Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwasanya Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Puasa itu adalah hari kalian semua berpuasa (tidak ada yang belum berpuasa), Idul Fitri adalah hari kalian berbuka (tidak ada lagi yang berpuasa), dan Idul Adha adalah hari kalian berkurban." [HR. At-Tirmidzi. Beliau mengatakan: hadits hasan gharîb]
Dalam suatu riwayat dari Abû Dâwûd disebutkan (bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda): "Idul Fitri kalian adalah pada hari kalian semua berbuka (tidak ada lagi yang masih berpuasa), dan Idul Adha kalian adalah pada hari kalian berkurban." [HR. Abû Dâwûd, At-Tirmidzi, Ibnu Mâjah, Ad-Daruquthni, Abdurrazzâq dan Ishâq]
Dan diriwayatkan pula dari Aisyah—Semoga Allah meridhainya, ia berkata: "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Idul Fitri adalah hari orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari orang-orang berkurban." [HR. At-Tirmidzi dan Ishâq. Menurut At-Tirmidzi: hasan gharîb shahih dari sisi ini]
Beberapa Pelajaran dan Hukum-hukum yang Dapat Diambil dari Hadits-hadits Di Atas:
1. Adanya toleransi dan kemudahan dalam syariat Islam, penghapusan kesulitan dari seorang mukallaf (orang yang sudah menanggung kewajiban-kewajiban dan ketentuan dalam agama), dan penetapan waktu-waktu ibadah sesuai dengan kemampuan dalam melihat hilal.
2. Syariat Islam sangat menjaga kesatupaduan suara umat Islam dengan cara menyatukan mereka dalam berpuasa, berbuka, dan berhari raya.
3. Kesalahan dalam menetapkan masuk atau berakhirnya suatu bulan bisa dimaafkan bila orang-orang melakukan apa yang diperintahkan Allah—Subhânahu wata`âlâ, yaitu melihat hilal (bulan sabit) menurut aturan Syariat, atau menggenapkan hitungan bulan bila tidak memungkinkan untuk melihat hilal.
Al-Hâfidz Ibnu `Abdil Barr—Semoga Allah merahmatinya—mengatakan, "Para ulama betul-betul telah sepakat bahwa, apabila sekian banyak orang salah ketika melihat hilal untuk menetapkan awal Dzulhijjah, lalu mereka wukuf di Arafah pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka wukuf itu sah. Demikian juga masalah penetapan Idul Fitri dan Idul Adha. Wallâhu `lam." (At-Tamhîd: I/356)
Syaikh Abdullah Ibnu Bâz—Semoga Allah merahmatinya—juga mengatakan, "Seandainya orang-orang ternyata salah, sementara mereka telah melakukan (suatu ibadah) berdasarkan proses melihat hilal yang sesuai ketentuan Syariat, maka mereka tetap mendapat pahala dan patut dihargai." (Majmû` Fatâwâ wa Rasâ'il Ibn Bâz: XV/133).
4. Dalam kedua hadits ini terdapat dalil bahwa, dalam menetapkan hari raya, yang patut dianggap adalah persetujuan orang banyak. Orang yang sendiri saja mengetahui tibanya hari raya dengan melihat hilal harus mendapat persetujuan orang banyak. Ia harus mengikuti hukum yang ditetapkan oleh mereka dalam masalah waktu berpuasa, berbuka, dan berkurban
Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Di dalamnya terdapat dalil bahwa orang yang sendiri saja melihat hilal tidak terikat oleh hukumnya, baik dalam berpuasa, berbuka, maupun dalam menentukan sesuatu." (Tahdzîbus Sunan: VI/317).
Berdasarkan keterangan di atas, apabila seseorang melihat hilal sendiri saja dan kesaksiannya tidak diterima, maka ia tidak boleh berpuasa sendirian. Tetapi ia harus berpuasa bersama orang banyak. Hukum yang berlaku atas dirinya adalah hukum yang berlaku atas mereka, berdasarkan konteks hadits-hadits ini. (Lihat: Al-Fatâwâ As-Sa`diyyah, hal. 216 dan Majmû` Fatâwâ wa Rasâ'il Ibn Bâz, vol.XV, hal. 64, 72 dan 73).