Karim—seorang pemuda berusia dua puluh tahun—duduk di hadapan seorang ustadz setelah ia mendengarkan kata-kata yang menyentuh dari sang ustadz tentang kenikmatan beribadah, di mesjid kampung tersebut. Inilah sebagian dialog yang berlangsung antara mereka berdua:
Karim : "Assalâmu`alaikum. Bagaimana kabar Anda, Ustadz? Apakah saya boleh berbicara sebentar dengan Anda?"
Ustadz : "Wa`alaikumussalâm warahmatullâh. Ya, saudaraku tercinta, tentu saja. Silahkan."
Karim : "Saya sering mendengar para ustadz berbicara tentang sikap mencintai Allah. Mereka mengatakan bahwa mencintai Allah merupakan derajat yang paling tinggi."
Ustadz : "Ya, demi Allah, apa yang mereka ucapkan itu benar sekali. Ia merupakan derajat yang diperebutkan oleh orang-orang yang berlomba dalam beramal. Ia merupakan tujuan yang dikejar oleh orang-orang yang bersegera berbuat baik. Dan ia merupakan kebutuhan pokok hati."
Karim : "Ya, demi Allah, siapa yang merasakan pasti mengetahuinya. Tapi saya ingin sampai kepada derajat yang lebih dari itu. Saya ingin Allah mencintai saya dan melimpahkan rahmat-Nya kepada saya."
Ustadz : "Mâsyâallâh, sungguh Anda telah membuat saya bahagia, saudaraku, dengan semangat dan kecintaan Anda kepada Allah. Dan derajat yang Anda cari itu adalah derajat yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—ketika menafsirkan firman Allah (yang artinya): "Niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu." [QS. Âli `Imrân: 31]. Ibnul Qayyim berkata, "Seorang hamba yang dicintai oleh Allah lebih tinggi daripada hamba yang mencintai Allah. Masalahnya bukan sekedar engkau mencintai Allah, tetapi masalahnya adalah bagaimana Allah mencintai engkau." Senantiasa melakukan amalan-amalan sunah setelah amalan-amalan wajib adalah salah satu jalan untuk sampai kepada target mulia dan tujuan yang sangat mahal ini."
Fisik Dan Ruh
Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah menciptakan manusia terdiri dari fisik dan ruh, dan menciptakan makanan khusus untuk masing-masingnya agar tetap sehat dan bisa meneruskan perjalanan. Karena lingkup pembicaraan kita sekarang adalah tentang ruh, maka penting sekali kita mengetahui bahwa Allah—`Azza wajalla—telah menyediakan banyak ibadah sebagai sumber abadi bagi bekal yang dibutuhkan jiwa dan ruh agar tetap suci dan terhindar dari segala ikatan maksiat dan godaan-godaan dunia. Setiap ibadah memiliki pengaruh yang berbeda dengan ibadah yang lainnya, di mana semuanya saling menyempurnakan satu sama lain, sekaligus memenuhi semua sisi kehidupan manusia, terutama kehidupan Anda wahai pemuda yang penuh dengan kekuatan, vitalitas, dinamis, dan aktif.
Di antara ibadah-ibadah itu ada satu ibadah yang mulia, agung, dan disukai oleh Allah. Ia merupakan pondasi bangunan hidup orang-orang yang beriman. Ia selalu diserukan oleh Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—dengan sabda beliau, "Hiburlah (tenteramkanlah) kami dengannya, wahai Bilal." Ia adalah shalat, sumber ketenangan dan keterlepasan dari kesibukan hidup. Jika sebelum ini kita telah membicarakan tentang kebutuhan pemuda terhadap ibadah, maka shalat merupakan sumber abadi bagi energi ruhiyah dan perbekalan hidup. Waktu-waktu shalat tersebar mulai dari malam hingga siang hari agar proses pembekalan dan pembaharuan energi jiwa itu terus berkelanjutan. Di dalam shalat, manusia membuang semua kesulitan hidupnya, untuk kemudian bersimpuh di hadapan Allah dalam keadaan khusyuk dan tunduk, rukuk dan sujud, membaca dan mendengarkan firman-firman Allah, menyucikan dan mengagungkan-Nya, serta memohon dan meminta ampun kepada-Nya. Seolah-olah shalat adalah mi`râj (naiknya) jiwa-jiwa kita kepada Allah, jauh dari tarikan dunia dan hiruk pikuk kehidupan. Artinya, apapun kebutuhan terhadap ibadah dipenuhi oleh shalat.
Pendidikan Shalat
Kosongnya jiwa dari sentuhan shalat akan membuatnya hampa, kering, tersesat dalam perjalanan hidup, serta membuat hati para pemuda haus untuk beribadah kepada Allah—`Azza wajalla. Oleh karena itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—menjadikan komitmen menjaga shalat dan menjaga waktu-waktunya sebagai salah satu faktor terpenting yang berperan aktif dalam melepaskan dahaga para pemuda yang membutuhkan ibadah. Ini yang pertama. Selain itu, shalat juga bermanfaat untuk memberikan sentuhan disiplin dan menghargai waktu dalam kehidupan pemuda, seperti yang diserukan oleh firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." [QS. An-Nisâ': 103]
Dengan menjaga waktu-waktu shalat ini, akan terlukis salah satu rambu kesungguhan terpenting di dalam kehidupan pemuda, khususnya mereka yang berada pada masa puber.
Shalat Sunah
Setelah tekun dalam menjalankan shalat wajib yang merupakan dasar bangunan ibadah, sekarang kita pindah kepada pembicaraan tentang shalat sunah yang akan menaikkan manusia kepada tahapan kesempurnaan. Pemuda yang mengerjalan shalat wajib sesungguhnya telah berjalan di jalan kesuksesan, namun orang yang mengerjakan amalan-amalan sunah tentu lebih sukses, lebih tinggi derajatnya, serta lebih mantap kedekatannnya kepada Allah. Di sini akan terlukis bagi kita salah satu rambu lain dari pendidikan shalat itu.
Pembicaraan kita sekarang adalah tentang shalat sunah yang dapat mendidik manusia untuk berusaha menuju kesempurnaan, tekun dalam bekerja, serta menutupi kekurangan amal, agar bisa muncul dalam bentuk yang paling sempurna. Tanda ketekunan itu adalah bahwa seorang pemuda tidak mencukupkan diri hanya dengan melakukan shalat wajib. Ia menyadari bahwa shalat wajib itu tidak lepas dari kekurangan dan cacat, sehingga ia berusaha untuk menutupi kekurangan itu dan menyempurnakannya dengan shalat sunah. Demikianlah, semangat melakukan shalat sunah di hati dan pikiran seorang pemuda mengukir antusiasme untuk menggapai posisi tertinggi dan derajat yang mulia.
Dalil Terbaik
Dalil terbaik atas apa yang kita sebutkan ini adalah bahwa Allah—`Azza wajalla—telah mengabarkan tentang hal itu. Allah—Subhânahu wata`âlâ—menjelaskan bahwa orang yang mengerjakan shalat sunah akan sampai kepada tingkat yang lebih mulia dan lebih tinggi daripada orang yang hanya mengerjakan shalat wajib. Orang yang mengerjakan shalat wajib secara sempurna adalah orang yang mencintai Allah, dan orang yang mengerjakan shalat wajib kemudian mengerjakan shalat sunah adalah kekasih Allah. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah Hadits Qudsi bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menyatakan bahwa Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (di antara firman-Nya itu): "Dan tidaklah seorang hamba-Ku beribadah dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada ibadah yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang ia gunakan untuk bekerja, dan Aku menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Apabila ia meminta kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan, dan apabila ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya akan Aku lindungi." [HR. Al-Bukhâri]
Yang Dimaksud dengan Shalat Sunah
Yang dimaksud dengan shalat sunah di sini adalah apa yang disebut dengan istilah "As-sunan", "Al-Mustahabbât", dan "At-Tathawwu`ât".
Pertama: "As-sunan"
Contoh "As-sunan" adalah shalat-shalat sunah rawâtib (sebelum dan setelah shalat wajib). Jumlahnya sepuluh rakaat bagi orang yang menetap. Telah disebutkan dalam riwayat yang shahîh bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—senantiasa menjaga shalat sunah ini. Abdullah ibnu Umar berkata, "Aku mengingat ada sepuluh rakaat (shalat sunah) dari Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, yaitu: dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib di rumah beliau, dua rakaat setelah Isya juga di rumah beliau, dan dua rakaat sebelum shalat Subuh." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga diriwayatkan melakukan shalat empat rakaat sebelum Zhuhur. 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya—meriwayatkan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak pernah meninggalkan shalat empat rakaat sebelum Zhuhur.
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang shalat (sunah) pada siang dan malam hari dua belas rakaat, akan dibangunkan untuknya suatu rumah di Surga karena shalat itu." [HR. Muslim]
Di antara shalat yang juga selalu dijaga oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah shalat Witir. Beliau tidak pernah meninggalkannya. Sebagaimana beliau juga tidak pernah meninggalkan dua rakaat sebelum shalat Subuh, baik ketika dalam perjalanan maupun di saat menetap, dan beliau menyuruh untuk melakukan itu. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jadikanlah akhir shalat kalian (di malam hari) shalat Witir." [HR. Al-Bukhâri]
Kedua: "Al-Mustahabbât"
Sedangkan contoh "Al-Mustahabbât" adalah shalat Dhuha yang keutamaannya di sebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar—Semoga Allah meridhainya—bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Setiap pagi, ada sedekah yang wajib dikeluarkan dari setiap ruas tulang badan kalian. Setiap tasbîh itu adalah sedekah, setiap tahmîd adalah sedekah, setiap tahlîl adalah sedekah, setiap takbîr adalah sedekah, menyuruh kepada yang makruf adalah sedekah, mencegah yang mungkar adalah sedekah. Dan sebagai ganti dari semua itu, cukup mengerjakan dua rakaat shalat Dhuha." [HR. Muslim]
Ketiga: "At-Tathawwu`ât" (Suka Rela)
Contoh jenis ini di antaranya adalah dua rakaat sebelum shalat Maghrib, sebagaimana yang terdapat di dalam hadits Abdullah Al-Muzani, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Shalatlah sebelum shalat Maghrib—kali ketiga beliau berkata—bagi orang yang mau." [HR. Al-Bukhâri]. Ini karena beliau tidak ingin orang banyak menjadikannya sebagai sunah yang dibiasakan.
Contoh lain adalah adalah shalat Tarawih di bulan Ramadhan. Ia ada pada bulan rahmat yang penuh dengan nilai-nilai keimanan. Suasana penuh iman tersebut membuat seorang muslim betul-betul siap untuk hidup dalam suasana shalat itu.
Marilah berjalan di jalur orang-orang yang berjalan menuju cinta Allah dengan cara menunaikan rakaat-rakaat shalat orang-orang yang dicintai Allah.
Renungan Bersama Qiyâmullail
Qiyâmullail (shalat malam), demi Allah, merupakan detik-detik yang sangat mahal. Di sana, tangis dan air mata ditumpahkan. Ia adalah sumber kebeningan dan kebersihan hati. Ia adalah mi`râj jiwa menuju Tuhannya. Wahai para pemuda, Qiyâmullail memancarkan ketenangan di hati Anda. Ia membentangkan awan keteduhan di atas jiwa Anda. Dengannya, Anda kembali menghidupkan ciri orang-orang shalih terdahulu yang seperti disebutkan Allah dalam firman-Nya (yang artinya): "Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam." [QS. Adz-Dzâriyât: 17]. Dengannya pula Anda ikut merasakan kenikmatan bersama pemuda-pemuda Islam yang istiqamah pada zaman sekarang.
Sesungguhnya kondisi hidup penuh perhiasan dan gemerlap dunia yang dilalui pemuda hari ini, di samping beban pikiran dan berbagai obsesi yang harus dipikul oleh sebagian mereka, sungguh akan mendorong mereka mencari sumber air kesucian yang damai. Tempat di mana mereka mereguk air segar yang membersihkan jiwa mereka, menyegarkan pikiran mereka, bahkan juga menguatkan fisik mereka. Mata air itu bisa kalian dapatkan di tengah malam, wahai para pemuda. Yaitu di tengah ketenangan yang demikian dalam terasa. Saat suara para penyeru menyelipkan suara syahdu ke telinga kita semua:
"Wahai para ksatria malam
bersungguh-sungguhlah
barangkali suara-suara kalian tidak akan ditolak
Tidaklah bangun di malam hari
kecuali mereka yang memiliki kemauan dan kesungguhan."
Karena sekarang kita berada pada bulan Ramadhan, maka kesempatan emas sedang terpampang di depan mata kalian, wahai para pemuda. Burulah kesempatan itu, dan latihlah jiwa kalian untuk bangun malam, lalu hidupkanlah malam-malam kalian dengan Qiyâmullail.
Mari Meraih Keutamaan
Adapun tentang keutamaan shalat-shalat "At-Tathawwu`ât", "As-Sunan", dan Al-Mustahabbât" merupakan tema yang membutuhkan uraian panjang. Namun saya memandang, kiranya dalam tulisan ini cukuplah kita petikkan bunga-bunga mekar dan buah-buah segar untuk Anda semua dari kebun yang indah itu. Dengan harapan semoga itu menjadi motivasi, menajamkan kemauan, dan membangkitkan keimanan Anda.
Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram. Dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam." [HR. Muslim]
Hadits lain diriwayatkan dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari shalat Witir." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Ada juga hadits lain yang menyebutkan bahwa 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Rasulullah melakukan shalat antara selesai shalat Isya sampai shalat Subuh sebanyak sebelas rakaat. Beliau mengucapkan salam di akhir setiap dua rakaat, dan kemudian shalat Witir dengan satu rakaat." [HR. Muslim]
Terakhir, wahai para pemuda, dengan terus membangun hidup dalam naungan Allah dengan menjaga shalat wajib, kemudian menyempurnakannya dengan shalat sunat, kalian akan berpindah dari tingkatan mencintai kepada tingkatan dicintai, sehingga kalian akan merengkuh gelar "Pemuda yang Dicintai Allah". Demi Allah, tahukah Anda, itulah pemuda yang langkah-langkahnya menjejak bumi, sementara di langit ia adalah hamba yang dicintai Allah. Alangkah bahagianya ia di dunia, dan alangkah gembiranya ia di hari Akhirat kelak, saat banyak orang merasakan penyesalan. Jadilah Anda di dunia sebagai petarung terdepan, bawalah hati yang bersih dan berkilau. Terdepan dalam kebaikan adalah tanda pemuda umat Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang mendapat taufik (bimbingan) Allah.
Saya akhiri tulisan untuk Anda ini dengan memaparkan kondisi mereka sebagaimana yang dinukilkan oleh Imam Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—di dalam kitab "Tharîqul Hijratain": "Orang yang terdepan dalam berbuat kebaikan, obsesinya adalah untuk meraih keuntungan dan mempersiapkan barang perniagaan amal, karena ia mengetahui kadar keuntungan yang dihasilkan. Ia melihat adalah rugi jika ia menyimpan sesuatu yang ada di tangannya dan tidak memperdagangkannya. Sehingga dengan itu ia akan mendapatkan keuntungannya di hari para pedagang bergembira dengan keuntungan perniagaan mereka. Ia seperti seorang yang mengetahui bahwa di depannya ada sebuah negeri yang di sana, dengan modal satu dirham, ia bisa mendapatkan sepuluh hingga tujuh ratus dirham, bahkan lebih. Selain itu, ia memiliki pengalaman tentang jalan-jalan di negeri itu, di samping pengalaman dalam berniaga. Maka kalau ia harus menjual bajunya dan semua yang ia miliki untuk bisa menyiapkan perniagaan ke negeri itu, ia pasti akan melakukannya. Demikian jugalah keadaan orang yang selalu terdepan dalam kebaikan—dengan izin Tuhannya. Ia melihat adalah sebuah kerugian besar ketika ada waktu yang terlewatkan tanpa perniagaan amal." [Ibnul Qayyim, "Tharîqul Hijratain"]
[Sumber: www.islammemo.cc]