bahaya yang menyengsarakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami juru hidayah (pembimbing) yang diberi tuntunan. [Menurut Al-Albâni: shahîh]
Maksud dari kenikmatan yang tidak akan habis adalah kenikmatan Surga, karena kenikmatan dunia mesti berakhir. Penyejuk mata yang tidak akan terputus adalah kebahagiaan yang ada di dalam Surga, karena kebahagiaan duniawi tidak pernah kekal. Hal ini sejalan dengan doa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Aku memohon kepada-Mu diberikan kesejukan hidup setelah mati. Aku memohon kepada-Mu dikaruniakan kenikmatan menatap wajah-Mu." [Menurut Al-Albâni: shahîh]. Semua ini tentu tidak akan terjadi kecuali di Surga.
Dunia adalah Penjara bagi Orang Mukmin dan Surga bagi Orang Kafir
Sebuah hadits diriwayatkan dari Abû Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan Surga bagi orang kafir." [HR. Muslim]
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab "Az-Zuhdu Al-Kabîr" perkataan Fudhail Ibnu `Iyâdh tentang maksud hadits: "Dunia adalah penjara bagi orang mukmin." Fudhail berkata, "Dunia adalah penjara bagi orang yang meninggalkan kelezatan dan kesenangan duniawi." Inilah makna penjara dunia bagi orang mukmin.
Abdullah Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa ia berkata, "Demi Allah, tidaklah seorang mukmin di dunia kecuali dalam keadaan sedih. Bagaimana ia tidak sedih, bukankah Allah sudah mengabarkan bahwa ia (terancam) akan masuk Neraka Jahanam? Dan ia tidak mendapat kabar dari-Nya bahwa ia berasal (keluar) dari Jahanam. Di dunia, ia akan menemukan berbagai penyakit, musibah, dan perkara-perkara yang sulit. Ia akan dizalimi, dan ia tidak akan menang. Ia hanya mengharapkan dari semua itu pahala Allah. Ia akan selalu berada di atas dunia dalam keadaan sedih dan takut sampai ia keluar darinya. Jika telah keluar darinya, ia akan masuk ke dalam ketenangan dan kemuliaan."
Ketika menjelaskan hadits yang mengatakan dunia adalah penjara orang mukmin di atas, Iman Nawawi berkata, "Maksud hadits ini adalah bahwa seorang muslim terpenjara di dunia, dilarang memperturutkan keinginan syahwat yang haram dan makruh. Ia juga dibebani kewajiban melakukan ketaatan (ibadah) yang berat. Jika ia mati, ia tidak lagi dibebani semua itu, dan ia akan mendapatkan balasan yang Allah sediakan untuknya, berupa kenikmatan yang kekal dan kesenangan yang tidak bercampur dengan kesulitan. Sedangkan orang kafir, ia hanya memiliki kesenangan yang telah ia dapatkan di dunia, dengan segala keterbatasannya dan ketidakmurniannya. Jika mati, ia akan masuk ke dalam azab yang kekal dan kesengsaraan abadi."
Menurut penulis, hal ini dikuatkan oleh perkataan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepada Umar—Semoga Allah meridhainya—tatkala Umar berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah agar Allah memberi kelapangan untuk umatmu. Sesungguhnya Allah telah memberi kelapangan kepada orang-orang Persia dan Romawi, padahal mereka tidak menyembah-Nya." Mendengar itu, Nabi bersabda, "Apakah engkau dalam keraguan, wahai Ibnul Khaththâb?! Mereka itu adalah kaum yang disegerakan kesenangan mereka di dunia." Lalu Umar berkata, "Mohonlah ampunan untukku, wahai Rasulullah." [HR. Ahmad]
Terkait masalah ini, Imam Al-Munâwi mengatakan dalam kitabnya "Syarhul Jâmi`ish Shaghîr", "Dunia adalah penjara orang mukmin jika dikaitkan dengan apa yang Allah siapkan untuknya di Akhirat, berupa kenikmatan yang panjang. Dan dunia adalah Surga bagi orang kafir jika dikaitkan dengan azab pedih yang menanti mereka."
Di antara keadilan Allah—`Azza wajalla—adalah bahwa Dia memberikan kesenangan bagi orang kafir di dunia, dan kelak, ia tidak akan mendapatkan sedikit pun kenikmatan di Akhirat.
Suatu ketika, Hakim Agung Mesir, Al-Hâfizh Ibnu Hajar Al-`Asqalâni lewat di depan seorang Yahudi yang menjual mentega dan minyak. Saat itu, Ibnu Hajar naik pedati yang ditarik oleh bighal, dan orang-orang mengelilinginya. Tiba-tiba orang Yahudi itu menghentikannya, seraya berkata, "Nabi kalian mengatakan, bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan Surga bagi orang kafir. Kenapa keadaanku begini, dan engkau seperti itu?" Ibnu Hajar menjawab, "Aku berada di penjara jika dikaitkan dengan apa yang Allah sediakan bagi orang mukmin di Akhirat. Sedangkan engkau berada dalam Surga jika dikaitkan dengan azab yang Allah sediakan bagi orang-orang kafir di Neraka." Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam.
Meskipun orang-orang kafir bersenang-senang di dunia, namun pada hakikatnya mereka dalam kesusahan dan kesempitan, karena mereka berpaling dari Allah—`Azza wajalla. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit." [QS. Thâhâ: 124]. Itulah sebabnya mengapa kita saksikan ada sebagian mereka yang melakukan tindakan bunuh diri lantaran kesempitan yang mereka rasakan.
Pada hakikatnya, kenikmatan duniawi yang diberikan kepada orang kafir hanyalah salah satu bentuk penundaan azab dan istidrâj (penggiringan kepada kebinasaan). Dalam hal ini Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):
· "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh." [QS. Al-A`râf: 182-183];
· "Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa Neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." [QS. Al-Baqarah: 126]
· "Dan janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal." [QS. Thâhâ: 131];
· Janganlah sekali-kali engkau terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahanam; dan Jahanam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya." [QS. Ali`Imrân: 196-197]
As-Sa`di—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Maksud dari ayat ini adalah menghibur orang-orang mukmin agar tidak tergiur dengan kesenangan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang kafir di dunia, seperti perjalanan mereka dari satu negeri ke negeri lainnya dalam rangka bisnis, mengembangkan usaha, atau sekedar untuk bersenang-senang. Sebagaimana juga, agar orang-orang mukmin tidak tergoda dengan kekuasaan dan beberapa kemenangan yang diperoleh oleh orang-orang kafir. Semua itu hanyalah sedikit kesenangan yang tidak akan bertahan lama dan kekal. Mereka akan menikmatinya sebentar saja, kemudian mereka akan disiksa sepanjang masa karena kesenangan itu. Ini adalah kedudukan paling tinggi bagi orang kafir, sebagaimana yang saya tangkap tentang penafsirannya. Sedangkan orang-orang yang bertakwa dan beriman kepada Allah, di samping mendapatkan kemegahan dan kesenangan di dunia: "bagi mereka Surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya." [QS. Al-Mâidah: 119]
Sekalipun dalam kehidupan dunia mereka mengalami segala macam kesengsaraan, kesempitan, penderitaan, dan kesusahan, namun semua itu sangat sedikit dibandingkan dengan kenikmatan yang kekal, kehidupan yang menyenangkan, kebahagiaan, dan kegembiraan yang abadi di Akhirat kelak. Semua itu tak ubahnya bagaikan hadiah yang diberikan dalam bentuk musibah. Oleh karena itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbuat baik." [QS. Âli `Imrân: 198]. Yaitu orang-orang yang berhati baik, sehingga perkataan dan perbuatan mereka juga menjadi baik. Allah Yang Mahabaik lagi Penyayang pun membalasi mereka dengan ganjaran yang besar, karunia yang tak terkira, serta kemenangan yang abadi.
Maka dari itu, seorang mukmin dilarang larut dalam kelezatan duniawi dan hidup bermegah-megahan, karena semua itu menyebabkan manusia lalai dan lupa (akan kenikmatan Akhirat). Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya Neraka-lah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Surga-lah tempat tinggalnya. [QS. An-Nâzi`ât: 37-41]
Sebuah kisah diriwayatkan dari Sa`ad Ibnu Ibrahîm, dari bapaknya, bahwa (suatu hari), Abdurrahmân Ibnu `Auf dihidangkan makanan; sedangkan ia sedang berpuasa. Ia lalu berkata, "Mush`ab Ibnu `Umair telah meninggal—dan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain yang jika ditutupkan untuk kepalanya, kedua kakinya tersingkap; dan jika ditutupkan untuk kakinya, kepalanya yang tersingkap. Dan Hamzah pun telah meninggal, dan ia juga lebih baik dariku. Kemudian Allah bentangkan untuk kita dunia seperti yang ada (saat ini). Sungguh, kita menjadi khawatir kalau kesenangan untuk kita telah disegerakan (di dunia ini)." Kemudian ia menangis, lalu meninggalkan makanan itu. [HR. Al-Bukhâri]
Surga Dunia
Jika seorang mukmin ridha menjadikan Allah sebagai Tuhan, dan ia telah mengecap rasa keimanan, serta ridha atas segala ketetapan dan takdir Allah atas dirinya, maka ia akan mendapatkan kenikmatan yang tiada tara. Yaitu kenikmatan ridha kepada Alah, tenteram bersama-Nya, serta rindu dan mencintai pertemuan dengan-Nya. Karena sesungguhnya siapa yang senang bertemu dengan Allah, niscaya Allah pun senang bertemu dengannya. Oleh karena itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—senantiasa berdoa kepada Allah agar dikaruniakan kenikmatan menatap wajah-Nya yang mulia dan selalu merindukan pertemuan dengan-Nya. Ketika Allah memberinya pilihan antara kesenangan dunia dengan pertemuan dengan-Nya, Rasulullah memilih pertemuan dengan-Nya. Beliau berkata, "Ya Allah, (aku memilih) Ar-Rafîqul A`lâ ('Teman' Yang Maha Agung)." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Sebuah riwayat juga diberitakan dari Abbâs Ibnu Abdil Muththalib—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia mendengar Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Akan mengecap citarasa iman seseorang yang meridhai Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi." [HR. Muslim]. Sementara dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Tsaubân—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang di petang hari mengucapkan, 'Aku ridha Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi, maka adalah mesti bagi Allah untuk membuatnya ridha." [Menurut Al-Albâni: dha`if]
Ketiga perkara yang terdapat dalam hadits di atas, yaitu: merasa ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul, merupakan tiga pokok bahasan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahab—Semoga Allah merahmatinya—dalam bukunya, "Al-Ushûluts Tsalâtsah wa Adillatuhâ". Ketiga hal ini juga merupakan perkara yang akan ditanyakan kepada manusia di dalam kubur. Karena sesungguhnya manusia akan ditanya di dalam kubur tentang Tuhan, Agama, dan Nabinya.
Dalam buku "Mirqâtul Mafâtih Syarhu Misykâtil Mashâbih" disebutkan: "Maksud 'citarasa iman' yang ada di dalam hadits di atas adalah manis dan lezatnya iman. Sedangkan tentang 'meridhai Allah sebagai Tuhan', pengarang kitab 'At-Tahrîr' berkata, 'Ridha kepada sesuatu artinya adalah puas dan merasa cukup dengannya serta tidak mencari sesuatu yang lain'. Jadi, maksud hadits di atas adalah tidak mencari tuhan selain Allah, tidak berjalan kecuali di jalan Islam, serta tidak berbuat kecuali sesuai dengan Syariat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam. Maka tidak dikeragui lagi, orang yang puas dengan ketiga hal di atas niscaya merasakan citarasa iman."
Sedangkan menurut Al-Qâdhi `Iyâdh, "Maksud hadits ini adalah bahwa orang yang puas dengan ketiga hal di atas akan memiliki iman yang benar, jiwa yang tenang, dan batin yang tenteram. Karena keridhaannya kepada ketiga perkara di atas membuktikan kedalaman ilmunya, ketajaman mata hatinya, dan kepuasan batinnya. Karena siapa yang ridha kepada sesuatu, niscaya sesuatu itu akan mudah baginya. Begitu juga, seandainya iman sudah benar-benar merasuk ke dalam hati seorang mukmin, pasti akan mudah baginya menaati Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan ketaatan itu akan terasa indah baginya."
Ibnul Qayyim berkata:
"Ridha kepada ulûhiyyah Allah mencakup keridhaan untuk hanya mencintai-Nya, serta takut, berharap, tunduk, dan menyerahkan diri kepada-Nya. Selain itu, juga mengarahkan segala energi keinginan dan kasih hanya kepada-Nya. Seorang yang benar-benar ridha kepada kekasihnya harus mempersembahkan semua bentuk ridha secara total, seperti menyembah dan ikhlas kepada-Nya.
Adapun ridha kepada rubûbiyyah Allah, mencakup ridha kepada semua skenario Allah untuk hamba-Nya, serta bertawakal, meminta pertolongan, yakin, dan bersandar hanya kepada-Nya. Di samping itu, juga ridha pada segala yang Allah tetapkan untuknya.
Jadi, Ridha kepada ulûhiyyah Allah mencakup keridhaan dalam melaksanakan semua yang Dia perintahkan. Sedangkan ridha kepada rubûbiyyah-Nya mencakup keridhaan terhadap apa yang Dia takdirkan.
Sementara keridhaan kepada Nabi Muhammad mencakup ketundukan dan penyerahan diri secara utuh kepada beliau. Dengan kata lain, seorang mukmin lebih mengutamakan Rasulullah daripada dirinya sendiri. Ia tidak mencari petunjuk kecuali dari sabda-sabda beliau, dan tidak pula berhukum kecuali kepada beliau. Sebagaimana ia juga tidak membiarkan yang lain memberikan hukum atas dirinya, dan sama sekali tidak menerima kecuali hukum beliau.
Sedangkan ridha kepada Islam sebagai agama artinya adalah: jika Islam mengatakan, menghukum, menyuruh, atau melarang, maka seorang hamba harus puas dan menerima semua itu tanpa ada rasa berat di dalam hatinya. Meskipun apa yang diinginkan oleh Islam itu bertentangan dengan keinginan, kecenderungan, atau pun perkataan guru dan kelompoknya." [Ibnul Qayyim, Madârijus Sâlikîn]
Dalam bukunya "Al-Wâbilush Shayyib", Ibnul Qayyim juga berkata:
"Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—Semoga Allah menyucikan rohnya—berkata, 'Sesungguhnya di dunia ini terdapat Surga yang barang siapa tidak pernah masuk ke dalamnya niscaya juga tidak akan masuk ke Surga di Akhirat'. Suatu ketika, beliau juga berkata kepadaku, 'Apa yang akan diperbuat musuh-musuhku terhadap diriku? Surga dan tamanku ada di dalam dadaku. Seandainya aku pergi, ia akan tetap bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku. Penjara bagiku adalah kesempatan khalwat (menyendiri) dengan Allah. Kematianku (jika dibunuh pun) berarti meraih gelar syahid. Dan pengusiranku dari kampung halaman bagiku adalah tamasya'.
Ketika berada dalam penjara di benteng, beliau berkata, 'Seandainya aku membayar (mereka) dengan emas sebesar benteng ini, semua itu belum bisa mengungkapkan syukurku terhadap nikmat ini'. Maksudnya, semua itu belum bisa membayar tindakan mereka yang menyebabkan beliau mendapatkan kenikmatan luar biasa yang beliau rasakan saat itu.
Dalam sujud beliau ketika di penjara, beliau sering berdoa, 'Ya Allah, bantulah hamba untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada, dan membaguskan ibadah kepada-Mu'. Mâsyâallâh!
Suatu ketika, beliau berkata kepadaku, 'Orang yang benar-benar terpenjara pada hakikatnya adalah orang yang memenjara hatinya dari Tuhannya. Dan orang yang benar-benar tertawan adalah orang yang ditawan oleh syahwatnya'.
Ketika masuk ke dalam benteng (lokasi penjara) dan berada di dalam pagarnya, beliau menoleh ke pagar itu seraya membaca firman Allah (yang artinya): 'Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.' [QS. Al-Hadîd: 13]
Demi Allah, aku tidak melihat ada orang yang kehidupannya lebih baik dari beliau, meskipun beliau menderita kesulitan serta jauh dari segala kemewahan dan kenikmatan. Meskipun dipenjara, diancam, dan disiksa, beliau tetap hidup dalam keadaan sangat baik, berhati lapang, berpendirian teguh, dan bahagia. Kenikmatan surgawi terlihat pada wajah beliau. Jika kami berada dalam keadaan genting, dihantui berbagai kekhawatiran, dan bumi terasa sempit bagi kami, biasanya kami langsung menemui beliau. Hanya dengan melihat beliau dan mendengar kata-kata beliau, semua kekhawatiran itu sirna, dan berganti menjadi kebahagiaan, kekuatan, keyakinan, dan ketenangan." [Ibnul Qayyim, Al-Wâbilush Shayyib]
Maha Suci Allah yang menampakkan Surga kepada sebagian hamba-Nya sebelum mereka meninggal dunia. Allah bukakan bagi mereka pintu-pintu Surga saat mereka masih berada di alam dunia. Sehingga sejak di dunia, mereka seperti sudah disentuh oleh aroma dan hembusan Surga yang membakar keinginan dan semangat mereka untuk berpacu meraihnya.
Seorang tokoh shalih pernah berkata, "Seandainya para raja dan anak-anak mereka tahu kenikmatan yang kita rasakan, niscaya mereka akan berusaha merebutnya dengan pedang."
Seorang ahli ibadah yang lain juga pernah berkata, "Malangnya para pencinta dunia! Mereka meninggalkannya, tetapi belum mendapatkan puncak kenikmatannya. Seseorang bertanya kepadanya, "Apa puncak kenikmatan dunia?" Ia menjawab, "Mencintai, mengenal, dan mengingat Allah—Subhânahu wata`âlâ, atau sejenisnya."
Ada juga yang mengatakan, "Sungguh, aku kadang melewati waktu (yang sangat nikmat), di mana aku mengatakan, 'Bila penghuni Surga hidup dalam kondisi seperti ini, wajar mereka betul-betul hidup dalam kondisi yang sangat baik'."
Sesungguhnya mencintai Allah—Subhânahu wata`âlâ, mengenal-Nya, senantiasa berdzikir, merasa damai bersama-Nya, serta mengkhususkan cinta, takut, harapan, tawakal, dan interaksi hanya untuk-Nya, sehingga Dialah satu-satunya Dzat yang berkuasa atas keinginan, tekad, dan obsesi kita, semua itu adalah surga dunia dan kenikmatan yang tidak ada tandingannya. Semua itu adalah penyejuk hati para pecinta Allah, dan spirit para ahli makrifat. Sesungguhnya kemampuan manusia untuk merasa suka kepada semua itu tergantung kepada kadar kesenangan mereka kepada Allah—`Azza wajalla. Barang siapa yang hatinya senang kepada Allah niscaya semua hati juga akan menyenanginya. Namun, barang siapa yang hatinya tidak merasa senang kepada Allah, jiwanya pasti akan tercabik-cabik karena kekecewaan kepada dunia.
Syaikh Ibnu 'Utsaimin mengomentari perkataan Ibnu Taimiyah, "Sesungguhnya Surga dan tamanku ada di dalam dadaku" dengan mengatakan, "Barangkali inilah rahasia yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya): 'Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya (di dalam Surga) kecuali mati yang pertama.' [QS. Ad-Dukhân: 56]. Maksudnya, ia tidak merasakan mati di dalam Surga, kecuali kematian yang sudah ia rasakan pertama kali. Padahal, sudah sama-sama diketahui bahwa di dalam Surga tidak ada kematian; baik kematian pertama ataupun kematian yang kedua. Namun, karena kenikmatan hati berlanjut dari dunia sampai ke dalam Surga, maka dunia dan Akhirat seakan sudah menjadi satu Surga yang tiada kematian di sana kecuali sekali saja.'
Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):
· "Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." [QS. An-Nahl: 97]. Ini di dunia. ".dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan." [QS. An-Nahl: 97]. Ini di alam Barzakh dan di Akhirat.
· "Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di Akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui." [QS. An-Nahl: 41];
· "Dan hendaklah kalian meminta ampun kepada Tuhan kalian dan bertobat kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya." [QS. Hûd: 3]. Ini di Akhirat.
· "Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan kalian'. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan bagi mereka pahala tanpa batas." [QS. Az-Zumar: 10]
Pada keempat ayat di atas, Allah—Subhânahu wata`âlâ—menjelaskan bahwa Dia membalas kebaikan orang yang berbuat baik dua kali: balasan di dunia dan balasan di Akhirat.
Jadi, kebaikan dan keburukan sama-sama memiliki balasan yang disegerakan di dunia. Minimal, balasan bagi orang yang berbuat baik adalah kelapangan hati, dan rasa bahagia karena berinteraksi dengan Tuhan, serta menaati dan mengingat-Nya. Kenikmatan rohani dan kegembiraan yang ia rasakan karena mencintai dan mengingat Allah—Subhânahu wata`âlâ—lebih besar dari kebahagiaan yang dirasakan oleh seorang yang sangat dekat dan dimuliakan oleh seorang raja.
Sedangkan balasan bagi orang yang berbuat jahat minimal berupa kesempitan, kekerasan, dan kegelapan hati. Ditambah dengan perasaan kecewa, gundah, sedih, dan ketakutan.
Ini merupakan hukum pasti yang tidak diragukan oleh setiap orang yang pernah mengecap hidup. Kegundahan, kesedihan, kesempitan, adalah azab yang disegerakan, sekaligus neraka dunia. Sedangkan rasa damai bersama Allah—Subhânahu wata`âlâ, tunduk dan ridha kepada-Nya, mencintai dan mengingat-Nya, serta bahagia dengan mengenal-Nya merupakan imbalan surgawi yang disegerakan di dunia. Ia adalah kehidupan yang jauh lebih nikmat dari kenikmatan hidup para Raja.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu diberikan Surga dan segala yang mendekatkan kami kepadanya, baik berupa perbuatan maupun ucapan. Dan kami berlindung kepada-Mu dari (siksaan) Neraka dan segala yang mendekatkan kami kepadanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Walhamdulillâhi rabbil `âlamîn.
[Sumber: Majalah Tauhid]