Kematian adalah sebuah takdir yang pasti untuk semua makhluk. Dan mati syahid merupakan bentuk kematian paling mulia yang Allah pilihkan untuk siapa saja yang dikehendaki-Nya. Seorang mukmin, dalam segala keadaan, diperintahkan untuk selalu bersiap-siap menghadapi kematian. Apalagi untuk orang yang bercita-cita menggapai mati syahid, tentu harus lebih mempersiapkan diri, serta lebih antusias berharap agar Allah memilihnya untuk itu.
Banyak orang yang firasat mereka terhadap saudara-saudara mereka ternyata benar. Mereka memprediksi bahwa saudara-saudara mereka itu akan mendapatkan syahid berdasarkan tanda-tanda keshalihan yang terlihat pada diri mereka. Sehingga berdasarkan, mereka dijuluki dengan julukan yang dahulu pernah diberikan kepada Thalhah berdasarkan wahyu dari Allah, yaitu "Manusia syahid yang masih berjalan di muka bumi". Atau dalam riwayat lain disebutkan: "Orang ini (Thalhah) termasuk di antara manusia yang telah gugur (sebagai syahid)".
Lantas, bagaimana caranya kita bersiap untuk menjemput syahid dan mempersiapkan diri untuk itu, supaya kita benar-benar pantas mendapatkannya? Tulisan berikut akan membahas masalah ini. Mari kita berharap, semoga Allah menganugerahkan kepada kita karunia syahid dalam salah satu bentuknya.
Persiapan pertama untuk menjemput syahid adalah: tobat yang benar. Dinyatakan dalam sebuah hadits: "Allah tertawa kepada dua orang yang salah satu dari keduanya membunuh yang lain, namun keduanya masuk Surga. Orang pertama berperang di jalan Allah, lalu ia terbunuh. Kemudian Allah menerima tobat orang yang membunuhnya itu, lalu ia juga mendapat karunia mati syahid."
Sehingga tidaklah mengherankan bila ada orang yang memperoleh syahid, padahal ia mempunyai masa lalu yang hitam, tapi ia sudah bertobat dari semua itu. Contohnya di zaman sekarang bisa dilihat dari ketulusan orang-orang yang baru mendapat hidayah keislaman. Di zaman dahulu pun, ada beberapa shahabat pergi ke perang Uhud setelah malamnya meminum khamar. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat: "Sekelompok orang sarapan pagi dengan khamar pada hari perang Uhud, kemudian mereka terbunuh sebagai syuhada (orang-orang yang mati syahid)." Ini memang terjadi sebelum diharamkannya khamar. Namun bahkan yang meminum khamar pada zaman shahabat setelah diharamkannya minuman itu, ternyata khamar tetap tidak menghalangi mereka untuk mencari syahid. Mereka berharap, semoga kesyahidan dapat menghapus dosa yang telah mereka perbuat sebelumnya.
Dalam mempersiapkan diri untuk mati di jalan Allah, tobat haruslah diikuti dengan memperbaiki perbuatan. Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Bila engkau berada di waktu sore, janganlah menanti datangnya pagi. Dan bila engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu datangnya sore. Ambillah (kesempatan) dari waktu sehatmu untuk waktu sakitmu, dan dari hidupmu untuk kematianmu."
Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, "Artinya, berbuatlah sesuatu yang manfaatnya bisa engkau dapatkan setelah engkau mati. Segeralah isi hari-hari ketika engkau sehat dengan amal shalih. Karena sesungguhnya sakit bisa datang secara tiba-tiba, lalu menjadi penghalang untuk beramal. Sehingga dikhawatirkan, orang yang lalai beramal akan sampai ke Akhirat tanpa membawa bekal."
Sebagaimana dalam hadits yang melarang kita mengharap kematian, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga memberikan alasan, "Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian. Karena kalau ia seorang yang suka berbuat baik, boleh jadi kebaikannya akan terus bertambah (dengan tetap hidup). Dan kalau ia seorang yang suka berbuat kejelekan, boleh jadi ia kelak akan bertobat."
Dan dalam menjelaskan petunjuk dan bimbingan Allah kepada seorang hamba menuju husnul khâtimah (akhir kehidupan yang baik), Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia akan menggunakannya." Para shahabat bertanya, "Bagaimana cara Allah menggunakannya?" Beliau menjawab, "Allah membimbingnya untuk melakukan amal shalih sebelum ia mati."
Dan sesungguhnya banyak mengingat kematian dan hari perhitungan betul-betul dapat memperbarui motivasi untuk memperbaiki amal perbuatan. Semoga Allah menggunakan kita dalam ketaatan kepada-Nya dan mengaruniakan kepada kita akhir kehidupan yang baik.
Tiada Syahid Tanpa Pengorbanan
Kejujuran hati seseorang untuk menggapai syahid belum akan terbukti tanpa adanya pengorbanan. Karena jihad dilakukan dengan jiwa dan harta. Keduanya memerlukan kemurahan hati dan pengorbanan. Karenanya, siapa yang tidak menyiapkan dirinya untuk mempersembahkan dan memberi sesuatu, bagaimana ia bisa memimpikan Surga?
Sebuah hadits diriwayatkan dari Basyîr ibnul Khashâshiyah, bahwa ia pernah datang untuk berbaiat kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Kemudian ia ingin diberi keringanan untuk tidak menjalankan dua syarat baiat. Ia berkata, "Ada dua syarat yang demi Allah, saya tidak sanggup memenuhinya, yaitu jihad dan sedekah. Karena orang-orang mengatakan, bahwa siapa yang lari dari medan pertempuran berarti kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Aku takut, jika aku ikut terjun ke medan pertempuran, aku akan gentar dan takut mati. Sedangkan sedekah, demi Allah, aku hanya mempunyai sedikit kambing dan sepuluh ekor unta betina yang merupakan sumber susu dan tunggangan keluargaku."
Di sini, Basyîr menjelaskan sebab rasa takutnya terhadap jihad adalah karena khawatir akan terjatuh ke dalam dosa besar kalau kelak melarikan diri dari medan perang. Ia juga menerangkan sebab takutnya bersedekah adalah karena sedikitnya harta yang ia miliki. Ketika itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—langsung menggenggam dan menggerak-gerakkan tangan Basyîr, seraya bersabda, "Tidak ada jihad dan tidak ada pula sedekah. Lantas, dengan apa engkau akan masuk Surga?" Shahabat ini berkata, "Aku pun lalu berbaiat atas seluruh syarat-syarat baiat itu."
Jadi, persoalannya sangatlah serius. Tidak ada peluang untuk tawar-menawar atau pun menurunkan standar.
Selanjutnya, tiada pengorbanan tanpa keberanian. Oleh karena itulah mengapa orang yang terbunuh karena mempertahankan hidupnya, kehormatannya, atau hartanya dianggap mati syahid. Sebagaimana dinyatakan di dalam hadits: "Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid." Ini supaya spirit untuk menolak dan melawan kezaliman tetap hidup di dalam jiwa kita. Sehingga meskipun kita tidak dikaruniai mati syahid, namun pahalanya tetap kita dapatkan, Insyâallah.
Kemudian, bagaimana kita bisa mengemban nama mujahid (pejuang) tanpa mengerahkan usaha? Karena jihad (perjuangan) adalah mengerahkan energi terbesar, usaha maksimum, dan upaya optimal dalam rangka membela agama Islam. Makna ini dicerminkan oleh sebuah hadits riwayat Ibnu Mâjah: "Sungguh, sebaik-baik kehidupan manusia adalah seorang lelaki yang memegang tali kekang kudanya di jalan Allah dan berlari dengannya. Setiap kali mendengar suara yang keras atau menakutkan, ia lari dengan kudanya ke arah suara itu. Ia menginginkan kematian atau terbunuh di tempat-tempat yang diperkirakan dapat membawanya kepada kesyahidan."
Gambaran lain tentang seorang mujahid yang sungguh-sungguh mencari syahid dapat kita lihat dalam perang Khaibar. Saat itu, 'Âmir ibnul Akwa' terbunuh—secara tidak sengaja—karena pedangnya memutar balik ke arah lututnya. Sebagian shahabat pun berkata, "Amal-amal kebaikannya pasti gugur", karena mereka mengira bahwa 'Âmir telah bunuh diri. Lalu pergilah saudaranya, Salamah ibnul Akwa' untuk bertanya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya ia memperoleh dua pahala—beliau mengatakan itu sambil menggandingkan kedua jari beliau. Sesungguhnya ia seorang yang bersungguh-sungguh lagi seorang mujahid (pejuang). Sedikit sekali orang Arab di medan pertempuran melakukan apa yang dilakukan oleh 'Âmir."
Ibnu Duraid berkata, "Seorang yang bersungguh-sungguh artinya sosok yang serius dalam urusan-urusannya." Sementara Ibnuttîn berkata, "Seorang yang bersungguh-sungguh adalah orang yang siap menerjang kesulitan."
Demikianlah kesaksian dari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahwa 'Âmir berhasil menggapai dua pahala sekaligus, yaitu pahala terbunuh di jalan Allah dan pahala kesungguhan dalam usaha meraihnya meski harus berhadapan dengan kesulitan. Inilah kondisi orang-orang yang betul-betul bersiap sedia menjemput syahid.
Contoh lain bisa kita ambil dari perang Uhud. Tentang Anas ibnun Nadhar yang tidak berkesempatan menghadiri perang Badar pada tahun sebelumnya. Ia lalu berjanji kepada Allah akan mengganti apa yang tidak dapat ia lakukan itu. Ia berkata, "Sungguh, jika Allah memberiku kesempatan (berperang) bersama Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, Allah benar-benar akan melihat kesungguhan yang akan aku lakukan."
Anas pun hadir pada perang Uhud. Ia maju dengan menghunus pedangnya ketika melihat kaum muslimin dipukul mundur. Ia berkata kepada Sa'ad ibnu Mu'âdz, "Mau kemana, wahai Sa'ad! Sesungguhnya aku mencium angin Surga di bawah (gunung) Uhud."
Anas terus berjuang hingga ia terbunuh. Jasadnya pun tak bisa dikenali, sampai kemudian saudara perempuannya dapat mengenalnya melalui tanda di tubuhnya atau melalui ujung jarinya. Ia syahid dengan membawa delapan puluh lebih bekas tusukan tombak, sayatan pedang, dan lemparan anak panah di tubuhnya.
Dalam menggambarkan kegigihan Anas saat bertempur di perang Uhud itu, Sa'ad ibnu Mu'âdz berkata, "Aku tidak mampu, wahai Rasulullah, (melakukan seperti) apa yang Anas perbuat." Ini menunjukkan keberanian luar biasa yang diperlihatkan oleh Anas ibnun Nadhar, sehingga Sa'ad ibnu Mu'âdz, betapa pun gigih perjuangan dan keberaniannya pada perang Uhud itu, tetap tidak mampu menyamai apa yang diperbuat oleh Anas.
Karena itu, jangan sedikit pun Anda buang waktu atau tenaga Anda tanpa berupaya menolong Agama Anda dalam bidang apa pun, supaya Anda termasuk orang-orang yang benar-benar berjihad di jalan Allah dan mempersiapkan diri menggapai karunia syahid.
Bukanlah kematian itu sendiri yang menjadi tujuan. Mencari peluang-peluang kematian bukan pula berarti bunuh diri. Dan mengharapkan syahid bukan berarti putus asa dari kehidupan. Sebagaimana tidak dikatakan takut bila Anda berlindung di dalam sebuah parit misalnya. Tidak juga dianggap bergantung pada kehidupan bila Anda berupaya menyempurnakan usaha. Dan tidak pula disebut berani bila tidak berusaha menghindari bahaya.
Bahkan dengan bertambah satu hari umurnya, seorang muslim dapat menambah ketaatan, membunuh musuh, dan membuat geram orang kafir pada hari itu. Para shahabat pernah merasa heran terhadap dua orang lelaki yang masuk Islam bersama-sama. Salah seorang dari keduanya lebih bersungguh-sungguh daripada yang kedua. Yang bersungguh-sungguh itu lalu mati syahid, sementara yang kedua meninggal dunia satu tahun sesudahnya. Thalhah ibnu 'Ubaidillâh kemudian bermimpi melihat lelaki yang kedua masuk Surga sebelum kawannya yang bersungguh-sungguh itu. Lantas Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bertanya, "Apa yang kalian herankan?" Para shahabat menjawab, "Wahai Rasulullah, orang yang pertama itu lebih bersungguh-sungguh berjuang, sehingga kemudian mati syahid. Tetapi justeru yang kedua masuk Surga lebih dahulu." Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bertanya lagi, "Bukankah orang ini masih tetap hidup selama satu tahun sepeninggal kawannya tadi?" Para shahabat menjawab, "Ya, benar." Rasulullah kembali bertanya, "Dan ia masih menjumpai bulan Ramadhan, shalat sekian banyak, dan sujud sekian banyak selama satu tahun itu?" Para shahabat menjawab, "Ya, benar." Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Karenanya, (jarak pahala kebaikan) antara keduanya lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi."
Sesungguhnya orang yang benar-benar bersiap menggapai syahid akan meneguhkan hatinya untuk menghadapi ujian yang mungkin menimpanya, serta melatih dirinya untuk sabar tidak melarikan diri, walaupun kesabaran itu membawanya menemui kematian. Imam Al-Bukhâri meriwayatkan bahwa Imam Nâfi' pernah ditanya, "Untuk sesuatu apakah para shahabat berbaiat kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam? Apakah untuk siap mati?" Ia menjawab, "Tidak. Tetapi, Rasulullah membaiat mereka untuk sabar." [HR. Al-Bukhâri]
Di dalam Shahîh Al-Bukhâri, hadits ini diiringi dengan hadits yang diriwayatkan dari Salamah, yang menetapkan adanya baiat untuk siap mati. Ibnu Hajar pun lantas mengaitkan antara kedua riwayat ini dengan kesimpulan yang indah. Ia mengatakan, "Tidak ada kontradiksi antara perkataan mereka bahwa 'mereka membaiat Rasulullah untuk siap mati' dengan perkataan mereka 'membaiat beliau untuk tidak melarikan diri'. Karena yang dikehendaki dari baiat itu adalah bahwa mereka tidak akan melarikan diri meskipun mereka harus mati. Bukan berarti bahwa kematian itu harus terjadi. Itulah yang disangkal dan diluruskan oleh Imam Nâfi' dengan mengatakan, 'Rasul membaiat mereka untuk tetap sabar'. Artinya, untuk tetap tegar dan tidak melarikan diri. Baik hal tersebut akan membawa mereka menemui kematian atau pun tidak."
Makna ini ditegaskan oleh sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Umâmah—Semoga Allah meridhainya—pernah memohon kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—sebanyak tiga kali, dalam kesempatan yang berbeda-beda, agar beliau mendoakannya supaya mati syahid. Namun Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—hanya menjawab dengan mengucapkan, "Ya Allah, selamatkanlah mereka dan berilah mereka ghanîmah (harta rampasan perang)."
Jadi, pada dasarnya, hidup seorang muslim itu menambah jumlah kaum muslimin, memperkokoh kekuatan mereka, dan membuat geram orang-orang kafir. Akan tetapi, meskipun demikian, seorang muslim tetap harus mempersiapkan diri untuk senantiasa tegar dan siap bersabar, betapapun besar ujian yang harus dihadapi.
Pembinaan untuk siap menjemput syahid semacam inilah yang menjadikan para perindu syahid begitu berani dalam kebenaran. Sebagaimana dinyatakan dalam sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Jihad yang paling utama adalah kalimat keadilan yang disampaikan di hadapan penguasa yang zalim."
Imam Al-Ghazâli memberikan komentar terhadap makna ini. Ia berkata, "Ketika orang-orang yang teguh dalam beragama mengetahui bahwa perkataan yang paling utama adalah kata-kata kebenaran yang disampaikan di hadapan penguasa yang zalim, dan mereka paham bahwa pelakunya, kalau pun terbunuh, akan mati sebagai syahid—seperti yang dinyatakan oleh banyak hadits—mereka menjadi berani melakukan itu seraya mempersiapkan diri menemui kematian, siap menanggung berbagai bentuk siksaan, serta sabar menerimanya karena Allah, seraya mengharapkan pahala dari Allah atas apa yang mereka persembahkan. Tanpa kondisi kejiwaan semacam ini, umat Islam akan menjadi laksana buih air bah yang tidak bertenaga. Hasil dari kondisi itu, adalah seperti sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, 'Allah mencabut rasa gentar dari hati-hati musuh kalian, serta menaruh sifat al-wahn di hati-hati kalian'. Ketika Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—ditanya tentang makna al-wahn, beliau menjawab, 'Cinta dunia dan takut kepada kematian'. Sifat 'al-wahn' itulah yang menjadikan umat Islam menikmati kehinaan dan rela untuk direndahkan."
Kemudian, bagaimana mungkin Anda berniat mencapai derajat para syuhada, bila Anda tidak benar-benar bertawakal kepada Allah? Imam Al-Bukhâri meriwayatkan sebuah hadits dari 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya—dalam masalah pahala orang yang sabar menghadapi wabah penyakit. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Tiada seorang hamba pun yang menghadapi wabah penyakit lalu tetap tinggal di negerinya dengan sabar, dan ia tahu bahwa ia tidak akan terkena apa pun kecuali sesuatu yang telah Allah takdirkan baginya, melainkan akan memperoleh pahala orang yang mati syahid." [HR. Al-Bukhâri]
Ibnu Hajar memberikan komentar terhadap hadits ini dengan mengatakan, "Sabar artinya tidak resah dan tidak gelisah. Tetapi sabar berarti siap menerima ketentuan Allah serta ridha terhadap ketentuan-Nya. Ini adalah syarat untuk memperoleh pahala syahid bagi orang yang mati karena wabah penyakit. Dan sabda Rasulullah, 'Dan ia tahu bahwa ia tidak akan terkena apa pun kecuali sesuatu yang telah Allah takdirkan baginya', merupakan syarat kedua."
Pilar utama dari seluruh persiapan menggapai syahid adalah keikhlasan dan kebersihan niat dari segala kotoran. Dalam konteks ini, renungkanlah gambaran yang diambil dari perang Khaibar ini tentang seorang lelaki yang berperang melawan kaum musyrikin. "Seorang lelaki yang tidak membiarkan satu orang pun kaum musyrikin kecuali ia ikuti dan ia tebas dengan pedangnya. Sehingga orang-orang berkata, 'Tiada seorang pun di antara kita yang mampu memberikan jasa pada hari ini sebagaimana yang diberikan oleh si Fulan itu'. Tapi Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—kemudian justeru memberi tahu bahwa si Fulan itu tempatnya di dalam Neraka, karena Rasul mengetahui kemunafikannya. Seorang shahabat lalu mengikutinya, dan melihat ternyata lelaki itu kemudian tidak sabar menahan luka-lukanya sehingga kemudian membunuh dirinya sendiri. Karena itulah, dalam sebuah hadits dinyatakan: "Sesungguhnya mayoritas orang-orang yang mati syahid dari kalangan umatku adalah mereka yang mati di atas tempat tidur. Dan boleh jadi ada orang yang terbunuh di medan jihad, tapi Allah lebih mengetahui niatnya (yang tidak ikhlas)."
Boleh jadi seseorang mati di atas tempat tidurnya, namun tidak terhalang untuk memperoleh pahala para syuhada, karena Allah melihat ketulusan hatinya. Sebaliknya, bisa saja seseorang bersimbah darah dibawa dari medan pertempuran, namun di sisi Allah, ternyata ia termasuk orang-orang yang merugi, karena niatnya terkotori oleh sifat ujub, bangga, fanatisme, atau menginginkan reputasi duniawi belaka. Ada banyak hadits yang menerangkan hal ini. Di antaranya adalah sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Siapa yang meminta syahid dengan tulus, ia akan mendapatkan (pahala)-nya meskipun ia tidak mati sebagai syahid." [HR. Muslim]
Al-Hâkim meriwayatkan hadits ini dengan redaksi: "Siapa yang meminta terbunuh di jalan Allah dengan tulus dan jujur, kemudian ia mati, Allah akan memberinya pahala orang yang mati syahid." [HR. Al-Hâkim]
Dalam riwayat Al-Hâkim yang lain disebutkan: "Siapa yang meminta kesyahidan dengan tulus, Allah akan menyampaikannya ke derajat para syuhada, meskipun ia mati di atas tempat tidur."
Tiada ada yang mengetahui keikhlasan kecuali Allah. Dan tidak ada yang dapat membersihkan hati kecuali muhasabah (introspeksi) diri. Karena itu, introspeksilah diri Anda, kontrollah selalu hati Anda, dan taruhlah diri Anda di dalam timbangan amal untuk melihat sejauh mana kesiapan Anda menggapai syahid. Semoga Anda akan termasuk ke dalam golongan yang disebutkan dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." [QS. An-Nisâ': 69]