Kepada para pecinta gadis-gadis muda, kepada para penggila wanita, kepada manusia-manusia yang larut dalam hawa nafsu yang hitam, kepada para mereka yang tersihir oleh kata-kata "wanita", kepada mereka semua, saya ingin mengatakan: "Apakah ini yang dinamakan cinta?!"
Pada awalnya saya berpikiran—mohon dikoreksi jika pikiran saya ini keliru—bahwa nuansa cinta yang dialami oleh para pecinta di kalangan pemuda dan pemudi dapat melahirkan kedamaian, ketenangan, kelapangan jiwa, serta kebahagiaan dengan rasa optimis menatap hidup dan masa depan. Saya mengira, perasaan cinta itu dapat melahirkan kekuatan yang membakar semangat secara berkesinambungan, serta mendorong kita bekerja dan berusaha tanpa henti dalam rangka memakmurkan dunia. Semuanya demi menyempurnakan perjalanan cinta, agar sampai ke puncak tertingginya, yaitu pernikahan.
Paling tidak, inilah pandangan saya pada awalnya. Tetapi sungguh mengejutkan, ternyata cinta dalam pandangan mayoritas muda-mudi kita tidak lebih dari permainan, senda-gurau, serta kesempatan untuk menghabiskan waktu. Cinta hanya dijadikan sarana untuk berbangga-bangga dengan sifat kejantanan, bahwa wanita yang selama ini begitu sulit ditaklukkan oleh semua orang sekarang telah menjadi kekasihnya.
Sementara itu, bagi sekelompok kecil pemuda, pacaran dianggap sebagai sarana serius untuk memilih istrinya di masa mendatang. Sayangnya, standar yang mereka gunakan tidak cermat dan tidak sesuai kaidah-kaidah yang lazim berlaku. Standarnya hanya semata-mata rasa takjub, suka, dan terpesona terhadap kecantikan lahiriah semata. Atau hanya karena satu sifat yang ia lihat pada diri kekasihnya, dengan melupakan sifat-sifat yang lain. Artinya, para pemuda itu tidak memiliki standar atau pun gambaran jelas tentang wanita dan istri yang layak menjadi pasangan hidupnya. Tidak ada kaidah yang ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang jelas dan benar.
Pada tingkat hubungan antara seorang pecinta dengan kekasihnya, cinta tiada lain adalah kombinasi dari berbagai letupan psikologis yang dahsyat, mulai dari gelombang rasa tidak bahagia, pesimis, kehilangan obsesi, kesempitan hati, dan kegundahan yang terus-menerus. Hal ini tentunya tidak menafikan adanya muncul luapan perasaan gembira yang tiba-tiba dan bergerak kuat. Namun itu hanya laksana kumpulan awan tipis yang tidak berlangsung lama dan segera berlalu. Setelah itu, episode kesedihan akan bermula dalam hubungan antara sepasang kekasih itu. Bentuknya sangat beragam, mulai dari kecurigaan dalam setiap kata-kata, pandangan, dan isyarat, sampai kepada bentuk-bentuk yang lain. Namun para pecinta biasanya memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pandangan mereka, deskripsi seperti ini terhadap cinta yang mereka jalani adalah bentuk kezaliman, tidak objektif, dan terlalu berlebihan.
Wahai Anda para pecinta, saya mengajak Anda sendiri untuk bersikap objektif dan bijak. Anda pasti tidak memungkiri bahwa wanita adalah makhluk Allah yang sangat menakjubkan dari segi hatinya yang begitu cepat berubah. Tidak hanya cepat berubah, perubahan itu juga biasanya sangat ekstrim. Mayoritas kaum wanita sangat mudah berubah dari titik paling kanan ke titik paling kiri dalam hal emosi dan perasaan. Hanya sedikit sekali wanita yang tidak demikian. Suatu ketika ia bisa menenggelamkan Anda dengan kata-katanya yang menegaskan bahwa Andalah yang menjadi sebab kebahagiaan dan sumber kebahagiaannya, sehingga tanpa Anda, ia tidak berarti apa-apa. Atau kalimat-kalimat manis lainnya yang bisa menyebabkan Anda larut dalam rasa senang. Namun tidak lama setelah itu, hanya lantaran mengingat satu sikap Anda, ucapan Anda, pandangan Anda, bisikan Anda, atau bisa jadi tanpa sebab apa pun, melainkan hanya untuk memastikan kebenaran perasaan Anda kepadanya, dan demi meraih curahan kasih yang lebih dari Anda, wanita yang lembut itu secara tiba-tiba bisa berubah menjadi cemberut dan murka seraya meluapkan kemarahannya, dan Anda akan terkejut menyaksikannya. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kondisi kontradiktif seperti ini bisa terjadi tanpa sebab apa pun, dan dalam waktu yang sangat singkat?
Ketika Anda dalam kondisi kaget dan kebingungan seperti itu, ia akan melontarkan kecaman dan celaan, kadang memerintah dan kadang melarang Anda. Ia mengeluarkan gejolak murka dengan menyebut kesalahan-kesalahan besar yang Anda lakukan, serta bencana besar yang menimpa Anda karena kesalahan yang Anda lakukan. Selanjutnya, Anda akan berusaha mati-matian menghapus semua sebab masalah dan konflik itu, seraya meminta maaf atas suatu kesalahan yang tidak Anda ketahui. Lalu meletuslah krisis 'dunia' itu. Dan selanjutnya akan terbuka pintu perdebatan sengit yang membuat pendengarnya merasa seolah-olah itu adalah pembicaraan seputar pelucutan senjata pemusnah massal dari negara-negara Timur Tengah. Lalu Anda akan tenggelam dalam arena debat berikut seluk-beluknya itu sampai Anda berhasil keluar dari krisis 'dunia' yang rumit tersebut.
Tetapi, saat keluar dari konflik itu, saya harap Anda tidak berpikiran bahwa kasus ini tidak akan terulang. Bahkan biasanya, setelah semua usaha luar biasa yang Anda lakukan untuk menghilangkan awan kemarahan itu, hanya dalam hitungan hari, fenomena itu akan terulang kembali.
Substansi yang ingin kita ungkap dalam pembicaraan ini bukanlah tentang perubahan yang kerap terjadi pada diri orang yang Anda cintai dan bagaimana menghadapinya. Tetapi yang ingin kita kedepankan adalah pengaruh kondisi seperti itu terhadap diri Anda. Anda jangan mengira bahwa dengan menjalin hubungan dengan seorang gadis secara tidak syar'i dan tidak diridhai oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—walaupun tidak sampai melakukan dosa besar, bahwa dengan itu Anda akan mendapatkan kelezatan besar dan kenikmatan luar biasa dan langgeng. Sama sekali tidak mungkin. Kebahagiaan semu ini justru tidak pernah berlangsung lama, sebab dalam sekejap ia akan sirna.
Tetapi di sebalik itu, efek hubungan ini terhadap cara berpikir, kualitas obsesi, dan cara penyelesaian masalah para pemuda harapan Islam ini sungguh sangat berbahaya. Kesibukan diri dengan merinci kata demi kata dan teori demi teori, serta terus-menerus berada dalam kondisi perdebatan yang tidak pernah habis itu pasti akan membuat seorang pemuda 'terdidik' untuk suka berdebat kusir dalam menyelesaikan masalah. Dan pada akhirnya, ia terbiasa melakukan itu hanya untuk menyelesaikan masalah-masalah sepele dengan cara membesar-besarkannya. Ia akan memandang masalah-masalah kecil sebagai masalah besar yang harus diselesaikan dengan berbagai teori dan diskusi panjang, serta harus menunjukkan berbagai argumentasi bahwa ia terbebas dari dosa tentang itu.
Seorang pemuda muslim, ketika menjalin interaksi dengan para pemudi (pacaran), akan terjebak ke dalam salah satu dari dua bentuk kepribadian: Pertama, ia akan menjadi pemuda melankolis dan pemimpi, yang tenggelam di dalam lautan asmara yang fiktif dan perasaan cinta yang menyala-nyala, demi mencari cinta yang "tulus dan suci". Kedua, ia akan asyik tenggelam dalam syahwat, penyimpangan, dan kenikmatan maksiat. Ia selalu berusaha mendapatkannya dan mencari-cari jalan ke sana. Ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya, mulai dari tenaga hingga harta benda, untuk meraihnya. Ia akan melemparkan semua norma, prinsip, dan adat istiadat.
Antara kedua model ini, ada banyak tingkatan model cara berpikir para pemuda akibat pembicaraan-pembicaraan seputar cinta dan asmara itu. Mulai dari kelemahan daya pikir akibat tema-tema pembicaraan yang sangat sepele dan tidak bermutu, sampai kepada model dialog yang matang berlandaskan pada level akal yang tinggi, dengan melihat kedepan, dan demi mencari kebaikan dirinya, bukan mencari kepentinganya semata.
Menurut penuturan seorang pemuda yang pernah masuk ke dalam kisah cinta, tetapi cepat keluar dari sana, siapa saja yang masuk ke dalam dunia asmara itu, tidak akan mungkin keluar dari putaran arusnya yang terus bergerak. Pemuda ini benar-benar mampu mengungkapkan realita yang memang dapat dilihat oleh semua manusia dan para pemuda, kecuali mereka yang tenggelam dalam khayalan cinta dan asmara.
Cinta yang hakiki adalah adalah cinta yang dibangun di atas kesepahaman yang mendalam antara kedua belah pihak, di mana masing-masing mengenal sifat pasangannya, baik sisi baiknya maupun sisi buruknya. Lalu dilanjutkan dengan interaksi bersama kombinasi sifat-sifat itu dengan sikap negatif atau positif. Dengan demikian, ia telah menjalankan salah satu hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—ketika beliau mengajarkan kepada para pecinta agar berinteraksi dengan pasangan atas dasar pemahaman yang mendalam terhadap sifat dan karakternya. Beliau bersabda, "Janganlah seorang lelaki beriman membenci seorang wanita beriman. Seandainya ia membenci suatu sifatnya, ia akan menyukai sifatnya yang lain."
Oleh karena itu, hendaknya seorang lelaki beriman tidak membenci wanita yang beriman karena sikap atau peristiwa tertentu. Sebaliknya, hendaknya ia meletakkan di depan sikap yang tidak disukainya itu satu sikap positif yang menyenangkan dan menggembirakannya, sehingga bahtera hubungan mereka dapat berlayar kembali dan tidak berhenti. Jenis cinta seperti ini adalah jenis cinta yang akan kekal bertahan, dan tidak akan sirna digoncang badai krisis. Jenis cinta seperti inilah yang akan meningkatkan dan mengembangkan cara berpikir manusia, sekaligus melepaskan kedua belah pihak dari sifat-sifat ego dalam cinta. Bahkan sebaliknya, model cinta seperti ini akan mewujudkan spirit memberi dan berkorban tanpa pamrih. Sebab hakikat cinta itu adalah memberi. Namun di era yang semakin berkembang ini, Anda dapat menyaksikan sebuah pemahaman baru tentang cinta; di mana masing-masing pasangan berusaha menuntut haknya dari pasangannya sebelum menjalankan kewajibannya sendiri. Menurut pandangan ini, kewajiban setiap pasangan justru adalah mendapatkan haknya dengan membuktikan bahwa pasangannya benar-benar mencintainya. Ini tentu laksana sebuah lingkaran yang tidak pernah habis.
Sesungguhnya apa yang Anda jalani saat ini, wahai para remaja, berupa hubungan yang hanya dibangun di atas kata-kata indah, penampilan yang menarik, atau lirikan mata, atau mungkin pakaian yang istimewa, lalu segenap reaksi yang lahir dari sikap ini Anda sebut sebagai cinta, sesungguhnya tidak lain hanyalah sarana penanaman sifat egosentris. Ia merupakan isyarat yang jelas betapa seseorang hanya mencintai dirinya sendiri. Salah satu bukti terbesar adalah bahwa mayoritas konflik yang terjadi antara pasangan seperti ini biasanya hanya disebabkan oleh satu kata yang terucap dan kemudian tidak termaafkan, atau karena sang pasangan memandang yang lain lalu muncul curiga, atau karena satu tolehan kepala, atau karena celaan terhadap perilaku yang tidak baik dari pasangan, padahal bukan karena memang perilakunya buruk, tetapi hanya karena ingin mendapat perhatian dan kasih sayang yang lebih. Apakah ini yang dinamakan cinta?! Saya kira tidak demikian. Jika hal ini adalah cinta, tidak mungkin ia hanya melahirkan kegundahan, permasalahan, dan kebingungan.
Cinta adalah kelembutan yang menenangkan hati, oase tempat melepas kelelahan dan beban hidup. Cinta adalah kelapangan hati, ketenangan batin, serta perpaduan dengan jiwa dan alam semesta. Cinta adalah kelezatan yang memenuhi jiwa para pecinta. Bukan malah kegundahan yang menutupi muka mereka. Bukan pula kesedihan yang mendera kehidupan mereka. Bukan juga kekhawatiran menghadapi perlakuan buruk dari pasangan, atau menghadapi perubahan sikapnya yang begitu drastis.
Karena itu, jadilah orang yang berakal bijak. Jangan tertipu oleh bisikan-bisikan nafsu yang menggoda Anda dengan sifat yang cantik dan keistimewaan yang menawan. Ingatlah bahwa perasaan menderita sudah cukup untuk merubah kehidupan menjadi "Neraka", kendati Anda berada di tengah taman "Surga".
Semoga Allah menyelamatkan Anda dari segala hal yang membuat-Nya murka, juga dari semua perkara yang mengantarkan Anda kepada kesulitan hidup dan kesempitan rezeki. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rasa cinta yang tulus dan suci yang dibangun di atas keridhaan Allah—Subhânahu wata`âlâ. Sebab itu adalah surga dunia sebelum Surga di Akhirat nanti.
Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." [QS. Thâhâ: 124]
Salah satu gambaran kehidupan yang sempit dan paling dahsyat pengaruhnya terhadap kesehatan dan pikiran seorang hamba adalah buruknya kehidupan di rumah tempat ia tinggal, serta munculnya kesulitan yang terus-menerus dalam urusan-urusan paling remeh sekalipun. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah menjadikan kaum wanita sebagai pakaian bagi kaum lelaki, sekaligus sumber ketenangan bagi jiwa dan raganya. Dan bagaimana mungkin seorang wanita bisa menjadi seperti itu jika ia tidak tunduk kepada perintah Allah—Subhânahu wata`âlâ, tidak menjalankan syariat-syariat-Nya, tidak lapang dada mengikuti petunjuk-Nya, dan tidak mau menikmati semua peran dan kewajiban yang Allah bebankan kepadanya. Maka berbahagialah para pemilik kehidupan yang baik. Mereka-mereka yang dapat merasakan cinta hakiki.
Untuk orang-orang yang bersabar menunggu sampai mendapatkan cinta yang halal, Allah menjanjikan surga dunia, yaitu seorang istri yang shalihah. Allah akan memberikan kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian jiwa kepadanya. Allah juga menjamin akan membuatnya mereguk nikmat yang sangat tinggi dari sebuah cinta tulus yang di bangun di atas dasar saling memberi, bukan meminta. Atas dasar pengorbanan, bukan keegoisan. Atas dasar îtsâr (mengutamakan kepentingan pasangannya), bukan atas dasar kepentingan diri sendiri.
Semoga Allah menjaga Anda dari semua keburukan. Semoga Allah memberikan kepada Anda karunia kebaikan dunia dengan seluruh keindahannya, serta menjaga Anda dari semua keburukannya. Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai dalam ketaatan kepada-Nya di dunia, dan di bawah naungan 'Arsy-Nya di Akhirat. Amin.
[Sumber: www.islammemo.cc]