Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Sebelum kita menjelaskan permasalahan hukum had (hudud) terhadap pelaku zina, dan siapa yang berhak menjalankannya, terlebih dahulu, kita harus memastikan tiga hal:
1. Bahwa si gadis tersebut tidak dipaksa melakukan zina. Jika ia dipaksa maka ia tidak dijatuhi hukuman apa-apa;
2. Bahwa benar-benar terjadi persetubuhan di bagian qubul (kemaluan) atau dubur (anus). Kalau terjadi pada selain kedua tempat itu berarti tidak termasuk zina;
3. Bahwa perzinaan itu benar-benar sudah terbukti. Pembuktiannya adalah dengan salah satu dari tiga perkara berikut:
- Pengakuan si pelaku sendiri bahwa ia telah berzina, dan ia bersikeras menyatakan pengakuannya tersebut. Dalilnya adalah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—menerapkan hukum dera kepada Mâ`iz ibnu Mâlik dan seorang wanita Al-Ghâmidiyah ketika mereka mengaku berzina. [HR. Al-Bukhâri, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, dan lain-lain];
- Kesaksian empat orang saksi laki-laki, dan mereka menyaksikan perzinaan itu secara langsung. Dalilnya adalah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ— (yang artinya):
· "Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas beritu bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itu di sisi Allah adalah orang-orang yang berdusta." [QS. An-Nûr: 13];
· "Dan (terhadap) para wanita yang melakukan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya)." [QS. An-Nisâ': 15]
- Adanya indikasi-indikasi yang menunjukan telah terjadinya perzinaan, seperti: terungkapnya kehamilan wanita tanpa memiliki suami, kemudian ia tidak membantah bahwa ia berzina, dan ia belum pernah menikah. Sebuah hadits diriwayatkan dari Sa`îd bahwa suatu ketika, seorang wanita dilaporkan kepada Umar, karena ia tidak memiliki suami, namun telah hamil. Kemudian Umar bertanya kepadanya tentang hal itu, dan ia menjawab, "Aku adalah seorang wanita yang suka tidur lelap. Kemudian suatu ketika, ada seorang laki-laki yang menyetubuhiku di saat aku tidur, dan aku tidak sadar sampai ia selesai menyetubuhiku." Mendengar itu, Umar menggugurkan hukuman had darinya. Dan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ali dan Ibnu Abbas pernah berkata, "Jika terdapat dalam permasalahan had (hudud) ungkapan: 'boleh jadi' dan 'kemungkinan', maka ia tidak bisa diterapkan."
Jika perzinaan sudah terbukti dengan salah satu atau lebih dari tiga hal yang kami sebutkan di atas, siapakah yang memiliki hak untuk menerapkan hukum had (hudud)-nya?
Jawabannya adalah: Para ahli Fikih sepakat bahwa hukuman hudud tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh imam (penguasa muslim) atau wakilnya, sehingga tidak boleh diambil alih oleh ayah, suami, kerabat, atau suatu jemaah.
Jika perbuatan zina itu terjadi dengan kerelaan si gadis, dan ia telah baligh dan mukallaf, maka ia berdosa dan telah melakukan dosa besar. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk." QS. Al-Isrâ': 32]
Yang harus dilakukan oleh si gadis yang bersangkutan adalah bertobat kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ—dengan tobat yang sebenar-benarnya, dengan harapan semoga Allah mengampuni dosa besarnya itu. Di samping juga harus memperbanyak amal shalih. Karena tobat adalah wajib dilakukan dari setiap dosa. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kalian kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya." [HR. At-Tahrîm:8]
Sementara ayah, keluarga, dan orang yang mengetahui perbuatan si gadis hendaknya menutup aib tersebut, tidak menyebarluaskannya, dan tidak membukanya kepada orang banyak. Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—bersabda:
· "Sesungguhnya Allah Mahamalu dan Maha Menutupi, Dia suka sifat malu dan tertutup (terjaga)." [HR. Abû Dâwûd, Ahmad, dan An-Nasâ'i; sanadnya shahîh];
· "Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya pada hari Kiamat." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Orang yang tidak mengajak orang lain berbuat dosa, seperti orang yang meminum khamar atau berzina atau melakukan perbuatan dosa dengan rasa takut, sembunyi-sembunyi, tidak membuka aibnya, tidak memamerkan perbuatannya, dan tidak membiasakan diri dalam perbuatan itu, dianjurkan untuk menutupinya perilakunya dan tidak membukanya kepada orang banyak maupun orang tertentu, tidak juga kepada penguasa maupun rakyat biasa.
Pihak wali si gadis berkewajiban untuk menasihatinya tanpa membeberkan aibnya, sekaligus berusaha mendorongnya agar takut kepada murka Allah, dan menyemangatinya untuk memperoleh ampunan Allah. Setelah itu, hendaknya berusaha mencari penyebab yang membuat si gadis terjerumus ke dalam perbuatan keji itu, kemudian mengatasinya dengan penuh bijaksana, tawakal kepada Allah, dan berdoa dengan tekun kepada-Nya. Boleh jadi penyimpangan si gadis disebabkan oleh kelalaian si wali sendiri.
Fudhail ibnu `Iyâdh berkata, "Orang mukmin itu suka menutupi (aib) dan menasihati, sedangkan pendosa itu suka membuka aib dan menghina."
Wallâhu a`lam.