Hukuman Pukulan: Para ahli pendidikan berkata, "Pengobatan paling terakhir adalah besi panas." Mereka membolehkan menggunakan pukulan sebagai hukuman untuk mendisiplinkan anak. Tapi mereka membolehkannya hanya pada batas-batas yang sangat sempit, dengan membuat syarat-syarat yang ketat dalam penggunaannya, agar hukuman pukulan ini tidak keluar dari makna pendidikannya; tidak berubah dari tujuan asasinya sebagai teguran dan perbaikan menjadi ajang kemarahan atau balas dendam.
Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Ajarkanlah anakmu shalat pada umur tujuh tahun, dan pukullah ia kalau tidak shalat pada umur sepuluh tahun." [HR. At-Tirmîdzi]
Hadits ini cukup sebagai dalil yang menunjukkan diakhirkannya penggunaan pukulan dalam mendidik anak jauh dari awal proses pendidikan. Ketika sudah terbukti bahwa anak telah mampu meninggalkan kesalahan tapi ia tetap melakukannya, pada saat itulah dibolehkan memukul dan menghukumnya.
Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan ketika menggunakan hukuman pukulan kepada anak, yaitu:
- Seorang pendidik tidak boleh menggunakan pukulan kecuali setelah melewati seluruh langkah hukuman yang telah dijelaskan sebelumnya;
- Hindari memukul daerah-daerah sensitif seperti kepala, wajah, dada, dan perut, berdasarkan sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Dan janganlah engkau memukul wajah." [HR. Abû Dâwûd]
Pukulan yang keras terhadap anak dapat menghilangkan keseimbangan fisiknya. Tamparan di telinga dapat menyebabkan gendang telinga anak pecah atau mengalami ketulian. Begitu juga benturan yang kuat pada anak dapat menyebabkan geger otak atau cedera punggung. Para pakar telah mengajarkan bagian tubuh mana saja yang tepat dijadikan sasaran pukulan yang tidak melukai dan membahayakan anak, misalnya kedua tangan dan kaki. Pukulan juga tidak boleh lebih dari sepuluh kali. Tidak boleh ada hukuman pukulan yang lebih dari sepuluh kali, kecuali jika pendidik melihat bahwa anak tidak dapat jera dengan itu. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Seseorang tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali, kecuali pada pelanggaran terhadap hukum hudûd." [HR. Muslim]
Alat yang digunakan untuk memukul harus berukuran sedang dan cukup lembut. Tidak boleh menggunakan benda keras sehingga dapat mematahkan tulang, tidak pula benda yang terlalu lembut sehingga pukulan tidak membuat anak merasa sakit sedikit pun.
- Pukulan untuk tahap-tahap awal hendaknya tidak kuat dan tidak menyakitkan;
- Memukul anak langsung dengan tangan sendiri, tidak membiarkan itu dilakukan oleh saudara si anak, supaya tidak timbul api dendam di antara mereka;
- Memperhatikan perbedaan individual setiap anak. Telah terbukti melalui berbagai penelitian dan studi bahwa anak-anak yang terbuka (pandai bergaul) akan meningkatkan upaya perbaikan setelah mereka disalahkan, sementara anak-anak yang tertutup (suka menyendiri) sering mengalami gangguan kreativitas setelah disalahkan. Sebagian anak cukup ditegur dan diperbaiki dengan pandangan marah dan kesal, sementara anak yang lain harus dicela dengan kata-kata untuk menasihatinya. Terkadang pendidik bahkan terpaksa menggunakan tongkat pemukul ketika nasihat tidak ada harapan untuk berhasil;
- Jangan memukul anak saat pendidik dalam keadaan sangat marah, karena dikhawatirkan akan membahayakan anak;
- Jangan menyalahkan atau memukul anak disebabkan hal yang di luar keinginannya atau tidak mampu ia lakukan. Disebutkan dalam sebuah hadits: "Janganlah kalian menyiksa (menghukum) anak kalian dengan mengobati sakit tenggorokannya dengan mengeruk ke dalam mulutnya. Tetapi gunakanlah ranting pohon costus." [HR. Al-Bukhâri];
- Kembangkan sikap toleransi terhadap anak dan jangan menghukumnya jika ia termasuk anak yang tidak biasa melakukan kesalahan. Ini bersandarkan kepada sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Sembunyikanlah kesalahan orang-orang yang terkenal baik di antara kalian." [HR. Abû Dâwûd]. Karena anak seperti ini seringkali jera ketika dihukum dengan hukuman yang lebih ringan dari pemukulan;
Oleh karena itu, kami menekankan kepada para pendidik, kalaupun harus menggunakan pukulan untuk mendidik, jadikanlah itu sebagai hukuman paling akhir. Atau jadikanlah itu hanya sebagai sarana pelengkap dalam pelaksanaan metode-metode pendidikan yang lain. Hukuman pukulan ini hendaknya selalu disertai dengan menunjukkan anak kepada sumber-sumber kesenangan yang dibolehkan daripada menempuh cara-cara lain yang terlarang. Selain itu, orang tua juga harus membimbing anak untuk berteman dengan teman-teman yang baik sebagai ganti dari teman-teman yang nakal.
Singkatnya, hukuman fisik harus disertai dengan membantu anak dalam melepaskan diri dari kekurangannya, dengan menjauhkannya dari sumber kesalahan, mengarahkannya kepada aktivitas alternatif yang baik, membantunya memahami suasana aktivitas yang baru itu, mengenalkan kepadanya bahwa aktivitas itu tidak salah sehingga tidak harus dihukum karena melakukannya, serta memahamkan bahwa masih banyak sarana lain yang lebih baik untuk melakukan aktivitas sehingga tidak akan dikenai hukuman karenanya. Hal ini jauh lebih baik daripada pemukulan saja (tanpa memberi arahan).
- Selain itu, ada juga hal penting—setelah semua langkah-langkah di atas, yaitu para pendidik hendaknya selalu berdoa agar anak didiknya menjadi orang yang shalih dan mendapat hidayah dari Allah. Para pendidik dan orang tua hendaknya selalu mengucapkan doa-doa seperti:
- "Wahai Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa." [QS. Âli `Imrân: 38];
- "Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau." [QS. Al-Baqarah: 128];
- "Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." [QS. Al-Ahqâf: 15];
- "Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan Jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." [QS. Al-Furqân: 74]
Kami menyarankan kepada para pendidik untuk tidak menggunakan metode hukuman fisik kecuali dalam kasus-kasus yang sangat memaksa. Karena telah terbukti dari penelitian bahwa:
- Bahwa anak-anak yang hanya diberikan hukuman fisik tanpa disertai hukuman yang lain menjadi lebih agresif (keras) daripada anak-anak yang lain;
- Hukuman fisik terhadap anak hanya berpengaruh pada saat hukuman itu diberikan. Anak terkadang mencegah diri melakukan kesalahan karena takut kepada hukuman saat itu, tapi ia akan mengulangi kesalahannya ketika orang tua sedang tidak ada;
- Hukuman fisik sering mengarah kepada rasa takut dan hilangnya kahangatan kasih sayang. Kadang-kadang pada diri anak malah muncul rasa benci kepada orang tuanya atau kepada orang yang mengurusnya. Selain itu, anak yang dihukum secara fisik tidak akan mengingat selain rasa sakit akibat hukuman itu, dan itu hanya akan membangkitkan kemarahannya. Cengkeraman rasa takut terhadap hukuman juga akan menjadi penghambat bagi anak untuk mempelajari adab dan perilaku positif yang kita inginkan darinya;
Praktik Keseharian dan Urgensinya dalam Mendidik Anak
Ini adalah metode pendidikan yang sangat antusias diterapkan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, sebagai usaha menekankan pentingnya nilai praktik dalam mendidik. Sebuah hadits diriwayatkan dari Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Suatu malam, aku menginap di rumah bibiku Maimûnah. Di tengah malam, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bangun mengambil tempat air, lalu berwudhuk dan menaruh kembali tempat air tersebut, kemudian bangkit untuk melaksanakan shalat. Aku pun ikut bangun dan berwudhuk seperti beliau, kemudian berdiri di sebelah kiri beliau. Beliau lalu menarik serta memutarku dari belakang badan beliau dan memposisikanku di samping kanan beliau, kemudian aku shalat bersama beliau." [HR. Abû Dâwûd]
Pada masa Rasulullah, orang-orang melaksanakan ibadah haji sambil membawa anak-anak mereka—meskipun sebenarnya anak kecil belum wajib melaksanakan haji—supaya mereka terbiasa dan belajar tata cara ibadah haji. Sebuah hadits diriwayatkan dari Jâbir—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Suatu saat, kami melaksanakan ibadah haji bersama Rasulullah. Ketika itu, bersama kami turut serta kaum perempuan dan anak-anak. Dan kami melontarkan Jumrah untuk mereka." [HR. Ibnu Mâjah dan Ahmad]
Kaum muslimin generasi awal juga selalu membiasakan anak-anak mereka untuk berpuasa semenjak belia. Rubayyi` bintu Mu`awwidz diriwayatkan pernah berkata tentang puasa `Âsyûrâ', "Kami berpuasa `Âsyûrâ' dan mengikutsertakan anak-anak kami yang masih kecil berpuasa. Lalu kami pergi ke mesjid dan membuatkan mereka mainan dari wol. Jika salah seorang dari mereka menangis meminta makan, kami memberinya makan ketika berbuka." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Anak-anak juga bisa dilatih sejak kecil untuk menerapkan nilai-nilai akhlak seperti kejujuran, dengan cara mempercayakannya memegang sejumlah uang. Atau melatihnya untuk tekun bekerja dengan menugaskannya untuk melakukan pekerjaan tertentu seraya memintanya untuk cermat dalam mengerjakannya. Lalu ia diberi penghargaan sesuai dengan kadar kejujuran dan ketekunannya.
Anak juga bisa diajarkan berbagai etika sopan santun. Kami telah menjelaskan sebelumnya bahwa Rasulullah mengajarkan anak-anak bagaimana adab makan, sebagaimana Al-Quran juga mengingatkan kita untuk mengajarkan mereka adab-adab meminta izin dan adab-adab lainnya. Oleh karena itu, metode praktik dengan berbagai pengulangan dan pengamalan harian akan memberikan nilai belajar yang baik, sekaligus memantapkan berbagai pengalaman yang telah didapatkan Anak.