Diriwayatkan dari M`uâdzah bintu Abdullah Al-`Adawiyah—Semoga Allah merahmatinya—ia berkata, "Aku pernah bertanya kepada Aisyah—Semoga Allah meridhainya, 'Mengapa orang yang haid harus meng-qadhâ' puasa padahal ia tidak perlu meng-qadhâ shalat? Beliau balik bertanya: 'Apakah engkau orang Harûriyyah? Aku menjawab: 'Saya bukan orang Harûriyyah, saya hanya bertanya'. Beliau menjawab, 'Dahulu kami pernah mengalami haid dan kami diperintahkan untuk meng-qadhâ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadhâ shalat." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Dalam Sunan At-Tirmidzi disebutkan: Diriwayatkan dari Mu`âdah, ia bertanya kepada Aisyah—Semoga Allah meridhainya, "Apakah salah seorang dari kami harus meng-qadhâ shalat (yang ia tinggalkan) pada hari-hari haidnya? Beliau balik bertanya, 'Apakah engkau orang Harûriyyah? Salah seorang dari kami pernah mengalami haid dan kami diperintahkan untuk meng-qadhâ." HR. At-Tirmîdzi]
Diriwayatkan dari Aisyah—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Kami pernah mengalami haid di zaman Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, kemudian suci. Lalu beliau memerintahkan kami meng-qadhâ puasa dan tidak memerintahkan kami meng-qadhâ shalat." [HR. At-Tirmîdzi.Dan menurutnya: hasan]. Ia juga berkata, "Hadits inilah yang berlaku menurut para ulama, kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa perempuan haid harus meng-qadhâ puasa dan tidak meng-qadhâ shalat."
Perkataan Aisyah—Semoga Allah meridhainya, "Apakah engkau orang Harûriyyah?" adalah karena beliau merasa aneh dengan pertanyaan Mu`âdzah. Harûriyyah adalah salah satu sekte Khawârij, yang dinisbatkan kepada suatu tempat bernama Harûrâ', sebuah tempat di daerah Kûfah tempat pertama kali keluarnya kelompok ini. Mereka adalah kelompok yang sangat keras kepala dan berlebih-lebihan. Sebagian mereka bahkan mewajibkan wanita untuk meng-qadhâ shalat yang ia tinggalkan pada masa haid, sehingga mereka menentang banyak hadits dan Ijmâ'. Oleh karena itulah Aisyah bertanya dengan ungkapan penolakan ini, yakni: Apakah engkau termasuk golongan mereka?
Kandungan Hadits dan Hukum-Hukum
1. Diharamkan perilaku keras kepala dan berlebih-lebihan dalam Agama, kewajiban untuk berhenti dan beramal sesuai batas nas-nas Agama, serta mengambil rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Sebagaimana tercelanya berlebih-lebihan dalam agama, menyeleweng dari ajaran agama juga termasuk perkara yang tercela. Yang paling baik adalah sikap pertengahan, yaitu menjalankan seluruh nas-nas Agama yang ada.
2. Disyariatkannya mengingkari orang-orang yang berlebih-lebihan dalam Agama dengan metode yang cocok, yang dapat mewujudkan tujuan dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
3. Seyogyanya bagi para penanya, jika mufti (ulama yang memberi fatwa) mengira bahwa ia keras kepala karena pertanyaannya yang buruk, hendaknya ia menerangkan bahwa dirinya hanya ingin mendapatkan petunjuk dan bukan keras kepala. Seperti perkataan Mu`âdzah, "Saya bukan orang Harûriyyah, saya hanya bertanya". Maka, ketika itu mufti harus menjawab pertanyaannya dengan dalil yang dapat menghilangkan ketidakpahaman, sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah—Semoga Allah meridhainya.
4. Sesungguhnya `illat (alasan) paling besar yang menjadi `illat (wujud) seluruh hukum Syariat adalah bahwa ia adalah perintah Allah dan perintah Rasul-Nya. Dan dengan hal inilah Aisyah memberi `illat hukum ini (hukum perempuan meng-qadhâ' puasa dan tidak meng-qadhâ' shalat). Beliau menjawab penanya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memerintahkan para wanita meng-qadhâ' puasa dan tidak memerintahkan meng-qadhâ' shalat. Maksudnya, kalau seandainya meng-qadhâ' shalat wajib hukumnya, niscaya Rasulullah akan memerintahkan hal itu, karena beliau adalah manusai yang paling antusias memberi nasihat kepada umat. Tidak satupun perkara yang beliau tinggalkan tanpa menerangkan dan menjelaskannya (dari buku `Umdatul Qârî: 301/3).
Demikianlah seharusnya setiap muslim, hendaknya ia menyerahkan diri kepada Allah dan mengagungkan Syariat-Nya, berhenti pada nas-nas yang telah tetap, menjalankan perintah karena memang Syariat memerintahkannya, meninggalkan larangan karena memang Syariat melarangnya, walaupun ia belum mengetahui `illat dan hikmah di balik perintah dan larangan itu.
5. Ibnu Abdil Barr—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Hal ini adalah Ijmâ`, bahwa wanita tidak boleh berpuasa pada masa-masa haidnya, dan ia wajib meng-qadhâ' puasa dan tidak wajib meng-qadhâ' shalat. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, alhamdulillâh. Dan apa yang menjadi Ijmâ` kaum muslimin adalah kebenaran sejati dan riwayat pasti yang menafikan udzur apapun."[1]
6. Tidak dibebankannya kaum wanita meng-qadhâ' shalat merupakan ciri kemudahan dan toleransi Syariat, dan merupakan bentuk rahmat Allah kepada kaum perempuan. Hal ini karena shalat dilakukan terus-menerus dan sangat berat bagi kaum wanita meng-qadhâ'nya. Maka wajib bagi para wanita untuk bersyukur kepada Allah atas kemudahan dan keringanan ini.
7. Apabila seorang perempuan telah suci dari haidnya setelah terbit fajar langsung, maka tidak sah baginya berpuasa pada hari itu, dan ia wajib meng-qadhâ'nya, karena waktu fajar telah masuk sementara ia masih dalam keadaan haid.
8. Apabila seorang perempuan mulai haid sesaat sebelum terbenam matahari, maka puasanya hari itu batal, dan ia wajib meng-qadhâ'nya.
9. Apabila seorang perempuan mulai haid sesaat setelah terbenam matahari, maka puasanya hari itu sah.
10. Apabila seorang perempuan merasakan mulai bergeraknya darah haid dan ia sedang berpuasa, atau merasakan sakit haid, tetapi darahnya belum keluar kecuali setelah matahari terbenam, maka puasanya sah.[2]
11. Dapat disimpulkan dari hadits di atas bahwa seorang yang sakit boleh tidak berpuasa walau ia merasa masih punya kekuatan, jika ia merasa kesulitan dan khawatir penyakitnya semakin parah. Karena perempuan haid bukan tidak mampu berpuasa sama sekali, hanya saja hal itu berat baginya karena keluarnya darah, dan keluarnya darah adalah penyakit.[3]