Dosa berbeda-beda dari segi tingkatan dan bahayanya. Hukumannya di dunia dan Akhirat juga berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Namun demikian, secara umum, asalnya ada dua: meninggalkan perintah dan melakukan larangan. Keduanya adalah jenis dosa yang ditakdirkan Allah untuk dilakukan oleh nenek moyang kaum jin dan manusia. Syetan, nenek moyang kaum jin meninggalkan perkara yang diperintahkan oleh Allah, yaitu bersujud kepada Adam. Sedangkan Adam, nenek moyang manusia melakukan perkara yang dilarang, yakni memakan buah pohon terlarang.
Berdasarkan tempatnya, kedua jenis dosa ini juga terbagi menjadi dua, yaitu zahir (pada anggota tubuh) dan batin (tersimpan di dalam hati). Berdasarkan sasarannya, dosa terbagi kepada dua kategori pula, yaitu yang berkaitan dengan hak Allah dan yang berhubungan dengan hak makhluk-Nya. Walaupun setiap hak makhluk pada hakikatnya juga adalah hak Allah, namun ia dinamakan hak makhluk, karena hak ini menjadi wajib bila ada tuntutan dari makhluk (manusia), dan gugur jika makhluk (manusia) tidak menuntut-nya.
Dosa-dosa juga terbagi menjadi empat bagian, yaitu apa yang disebut dengan dosa malakiyyah, dosa syaithâniyyah, dosa sabu'iyyah, dan dosa bahîmiyyah. Seluruh jenis dosa tidak keluar dari keempat kategori ini.
Dosa malakiyyah adalah perilaku orang yang mengadopsi sifat-sifat ketuhanan yang tidak layak disandang seorang hamba, seperti merasa agung, bersikap sombong, berperilaku angkuh, suka memaksa, meninggikan diri, memperbudak hamba Allah, dan sebagainya. Termasuk ke dalam kategori ini adalah dosa syirik, menyekutukan Allah—Subhânahu wata`âlâ. Dosa syirik ini terbagi dua: Pertama, syirik dalam asmâ` (nama-nama) dan sifat-sifat Allah serta menyatakan bahwa ada tuhan selain-Nya. Kedua, syirik dalam berinteraksi dengan-Nya. Syirik yang kedua ini boleh jadi tidak otomatis menyebabkan seseorang masuk ke dalam Neraka, walaupun perilaku ini menghapus nilai amal yang ia lakukan dengan mempersekutukan Allah itu.
Kategori pertama ini (malakiyyah) adalah jenis dosa yang paling besar. Termasuk di dalamnya berbicara tentang Allah dalam penciptaan dan perintah-Nya, tanpa berbekal ilmu. Orang yang melakukan dosa kategori ini berarti berusaha merenggut kedudukan ketuhanan dan kekuasaan Allah, sekaligus menciptakan pesaing bagi-Nya. Dan ini adalah dosa terbesar dalam pandangan Allah yang membuat amal apa pun tidak akan bernilai dengan keberadaannya.
Adapun dosa syaithâniyyah adalah menyerupai Syetan dalam sifat-sifat seperti dengki, jahat, menipu, sakit hati, membuat makar, menyuruh orang mendurhakai Allah, melarang orang mentaati Allah, membuat bid'ah dalam Agama, serta menyebarkan bid'ah dan kesesatan. Dosa kategori ini berada pada urutan kedua setelah kategori dosa pertama dari segi bahayanya. Namun nilai kerusakan (bahaya)-nya lebih rendah.
Sedangkan dosa sabu'iyyah (kebuasan) adalah dosa melakukan permusuhan, marah, menumpahkan darah, serta menindas orang-orang lemah dan orang-orang yang tidak mampu. Dosa ini melahirkan beragam tindakan penyiksaan terhadap manusia dan keberanian melakukan kezaliman dan permusuhan.
Sedangkan dosa bahîmiyyah (kebinatangan) adalah dosa yang berupa ketamakan dan ambisi melampiaskan syahwat perut dan kemaluan. Dari dosa ini muncul perilaku zina, mencuri, memakan harta anak yatim, pelit, pengecut, mengeluh, mengumpat, dan sebagainya. Ini merupakan ketegori dosa mayoritas manusia karena kelemahan mereka untuk melakukan dosa sabu'iyyah dan malakiyyah. Dan dosa ini menjadi pintu masuk manusia menuju dosa-dosa kategori yang lain. Dosa kategori ini memegang kendali dan mengggiring seseorang sehingga kemudian melakukan dosa sabu'iyyah, lalu syaithâniyah, lalu berupaya merenggut sifat ketuhanan Allah dan membuat sekutu bagi-Nya dalam keesaan-Nya. Barang siapa yang merenungi masalah ini dengan benar, maka akan jelas baginya bahwa dosa adalah pangkal dari kesyirikan, kekufuran, dan upaya merenggut sifat ketuhanan Allah.
Al-Quran, Sunnah serta ijmak para shahabat, tabi'in, dan para ulama sesudah mereka telah menetapkan bahwa dosa terbagi dua: dosa besar dan dosa kecil. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):
· "Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kalian dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil)…" [QS. An-Nisâ':31];
· "(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil…" [QS. An-Najm: 32]
Dalam sebuah hadits shahîh, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at, dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa yang dilakukan di sela-selanya, jika dosa-dosa besar dijauhi." [HR. Muslim]
Amal-amal penghapus dosa sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas terbagi kepada tiga tingkatan:
Pertama, amalan yang tidak mampu menghapus dosa kecil karena lemah dan kurangnya keikhlasan si pelaku dalam menjalankannya. Melakukan amal seperti ini ibarat obat bagi orang lemah yang tidak mampu melawan penyakit, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Kedua, amalan yang mampu menghapus dosa-dosa kecil, namun tidak mampu menghilangkan dosa-dosa besar sedikit pun.
Ketiga, amalan yang mampu menghapus dosa-dosa kecil dan juga memiliki kekuatan untuk menghapus sebagian dosa-dosa besar. Renungkanlah masalah ini, karena ia sangat bermanfaat.
Dalam sebuah hadits shahîh, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Maukah kalian aku beritahu dosa yang paling besar?" Para shahabat menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Menyekutukan Allah, mendurhakai orang tua, dan memberikan kesaksian palsu."
Dalam hadits shahîh yang lain, beliau bersabda: "Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan (yaitu dosa-dosa besar)." Para shahabat berkata, "Apa itu, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan perang, menuduh (berzina) wanita baik-baik yang beriman.
Dalam hadits shahîh juga disebutkan bahwa suatu ketika, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—ditanya tentang dosa apa yang paling besar di sisi Allah. Beliau menjawab, "(Dosa paling besar adalah bahwa) engkau membuat sekutu bagi Allah, padahal Dia yang telah menciptakanmu." Si penanya berkata, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu." Si penanya kembali berkata, "Lalu apa lagi?" Beliau bersabda, "Engkau berzina dengan istri tetanggamu."
Kemudian Allah menurunkan ayat yang menguatkan hal ini (yang artinya): "…dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina…" [QS. Al-Furqân: 68]
Para ulama berbeda pendapat tentang dosa-dosa besar apakah ia memiliki jumlah tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat di tengah para ulama; yaitu yang mengatakan ada jumlah tertentu, dan yang mengatakan tidak ada. Para ulama yang mengatakan bahwa dosa besar memiliki jumlah tertentu juga berbeda pendapat. Abdullah ibnu Mas'ûd mengatakan bahwa jumlahnya ada empat. Abdullah ibnu Umar mengatakan jumlahnya ada tujuh. Sementara Abdullah ibnu Amru ibnul 'Âsh mengatakan jumlahnya ada sembilan. Selain itu, Ada juga yang mengatakan bahwa dosa besar berjumlah sebelas. Bahkan ada juga yang mengatakan jumlahnya tujuh puluh.
Abu Thâlib Al-Makki berkata, "Aku mengumpulkannya dari perkataan para shahabat, sehingga aku dapatkan bahwa dosa besar berjumlah empat di dalam hati, yaitu syirik, terus menerus melakukan maksiat, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari 'makar' (kehendak) Allah. Kemudian empat lainnya terdapat pada lisan, yaitu bersaksi palsu, menuduh berzina wanita yang baik dan terjaga, sumpah palsu, dan sihir. Lalu tiga yang lain ada di perut, yaitu meminum khamar, memakan harta anak yatim, dan memakan riba. Dua lagi ada di kemaluan, yaitu zina dan homoseksual. Dua Lagi terdapat di kedua tangan, yaitu membunuh dan mencuri. Satu lagi terdapat di kedua kaki, yaitu lari dari medan perang. Dan satu lagi terletak di seluruh tubuh, yaitu mendurhakai kedua orang tua."
Sedang para ulama yang tidak menetapkan jumlah tertentu bagi dosa-dosa besar juga terbagi kepada beberapa pendapat:
- Ada yang mengatakan bahwa semua perkara yang dilarang oleh Allah di dalam Al-Quran adalah dosa besar. Sedangkan perkara yang dilarang oleh Rasulullah adalah dosa kecil.
- Ada yang mengatakan bahwa perkara yang dilarang dan larangan itu disertai dengan ancaman yang keras berupa laknat, murka, atau hukuman adalah dosa besar. Sedangkan dosa yang tidak diikuti oleh ancaman-ancaman seperti itu adalah dosa kecil.
- Ada yang mengatakan bahwa setiap dosa yang dihukum dengan hukum hadd (hudud) di dunia dan ancaman berat di Akhirat adalah dosa besar, sedangkan dosa yang tidak mengandung resiko seperti itu adalah dosa kecil.
- Ada yang mengatakan bahwa setiap perkara yang disepakati keharamannya oleh seluruh agama adalah dosa besar, sedangkan perkara yang diharamkan oleh sebagian syariat saja adalah dosa kecil.
- Ada yang mengatakan bahwa setiap perkara yang pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya adalah dosa besar.
- Ada yang mengatakan bahwa dosa besar adalah semua yang disebutkan Allah dari awal surat An-Nisâ' sampai ayat (yang artinya): "Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)." [QS. An-Nisâ': 31]
Kita katakan, sesungguhnya Allah—`Azza wa Jalla—mengutus utusan-Nya, menurunkan kitab-kitab suci, serta menciptakan langit dan bumi adalah dengan tujuan agar Dia dikenal, disembah, dan diesakan, sehingga ketundukan, ketaatan, dan seruan hanya tertuju kepada-Nya. Hal itu sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):
· "Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembah) kepada-Ku." [QS. Adz-Dzâriyât: 56];
· "Kami tidaklah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melaikan dengan benar-benar." [QS. Al-Hijr: 85];
· "Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah Berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu." [QS. Ath-Thalâq: 12];
· "Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, hadya (sembelihan di Tanah Haram), qalaid (kalung pengikat binatang sembelihan). Yang demikian itu agar kalian tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu." [QS. Al-Mâ'idah: 97]
Allah—Subhânahu wata`âlâ—mengabarkan bahwa tujuan dari penciptaan dan perintah yang Dia turunkan adalah agar Dia dikenal dengan segenap nama dan sifat-Nya, sehingga Dia disembah tanpa dipersekutukan dengan apa pun. Juga agar manusia menegakkan keadilan yang merupakan tonggak berdirinya langit dan bumi. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab suci dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." [QS. Al-Hadîd: 25]. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya dengan tujuan agar manusia menegakkan keadilan. Dan keadilan yang tertinggi adalah Tauhid. Bahkan ia adalah puncak dan sendi keadilan. Sementara syirik adalah kezaliman, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya syirik (menyekutukan Allah) adalah kezaliman yang sangat besar." [QS. Luqmân: 13]. Bila syirik adalah kezaliman yang paling besar, maka Tauhid (mengesakan Allah) adalah keadilan yang paling tinggi.
Berdasarkan hal di atas, maka perilaku apa pun yang paling bertentangan dengan tujuan penciptaan di atas adalah dosa yang paling besar. Perbedaan tingkatan besarnya dosa itu sejalan dengan besarnya pertentangannya dengan tujuan tersebut. Sejalan dengan itu juga, maka perkara yang paling sejalan dengan tujuan itu berarti merupakan kewajiban yang paling utama dan ketaatan yang paling wajib dilakukan.
Renungkanlah prinsip dasar ini dengan sebaik-baiknya dan jadikan ia sebagai neraca untuk menimbang cabang-cabangnya yang lain. Dengan itu, niscaya Anda akan mengenal Sang Hakim yang paling bijaksana dan Dzat yang paling mengetahui tentang apa yang diwajibkan kepada para hamba-Nya dan apa yang Dia larang. Anda juga akan melihat bagaimana tingkatan-tingkatan ketaatan dan maksiat itu.
Karena syirik sama sekali bertentangan dengan tujuan penciptaan itu maka ia pun menjadi dosa yang paling besar. Allah telah mengharamkan Surga bagi setiap pelaku kemusyrikan. Bahkan dalam kondisi perang, Allah menghalalkan darah, harta, dan keluarga mereka bagi orang-orang mukmin, serta boleh menjadikan mereka sebagai budak, karena mereka melepaskan diri dari penghambaan diri kepada Allah. Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak mau menerima amal orang musyrik, atau memberi syafaat untuk mereka, atau mengabulkan doa mereka di Akhirat. Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah sehingga menyekutukan-Nya dengan makhluk-Nya. Itulah puncak kebodohan tentang Allah, dan itulah kezaliman yang terbesar. Namun demikian, orang musyrik pada hakikatnya tidaklah menzalimi Allah, melainkan hanya menzalimi dirinya sendiri.