Rasa takut kepada Allah dan tangis selalu menyertai dirinya. Setiap dilihat, air matanya selalu berlinang. Setiap nama Allah disebut di dekatnya, ia selalu terlihat takut, seluruh anggota tubuhnya akan gemetar. Tahukah Anda, siapakah laki-laki yang hatinya telah dipenuhi cahaya iman itu?
Dahulu, ia adalah seorang yang gemar melakukan maksiat (dosa). Tapi kemudian ia bertobat kepada Allah, dan Allah pun menjadikannya sebagai hamba yang beriman. Ia berubah dari seorang penyamun yang senantiasa membuat orang lain ketakut an menjadi seorang ahli ibadah yang zuhud. Penyebab tobatnya, seperti diceritakan dalam sebuah riwayat, adalah bahwa pada suatu malam, ia memanjat dinding rumah seseorang. Tiba-tiba ia mendengar suara orang membaca ayat (yang artinya): "Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?." [QS. Al-Hadîd: 16]
Ketika mendengar ayat itu, ia berkata, "Tentu, wahai Tuhan. Waktunya sudah tiba." Ia pun pulang, dan saat itu ia lewat di sebuah tanah tandus. Di sana, ia melihat sekelompok orang yang sedang berkumpul. Sebagian mereka berkata, "Mari kita berangkat." Tapi sebagian yang lain berkata, "Kita tunggu sampai pagi, agar Fudhail tidak menyamun kita." Fudhail pun bergumam di dalam hati, "Aku berjalan pada malam hari untuk melakukan maksiat. Dan di sini sekelompok kaum muslimin merasa takut kepadaku. Aku yakin, Allah tidaklah menggiringku ke tempat mereka, melainkan untuk mengingatkanku (agar bertobat kepada-Nya). Ya Allah, sekarang hamba bertobat kepada-Mu. Dan hamba ingin buktikan tobat hamba dengan menetap di sisi Baitul Haram."
Tobatnya ia perlihatkan dengan cara menetap di dekat Masjidil Haram, tempat yang dipenuhi rahmat dan keberkatan. Di sana, ia berdoa kepada Allah dan meminta ampun kepada-Nya, serta menyesali tindakannya yang selama ini melalaikan hak-hak Allah.
Al-Fudhail lahir di Khurasan. Kemudian ia pindah ke kota Kufah di Irak. Di sana, ia mempelajari hadits Nabi yang mulia dan Fikih dari para ulama, seperti Al-A'masy, Yahya ibnu Sa'îd Al-Anshâri, Ja'far Ash-Shâdiq, dan lain-lain. Semua itu memberi kesan yang dalam terhadap kepribadiannya, sehingga ia menjadi seorang manusia zuhud yang memandang dunia tidak lebih berharga di sisi Allah daripada sehelai sayap lalat, sehingga tidak ada gunanya manusia saling menjatuhkan dan berperang untuk mendapatkannya. Kesenangan duniawi adalah kesenangan yang fana. Adalah lebih baik bagi seseorang beramal kebaikan dan meninggalkan dosa demi kehidupan Akhiratnya. Karena kesenangan Akhiratlah yang akan kekal abadi. Kemudian Al-Fudhail tinggal di Mekah sampai ajal datang menjemputnya.
Setiap kali mengiringi jenazah ke makamnya, Al-Fudhail selalu mengingatkan orang-orang yang ada bersamanya tentang kehidupan Akhirat. Ketika sampai di pusara jenazah itu, biasanya ia duduk sambil menahan kesedihan yang mendalam. Ia terus menangis tiada henti.
Pada suatu ketika, Khalifah Harun Ar-Rasyid bertanya kepadanya, "Apa sajakah sifat-sifat seorang mukmin itu, wahai orang yang zuhud?" Fudhail menjawab, "Sifat seorang mukmin adalah (menyadari bahwa) kesabaran yang banyak akan mendatangkan kenikmatan yang panjang, dan ketergesaan yang sedikit akan membuat penyesalan yang panjang."
Pada suatu ketika, ia lewat di dekat sekumpulan orang kaya yang sedang bermain, minum-minum, dan berleha-leha. Ia berkata kepada mereka dengan nada tinggi, "Sesungguhnya kunci segala kebaikan adalah zuhud di dunia." Salah seorang dari mereka bertanya kepadanya, "Apa yang dimaksud dengan zuhud di dunia?" Al-Fudhail menjawab, "Qana'ah dan ridha. Keduanya adalah kekayaan yang hakiki. Kaya bukanlah pada banyaknya harta dan keluarga. Sesungguhnya kekayaan hakiki adalah kaya jiwa dengan qana'ah dan ridha di dunia, sampai kita kelak meraih keberuntungan di Akhirat." Kemudian ia berdoa kepada Allah, "Ya Allah, zuhudkanlah kami di dunia. Sesungguhnya sifat zuhud adalah kunci kebaikan hati kami, amal kami, seluruh permintaan kami, dan kunci berhasilnya semua keperluan kami."
Pada suatu ketika, Harun Ar-Rasyid pergi menunaikan ibadah haji. Ia bertanya kepada salah seorang sahabatnya tentang seorang yang mungkin ditanyai beberapa perkara. Orang yang ditanya itu menunjukkannya kepada Al-Fudhail ibnu 'Iyâdh. Harun dan sahabatnya pun pergi menemui Al-Fudhail. Setelah bertemu, Al-Fudhail berkata kepada Harun Ar-Rasyid, "Umar ibnu Abdul Aziz ketika menjabat sebagai khalifah memanggil beberapa orang shalih, lalu berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya aku diuji dengan ujian (khilafah) ini. Karena itu, berilah aku saran'. Umar menganggap jabatan khalifah sebagai sebuah bencana, sedangkan engkau dan teman-temanmu menganggapnya sebuah nikmat."
Harun Ar-Rasyid menangis mendengar kata-kata Al-Fudhail itu. Sahabat Harun Ar-Rasyid berkata kepada Al-Fudhail, "Kasihanilah Amirul Mukminin." Tapi Al-Fudhail menjawab, "Engkau dan teman-temanmu membunuhnya, lalu aku engkau suruh mengasihaninya?" (Maksudnya, tidak menasihatinya berarti membunuhnya). Harun Ar-Rasyid berkata, "Tambahlah nasihatmu untukku, semoga Allah merahmatimu."
Al-Fudhail pun menyampaikan pesan-pesan dan nasihatnya kepada Harun. Ia berkata, "Wahai orang yang berwajah indah, engkaulah orang yang akan ditanya Allah tentang umat ini pada hari Kiamat kelak. Seandainya engkau mampu menjaga wajah ini dari api Neraka maka lakukanlah. Janganlah engkau memasuki waktu pagi dan petang, sementara di dalam hatimu terdapat tipuan terhadap salah seorang dari rakyatmu. Karena Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Tidaklah seorang pemimpin yang membawahi kaum muslimin meninggal dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah akan megharamkan baginya Surga'. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]."
Harun pun menangis mendengarkan penuturan itu. Ia lalu berkata kepada Al-Fudhail, "Apakah engkau punya hutang, biar aku bayarkan?" Fudhail menjawab, "Iya. Aku punya hutang kepada Tuhanku. Dan Dia belum menghisabku atas hutang itu. Celakalah aku jika ia mendebatku tentang hutang itu. Celakalah aku, seandainya aku tidak memiliki alasan yang kuat." Harun berkata, "Maksudku, hutang kepada manusia." Al-Fudhail berkata, "Sesungguhnya Tuhanku tidak menyuruhku untuk berbuat demikian. Dia menyuruhku membenarkan janji-Nya dan menaati perintah-Nya. Harun berkata, "Ini 1000 dinar, ambillah, belanjakanlah untuk keluargamu dan gunakanlah untuk menguatkanmu dalam beribadah kepada Tuhanmu." Fudhaill berkata, "Subhânallâh, aku menunjukimu ke jalan keselamatan, dan engkau memberiku seperti ini?! Semoga Allah menyelamatkanmu dan memberimu petunjuk." Kemudian ia diam dan tidak lagi berbicara. Harun Ar-Rasyid dan sahabatnya pun pergi.
Al-Fudhail adalah seorang sosok yang sangat tawadhuk, selalu merasa bahwa ia masih melalaikan hak-hak Allah, meskipun shalat dan ibadahnya sangat banyak.
Suatu saat, Al-Fudhail jatuh sakit. Saat menderita sakit itu, orang-orang di sekelilingnya mendengar ia berucap, "Rahmatilah aku karena cintaku kepada-Mu. Tidak ada sesuatu pun yang lebih aku cintai daripada Engkau."
Al-Fudhaill, sang manusia zuhud dan ahli ibadah itu, menetap di Mekah sampai ajal datang menjemputnya pada tahun 187 H. Di tanah suci itu, ia digelari Syaikul Haramil Makki (Guru besar Tanah Haram Mekah).
[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]