Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Sesungguhnya sengaja tidak berpuasa pada bulan Ramadhân tanpa suatu uzur (halangan) yang dibenarkan oleh Syariat termasuk salah satu dosa besar di sisi Allah—Subhânahu wata`âlâ. Oleh karenanya, kewajiban pertama bagi orang yang melakukan hal itu adalah bertobat kepada Allah—Ta`âlâ—dari dosa besar tersebut. Ia harus memperbanyak istighfar dan amal shalih, selain wajib meng-qadhâ' seluruh puasa Ramadhân yang ia tinggalkan secara sengaja itu, menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Demikian juga puasa-puasa yang ia tinggalkan karena halangan yang syar`i, wajib ia qadhâ', tanpa ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Jika ia tidak tahu atau lupa jumlah puasa yang ia tinggalkan itu maka ia harus berpuasa sampai merasa telah terbebas dari kewajiban qadhâ'. Selain itu, di samping wajib meng-qadhâ', ia juga harus membayar kafarat lantaran telah menunda qadhâ' puasa hingga masuk Ramadhân berikutnya. Tidak ada kafarat lain atas kelalaiannya itu selain bertobat, lalu meng-qadhâ' puasa-puasa tersebut dan membayar kafarat karena penundaan qadhâ'-nya.
Sebagai informasi, kafarat menunda qadhâ' tidak dihitung berdasarkan jumlah berapa kali bulan Ramadhân yang terlewatkan. Kewajiban kafarat yang harus dikeluarkan lantaran menunda qadhâ' Ramadhân pertama hingga masuk Ramadhân kedua tidak menjadi berlipat lantaran belum meng-qadhâ' hingga masuk Ramadhân ketiga, demikian seterusnya.
Itu semua jika ia tidak melakukan jimak (hubungan badan suami-istri) di siang hari Ramadhân. Artinya, ia membatalkan puasa hanya dengan makan dan minum. Tetapi jika ia membatalkan puasa dengan jimak, padahal ia tahu keharaman hal itu maka ia juga harus membayar kafarat besar selain kafarat yang telah kami jelaskan di atas.
Jika maksud perkataan Anda: "Saya tidak bisa menggantinya", adalah Anda tidak bisa meng-qadhâ', maka ketahuilah bahwa kewajiban qadhâ' itu tidak akan gugur kecuali dalam kondisi seseorang tidak mampu berpuasa untuk selamanya. Atas dasar ini, jika Anda tidak bisa meng-qadhâ' lantaran penyakit Anda, perlu diketahui bahwa penyakit itu tidak lepas dari dua kondisi: (Pertama), masih memiliki harapan sembuh. Dalam kondisi ini, Anda harus menunggu hingga sembuh, kemudian meng-qadhâ' puasa Anda sesuai kemampuan Anda. (Kedua), sudah tidak ada harapan sembuh. Dalam kondisi ini, kewajiban qadhâ' telah gugur dari Anda dan diganti dengan kewajiban membayar fidyah, yaitu memberi satu mud makanan kepada satu orang miskin (untuk setiap satu hari puasa yang ditinggalkan). Satu mud sama dengan sekitar 750 gram beras.
Anda juga harus berkonsultasi kepada dokter untuk mengetahui apakah Anda bisa meminum obat di malam hari saja sebagai ganti siang hari, sehingga Anda dapat berpuasa, ataukah puasa akan membahayakan kesehatan Anda. Dokter pulalah yang menjadi rujukan untuk mengetahui apakah penyakit Anda itu ada harapan sembuh atau tidak.
Wallâhu a`lam.