Sikap abai adalah sebuah sifat negatif. Kata ini biasanya dipakai untuk menunjukkan sikap seseorang yang tidak perhatian terhadap kewajiban yang harus ia perhatikan dengan sempurna, baik dengan meninggalkannya secara keseluruhan ataupun melaksanakannya dengan tidak sempurna. Contoh penggunaanya dalam kalimat adalah sebagai berikut: "Orang tua mengabaikan anaknya". "Guru mengabaikan muridnya". "Perempuan itu abai dalam melayani suaminya, atau abai melaksanakan kewajiban mengurus rumahtangga dan mendidik anak-anaknya". "Pemerintah abai terhadap rakyatnya". "Murid abai terhadap pelajarannya". Dan contoh-contoh lainnya.
Kata ini juga dipakai dengan disertai satu makna tertentu, atau salah satu sisi kehidupan. Tapi terkadang ia juga dipakai secara mutlak (tanpa diiringi kata lain), misalnya: "Ia adalah seorang yang abai".
Melihat besarnya bahaya sifat abai ini terhadap individu dan masyarakat, kita akan membahasnya dalam beberapa poin berikut:
Pertama: Abai terhadap Agama
Sikap abai yang paling berbahaya adalah abai yang berhubungan dengan Agama. Apabila sikap abai terhadap kebersihan rumah atau abai dalam belajar merupakan sifat negatif bagi seorang hamba, maka mengabaikan shalat dan amar ma'rûf nahi munkar misalnya adalah sikap abai yang paling berbahaya dan dahsyat. Orang yang abai dalam mengurus rambutnya tentu tidak sama dengan orang yang abai dalam menunaikan hak-hak orang tua dan kewajiban berbakti kepada mereka. Orang yang abai dalam menyiapkan piring-piring dan makanan tentu juga tidak sama dengan orang yang mengabaikan kewajiban menegakkan Agama dan mengatur kehidupan dunia. Karena sebagian keburukan memang lebih ringan daripada sebagian yang lain.
Sikap abai ini terkadang berakibat pada hilangnya sumber daya alam dan menyebabkan kemiskinan umat. Terkadang juga mengakibatkan terputus dan tercabiknya hubungan sosial, tersebarnya kezaliman, dan bertambahnya kezaliman para penguasa lalim. Abai juga merupakan simbol dari hilangnya perasaan, sehingga akhirnya menyebabkan pelakunya terusir dari rahmat Allah—Subhânahu wata`âlâ.
Oleh karena itu, kita wajib berhati-hati terhadap sikap ini, baik ia sedikit maupun banyak. Kita juga harus berusaha meluruskan orang-orang yang abai dan melatih mereka mengenal nilai-nilai kekuatan dan keteraturan. Kita harus mendidik mereka untuk melawan hawa nafsu, bersemangat membaja, bercita-cita tinggi, serta berazam kuat. Sehingga mereka mampu bangkit dengan memikul pekerjaan dan tugas mereka dengan penuh kesungguhan. Karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—mencintai hamba yang melaksanakan tugasnya dengan tekun dan sempurna. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Laksanakanlah apa yang Kami turunkan untuk kalian dengan sepenuh kekuatan."
Kedua: Para Rasul adalah Manusia-manusia Paling Sempurna
Para nabi dan rasul telah melaksanakan sepenuh kemampuan mereka dalam menyampaikan kebenaran kepada manusia, menunaikan risalah mereka, serta melaksanakan amanat dakwah menuju jalan Allah—Subhânahu wata`âlâ. Inilah memang tugas yang paling agung dalam kehidupan ini. Mereka berjuang siang dan malam demi melaksanakan tugas besar itu, sehingga semua gerak-gerik, perkataan, dan perbuatan mereka adalah suri teladan bagi siapa saja yang datang setelah mereka. Sehingga melalui tangan mereka itu, Allah membuka mata yang buta, telinga yang tuli, dan hati yang tertutup.
Lihatlah Nabi Ibrahim—Alaihis Salâm—ketika berkata: "Aku akan pergi menuju Tuhanku yang akan memberiku petunjuk." [QS. Ash-Shâffât: 99]. Lihatlah Nabi Lûth—Alaihis Salâm—ketika berkata: "Aku berhijrah kepada Tuhanku." [QS. Al-'Ankabût: 26]. Lihatlah pula Nabi Mûsâ—Alaihis Salâm—ketika berkata: "Sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku". [QS. Asy-Syu`arâ': 62]
Dan terkumpullah seluruh kesempurnaan dan keindahan dalam diri Nabi kita, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam, di mana kehidupan beliau, dakwah beliau, hijrah beliau, dan jihad beliau adalah puncak ketekunan amal, obor penerang, hidayah, dan cahaya. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sungguh, bagi kalian dalam diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan (kebaikan) hari Akhirat, serta banyak berzikir kepada Allah." [QS. Al-Ahzâb: 21]
Kebaikan dan keberkahan tidak diketahui kecuali melalui beliau. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah mengakui kesucian penglihatan beliau melalui firman-Nya (yang artinya): "Tidaklah penglihatannya sesat atau keliru." [QS. An-Najm: 17]. Allah juga telah menyatakan kesucian hati beliau melalui firman-Nya (yang artinya): "Tidaklah sahabat kalian (Muhammad) itu sesat dan tidak pula keliru." [QS. An-Najm: 2]. Allah juga mengakui kesucian lisan beliau melalui firman-Nya (yang artinya): "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya." [QS. An-Najm: 3]. Allah juga menyatakan kesucian Malaikat yang mengajarkan beliau dalam firman-Nya (yang artinya): "Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat." [QS. An-Najm: 5]. Sebagaimana Allah juga mengakui kesucian beliau secara keseluruhan melalui firman-Nya (yang artinya): "Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung." [QS. Al-Qalam: 4]
Ketiga: Bersama Rasulullah
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menjahit sandal beliau sendiri, memerah susu kambing sendiri, serta menambal pakaian beliau sendiri. Ummul Mu`minîn, 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya, pernah menceritakan, "Apabila mendengar azan, beliau seolah-olah tidak mengenal kami dan kami tidak mengenal beliau. Beliau selalu membantu kesusahan orang lain, memberi orang yang papa, membantu mereka yang terkena musibah, berjihad di jalan Allah…"
Dan pada hari beliau wafat, beliau berwasiat kepada umat beliau agar senantiasa menjaga shalat, serta melarang mereka menjadikan kubur sebagai mesjid. Kemudian dari kamar Ummul mu`minîn, Aisyah—Semoga Allah meridhainya, beliau menengok para shahabat beliau yang sedang berbaris untuk melaksanakan shalat, seolah-oleh mengucapkan selamat tinggal kepada mereka dan mengawasi mereka. Beliau pun tersenyum di hadapan mereka, hingga membuat mereka terpesona. Anas—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Aku pun melihat wajah beliau seolah-olah lembaran Mushhaf." Beliau mulia ketika hidup di dunia dan begitu pula ketika wafat.
Keempat: Rasulullah Mencela Sikap Abai
Siapa yang memperhatikan sunnah dan sejarah hidup Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pasti akan menemukan banyak sekali gambaran celaan dan larangan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—terhadap sikap abai ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
· Hadits yang diriwayatkan dari Sahal ibnu Hanzhalah—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Suatu ketika, Rasulullah lewat di dekat seekor unta yang perutnya telah menempel ke punggungnya (kelaparan karena tidak diberi makan). Lalu beliau bersabda, 'Takutlah kalian kepada Allah dalam memperlakukan binatang ternak. Tunggangilah ia dalam keadaan baik dan makanlah ia dalam keadaan baik."
· Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Ja'far—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Suatu hari, Rasulullah mengajakku berjalan di belakang beliau, kemudian beliau membisikkan kepadaku sebuah perkataan yang tidak akan pernah aku sampaikan kepada orang lain. Dan yang paling Rasulullah sukai menjadi penutup beliau ketika buang air adalah bongkahan tanah atau pohon-pohon kurma. Saat itu, beliau masuk ke dalam kebun milik seorang Anshar, dan di sana beliau melihat seekor unta. Ketika unta itu melihat Rasulullah, tiba-tiba unta itu meringis, dan kedua matanya mengalirkan air mata. Lalu Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mendatangi unta itu dan mengusap bagian belakang lehernya sehingga ia pun diam. Beliau lalu bertanya, 'Unta ini milik siapa?' Seorang pemuda Anshar datang dan berkata, 'Milikku, wahai Rasulullah'. Beliau bersabda, 'Tidakkah engkau takut kepada Allah dalam memperlakukan hewan yang Allah berikan kepadamu ini. Ia mengadu kepadaku bahwa engkau sering membuatnya lapar dan kepayahan." [HR. Ahmad dan Abû Dâwûd; Menurut Syaikh Ahmad Syâkir: shahîh]
· Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Seorang perempuan disiksa lantaran seekor kucing yang ia kurung sampai mati, sehingga ia pun masuk Neraka karena hal itu. Ia tidak memberi makan dan tidak memberi minum kucing itu ketika ia kurung. Ia juga tidak membiarkannya keluar memakan serangga tanah." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
· Hadits yang diriwayatkan dari Khaitsamah—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Suatu ketika, kami duduk bersama Abdullah ibnu 'Amr. Tiba-tiba pembantunya datang dan masuk ke rumah. Abdullah bertanya kepadanya, 'Sudahkah engkau memberikan makanan kepada para hamba sahaya itu?' Pembantu itu menjawab, 'Belum'. Mendengar itu, Abdullah berkata, 'Kembalilah dan berikanlah kepada mereka makanan mereka!' Abdullah lalu berkata, 'Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Cukuplah menjadi dosa bagi seseorang bila ia tidak memberikan makanan kepada orang yang menjadi tanggung jawabnya." [HR. Muslim]
· Hadits yang diriwayatkan dari Anas ibnu Malik—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidak beriman seseorang yang tidur malam dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu bahwa tetangga di sebelahnya kelaparan." [HR. Ath-Thabrâni, Al-Bazzâr, dan Al-Mundziri; sanadnya hasan]
Kelima: Al-Quran dan Sunnah adalah timbangan
Sebgai penutup, semua perkataan dan perbuatan manusia tidak akan terlepas dari sikap abai ini kecuali dengan mengetahui ajaran-ajaran Syariat dan Sunnatullah di alam semesta. Tidak ada jalan untuk mengatur gerak dan diam kita, tidak ada jalan untuk meninggalkan sikap berlebihan atau meremehkan, tidak ada cara untuk jauh dari faktor-faktor penyebab sikap abai, dan juga tidak ada jalan untuk memastikan kualitas dan kuantitas perbuatan kita kecuali dengan istiqamah (konsekuen) berjalan di atas Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya—Shallallâhu `alaihi wasallam.
Alhamdulillâhi Rabbil 'âlamîn