Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Shalat yang dilakukan setelah proses bersuci yang belum sempurna itu tidak sah dan wajib diulang. Karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja, hingga kalian mandi." [QS. An-Nisâ: 43]. Dan mandi yang benar adalah dengan membasuh seluruh bagian tubuh.
Adapun mengenai kewajiban mengulangi mandi, para ulama berbeda pendapat. Ada sebagian ulama yang mengatakan tidak wajib mengulanginya, tetapi hanya harus menyempurnakannya, yaitu dengan cara membasuh bagian kutek yang menghalangi air itu. Dan harus ada niat baru dalam mencuci tersebut, jika waktu antara mandi dengan tersadar itu cukup lama. Karena dengan demikian, berarti ia telah menjadi proses bersuci tersendiri, dan ia merupakan perbuatan yang membutuhkan niat. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—bersabda, "Setiap perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan setiap orang akan dibalasi sesuai dengan niatnya…" [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Sementara sebagian ulama menyatakan wajib mengulangi mandi. Karena lamanya rentang waktu sampai disadarinya keberadaan kutek itu telah meniadakan muwâlah (bersambungan). Sementara muwâlah merupakan syarat syah thâharah, baik wudhuk maupun mandi, dalam pandangan mereka. Para pemilik pendapat ini berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dâwud dan Ahmad dari para shahabat bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—melihat seorang lelaki sedang melaksanakan shalat, sementara di punggung kakinya terdapat bagian sebesar uang dirham yang tidak terkena air, lalu Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—menyuruhnya untuk mengulangi wudhuk dan shalatnya.
Menurut mereka, seandainya muwâlah tidak wajib, niscaya Rasulullah tidak akan menyuruh lelaki tersebut mengulangi wudhuknya dari awal lagi, akan tetapi cukup menyuruhnya untuk membersihkan bagian yang tidak terkena air itu saja.
Ada pula sebagian ulama yang menyatakan wajib mengulangi wudhuk, tetapi tidak wajib mengulangi mandi. Mereka juga berpegang kepada hadits di atas, yang telah dinyatakan shahîh oleh sekelompok ulama. Sementara para ulama pemilik pendapat pertama menyatakan hadist tersebut cacat, karena di sanadnya terdapat Baqiyah ibnul Walîd yang merupakan seorang mudallis (biasa memanipulasi hadits) dan banyak meriwayatkan hadits dari orang-orang yang dha`if (lemah). Namun dalam salah satu riwayat hadits ini, Baqiyah meriwayatkannya secara sharih (jelas) dengan lafaz tahdîts (mendengar langsung dari gurunya).
Sudah barang tentu, mengambil pendapat pertengahan, yaitu yang mewajibkan muwâlah (bersambung) dalam wudhuk dan mandi, adalah lebih berhati-hati dan lebih aman dalam menjaga Agama.
Wallâhu a`lam.