Khutbah Syaikh SyaikhMuhammad Hassân
I. Khutbah Pertama
Shallallâhu `alaihi wasallamSegala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, kita menghaturkan puja puji dan memohon pertolongan kepada-Nya, serta meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri dan keburukan amalan kita. Sesungguhnya tiada yang dapat menyesatkan orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan tiada yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan oleh-Nya. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu baginya. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul utusan-Nya.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." [QS. Âli `Imrân: 102]
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mengunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kalian." [QS. An-Nisâ': 1]
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." [QS. Al-Ahzâb: 70-71]
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara (Agama) adalah perkara yang diada-adakan' dan setiap bid`'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan itu di dalam Neraka.
Ammâ ba`du:
Semoga Allah memuliakan wajah-wajah yang baik dan bercahaya ini serta sangat kami rindukan ini. Semoga Allah mensucikan jiwa-jiwa mulia yang melebur di dalam naungan cinta karena Allah. Semoga Allah melapangkan dada-dada penuh keimanan yang dengannya Allah mengumpulkan kita.
Semoga saudara-saudari sekalian selalu dalam keadaan baik, semoga jalan yang Anda semua lewati adalah jalan baik dan semoga Surga menjadi tempat kembali kita semua. Saya berdoa kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ—yang telah mengumpulkan kita di tempat yang mulia dan berkah ini untuk menaatinya, semoga Dia mengumpulkan kita di Akhirat bersama penghulu para dai, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—di dalam Surga. Sesungguhnya Dia Mahakuasa melakukannya.
Saudara-saudaraku yang saya cintai karena Allah. "Jalan Hidayah", inilah judul pertemuan kita pada kesempatan hari yang mulia dan berkah ini. Sebagaimana biasanya, supaya tidak memakan waktu, saya akan membicarakan judul ini melalui poin-poin berikut:
Pertama: Macam-macam hidayah
Kedua: Sebab-sebab hidayah
Ketiga: Tanda-tanda hidayah
Terakhir: Rintangan-rintangan di jalan hidayah
Maka pinjamkanlah saya hati dan pendengaran saudara-saudari semua, saya memohon kepada Allah semoga Dia menunjukkan kita menuju jalan-Nya yang lurus, sesungguhnya Dia Mahakuasa melakukan hal itu.
(Poin Pertama: Macam-macam hidayah)
Saudara-saudari sekalian, sesungguhnya nikmat paling agung, paling mulia dan paling besar yang Allah berikan kepada hamba-Nya adalah nikmat hidayah; yaitu hidayah keimanan dan tauhid. Bahkan Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah mewajibkan hamba-Nya untuk merendahkan diri di hadapan-Nya memohon hidayah dalam setiap rakaat shalatnya, baik shalat fardhu maupun shalat sunnat. Tak satupun rakaat melainkan Anda merendahkan diri di hadapan Allah memohon kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus, melalui ayat (yang artinya): "Tunjukilah kami jalan yang lurus." [QS. Al-Fâtihah: 6]
Maka apa saja macam-macam hidayah?
Pertama: Hidayah Umum
Hidayah ini dijelaskan dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—; ketika Fir`'aun bertanya kepada Mûsâ dan Hârûn tentang Tuhan mereka. Fir`'aun berkata: "Ia (Fir`aun) berkata: 'Siapakah Tuhan kalian, wahai Mûsâ?'" [QS. Thâhâ: 49]. "Mûsâ menjawab: 'Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya hidayah'" [memberikan akal, insting (naluri) dan kodrat alamiyah untuk kelanjutan hidupnya masing-masing]." [QS. Thâhâ: 50]
Inilah ia hidayah Umum. "Mûsâ menjawab: 'Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya hidayah'." [QS. Thâhâ: 50].
Artinya: Tuhan kami adalah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan bentuk dan postur yang sesuai dengan tabiat masing-masing makhluk tersebut. Dialah yang memberinya keahlian dan membantunya mendatangkan kemanfaatan, kemaslahatan dan tugas yang untuknya ia diciptakan.
Mata misalnya telah diciptakan oleh Allah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dengan bentuk yang sangat indah dan menakjubkan serta menyiapkannya untuk dapat melihat. Dia menaruhnya di dalam sebuah batok kepala yang besar dan kokoh supaya tidak rusak, membungkusnya dengan kelopak supaya terlindung dari cahaya, mengelilinginya dengan bulu mata agar keringat tidak masuk ke dalamnya, kemudian melumurinya dengan cairan asin supaya terlindung dari debu dan kuman penyakit.
Telinga misalnya, Allah menciptakannya dengan bentuk yang sangat indah dan menakjubkan, di dalam lubang tulang kepala, kemudian membungkus bagian luarnya dengan daun telinga yang indah ini, kemudian menjadikannya bisa mendengar, bahkan dalam keadaan tidur, kemudian memberikannya cairan pahit supaya serangga tidak masuk ke dalamnya ketika Anda sedang tidur.
Mulut misalnya, diciptakan oleh Allah dengan bentuk yang sangat indah, dijadikannya sebagai alat untuk makan dan berbicara. Kedua bibir diciptakan terbelah supaya dapat dipergunakan untuk makan, tanpa pernah Anda perintahkan suapya terbelah. Gigi seri dapat memutus, gigi taring mencabik, gigi graham mengunyah, air liur membantu pencernaan, lidah bergerak kesana kemari guna memudahkan pengunyahan dan juga berbicara.
Semua ini ciptaan siapa? Semua ini kreasi siapa? Semua ini petunjuk siapa? Adakah Tuhan selain Allah?!!
Ibnul Qayyim berkata: "Barang siapa yang merenungkan sebagian petunjuk-Nya pada makhluk-Nya niscaya ia akan mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Esa, Yang Mahabenar, Yang berhak diesakan dan disembah tanpa ada lawan atau sekutu: "Mûsâ menjawab: 'Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya hidayah'." [QS. Thâhâ: 50], yakni menunjukkan kepada apa saja yang menjadi kemaslahatan bagi dirinya, menyiapkannya untuk menjalankan tugas yang untukny ia diciptakan. Inilah ia hidayah umum. Kalau engkau merenungkan segala sesuatu dalam alam semesta ini niscaya engkau akan menemukannya."
Bahkan Al-`Allâmah Al-Alûsi dalam tafsirnya "Rûhul Ma`anî" menambahkan makna yang indah terhadap ayat tersebut, ia berkata: "Mûsâ menjawab: ".Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya hidayah'." [QS. Thâhâ: 50], "Tuhan kami yang telah menciptakan segala sesuatu dengan gambar dan bentuk yang sesuai dengan tabiat masing-masing, dan menjadikan hal ini sabagai dalil bagi wujud-Nya."
Saya tak ingin berpanjanglebar membahas setiap poin ini, karena demi Tuhan Ka`bah, sungguh setiap poin dari poin-poin pembicaraan ini membutuhkan pertemuan tersendiri.
Hidayah Dilâlah
Kedua: macam-macam hidayah yang kedua adalah hidayah dilâlah (petunjuk), keterangan, penjelasan dan bimbingan. Artinya: bahwa Allah—Subhânahu wata`âlâ—menciptakan manusia kemudian membimbing, menunjuki, memberi hidayah dan menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan keburukan. Coba renungkan setiap kata di atas: "Allah—Subhânahu wata`âlâ—menciptakan manusia kemudian membimbing, menunjuki, memberi hidayah dan menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan keburukan".
Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Dan Kami telah menunjukkan (memberi keterangan) kepadanya dua jalan." [QS. Al-Balad: 10], artinya, dua jalan; jalan kebaikan dan jalan keburukan.
§ Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." [QS. Al-Insân: 3]
§ Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." [QS. Asy-Syams: 7-10]
Walau demikian, karena rahmat Allah kepada kita, Dia tidak mengazab makhluk-Nya setelah datangnya hidayah dilâlah ini, tetapi Dia mengutus para nabi dan rasul kepada mereka, menurunkan kitab-kitab suci, supaya para nabi dan rasul itu membimbing manusia dari gelapnya kesyirikan dan berhala menuju cahaya tauhid dan iman terhadap Tuhan manusia. Supaya para nabi dan rasul itu menunjukkan manusia kepada Yang Mahabenar, Allah—Subhânahu wata`âlâ. Dia berfirman yang artinya:
§ ".Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." [QS. Al-Isrâ': 15]
§ Dia juga berfirman yang artinya: "(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." [QS. An-Nisâ': 165]
§ Dia juga berfirman yang artinya: "Dan kepada kaum Tsamûd (Kami utus) saudara mereka shalih. (Nabi) Shaleh berkata: "'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia'." [QS. Hûd: 61], ]
§ "Dan kepada kaum `Âd (Kami utus) saudara mereka, Hûd. Ia berkata: "'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia'." [QS. Hûd: 50],
§ "Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu`aib. Ia berkata: "'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia'." [QS. Hûd: 84]
Kesimpulannya: ".Dan tidak satu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan." [QS. Fâthir: 24]
Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak akan mengazab hamba-Nya kecuali setelah Dia menegakkan hujjah di hadapan mereka dengan mengutus para nabi dan rasul. Dan dengan rahmat-Nya terhadap makhluk, Allah menjadikan pada setiap umat para pewaris nabi dan rasul tersebut. Merekalah para pewaris nabi dan rasul, para dai yang membawa perbaikan, yang ikhlas dan bijaksana, melaksanakan amar ma`ruf dengan cara yang ma`ruf dan melakukan nahi munkar, tidak dengan cara yang munkar. Mereka adalah lilin yang terbakar demi menerangi jalan Tuhan dan Nabi mereka. Mereka adalah para ulama yang rabbâni, para dai yang jujur dan benar, mereka—setelah para nabi—menunjukkan kepada makhluk jalan kebenaran, membimbing manusia menuju jalan Tuhan manusia, berjalan di atas jalan penghulu manusia—Shallallâhu `alaihi wasallam.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya—dari Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—beliau bersabda: "Tidaklah seorang nabi pun yang diutus oleh Allah pada suatu umat sebelumku melainkan ia memiliki pembela dan sahabat yang memegang teguh sunnah-sunnah dan mengikuti perintah-perintahnya. Kemudian datanglah setelah mereka suatu kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad dengan tangan melawan mereka maka ia adalah seorang mukmin, barangsiapa yang berjihad dengan lisan melawan mereka maka ia seorang mukmin, barangsiapa yang berjihad dengan hati melawan mereka maka ia seorang mukmin, dan setelah itu tidak ada keimanan walau sebesar sebiji sawi." [HR. Muslim]
Hidayah dilâlah ini telah dilaksanakan oleh para ulama, setelah para nabi dan rasul, kerena mereka adalah nabi dan rasul. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman kepada Nabi kita (yang artinya): "Katakanlah: "'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku'." [QS. Yûsuf: 108]
Ibnul Qayyim berkata: "Seseorang tidak akan menjadi pengukit Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang sejati sampai ia berseru kepada apa yang diserukan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dengan hujjah yang nyata."
Itulah ia hidayah dilâlah.
Hidayah Taufik
Ketiga: Hidayah taufik, adapun hidayah ini, ia tidak dimiliki oleh para Malaikat yang didekatkan kepada Allah dan tidak juga dimiliki oleh nabi yang diutus, bahkan tidak juga dimiliki oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Tidak ada yang memiliki hidayah taufik selain Allah—Subhânahu wata`âlâ. Tugas Anda hanya mencari hidayah dilâlah dengan segala sebab-sebabnya, berusaha mendapatkannya dan memohon kepada Allah supaya Dia menganugerahi Anda hidayah taufik ini.
Apa yang dimaksud dengan hidayah taufik?
Hidayah taufik adalah, Allah—Subhânahu wata`âlâ—memberi Anda taufik untuk bertauhid dan beriman kepada-Nya serta berjalan di atas jalan-Nya yang lurus. Hidayah ini tidak berada di tangan Anda, tidak juga di tangan saya, supaya para ulama dan dai belajar beradab kepada Allah. Maka tugas saya dan tugas Anda adalah memberi peringatan dan menyampaikan. Adapun masalah hati, ia berada di tangan Yang Maha mengetahui yang gaib.
Tugas Anda hanyalah menebar benih yang baik berdasarkan ajaran Al-Quran dan Sunnah, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah. Bukan tugas kita menghakimi hamba, karena hal ini adalah urusan Allah—Subhânahu wata`âlâ—yang akan meng-hisab perbuatan makhuk-Nya, besar maupun kecil.
Kalaulah hidayah taufik berada di tangan Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—niscaya beliau akan memberi hidayah kepada pamannya, di mana hati beliau telah bersusah payah untuk memberikannya petunjuk. Hal ini karena Abu Thâlib merupakan tembok penghalang dan pelindung (Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam) yang melumpuhkan pedang dan tombak kaum musyrikin Mekah. Ia mengeluarkan segala yang dimilkinya untuk melindungi beliau. Namun demikian Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak mampu memberinya hidayah taufik. Beliau hanya menyampaikan kepadanya hidayah dilâlah, yang dijelaskan oleh firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—yang artinya: "Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi hidayah ke jalan yang lurus." [QS. Asy-Syûrâ: 52]
Adapun hidayah taufik, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman kepada Nabi-Nya yang artinya: "Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki." [QS. Al-Qashash: 56]
Imam Al-Bukhâri meriwayatkan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mendatangi Abu Thalib yang sedang berbaring menunggu ajalnya tiba, sementara di sampingnya Abu Jahl dan Abdullah ibnu Abi Umayyah. Lalu Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—duduk di samping pamannya dan bersabda: "Wahai pamanku, ucapkanlah: Lâ Ilâha Illallâh, wahai pamanku, ucapkanlah: Lâ Ilâha Illallâh, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah pada Hari Kiamat." Abu Jahl lalu berkata kepada Abu Thâlib: "Apakah engkau membenci agama Abdul Muththalib?!" (maksudnya: apakah engkau akan meninggalkan agama nenek moyangmu) Abu Thâlib menjawab—tiada daya upaya selain milik Allah—bahwa ia tetap berada pada agama Abdul Muththalib. Lalu keluarlah Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—sang pemilik hati yang besar dari sisi pamannya sambil berkata: "Aku benar-benar akan memintakan ampun untukmu selama aku tidak dilarang." Lalu turunlah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—yang artinya: "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahanam." [QS. At-Taubah: 113]. [HR. Al-Bukhâri]. Innâlillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn.
Kalaulah hidayah taufik berada di tangan Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—niscaya beliau mampu menjadikan pamannya Abu Thâlib beriman. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa puncak kefakiran kita kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan bahwa kita sangat membutuhkan taufik-Nya. Demi Allah, tidaklah Anda semua datang ke tempat ini karena keinginan Anda semata, melainkan karena taufik Allah—Subhânahu wata`âlâ—terhadap Anda. Demi Allah, Anda tidak duduk di tempat ini pada hari ini sejak awal kecuali karena taufik dari Allah—Subhânahu wata`âlâ.
Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman: "Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sesuai kesanggupannya, mereka itulah para penduduk Surga; mereka kekal di dalamnya." [QS. Al-A`râf: 42]
Renungkanlah: "Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka;—ya Allah cabutlah dendam yang ada di hati kami—mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "'Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (Surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk'." [QS. Al-A`râf: 43]
Ini adalah pengakuan orang yang beriman terhadap anugrah Allah. Orang yang beriman tidak melihat bahwa dirinyalah memiliki keutamaan baik dalam perkataan maupun perbuatan, karena anugrah berasal dari Allah dan berakhir kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ. Kalau Anda melakukan ketaatan, itu karena Allah memberi Anda taufik untuk berbuat ketaatan. Kalau Anda berdzikir, siapakah yang membantu Anda untuk berdzikir? Kalau Anda bersyukur, siapakah yang memberi Anda taufik untuk bersyukur? Kalau Anda adalah seorang penuntut ilmu, siapakah yang mengajarkan Anda? Kalau Anda memahami kehendak Allah, siapakah yang memahamkan Anda? Kalau Anda berbakti kepada orang tua, siapakah yang memberi Anda taufik untuk itu? Jika Anda mencintai berbuat kebaikan, maka sesungguhnya keutamaan dan anugrah itu hanya milik Allah—Subhânahu wata`âlâ. Dia berfirman yang artinya: "Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakan (pada mereka): 'Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian. Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar." [QS. Al-Hujurât: 17]
Hidayah di Akhirat
Keempat: Hidayah di Akhirat: hidayah umum, hidayah dilâlah (petunjuk dan penerangan), hidayah taufik dan hidayah di Akhirat. Inilah akhir macam-macam hidayah.
Renungkanlah bersama saya wahai saudaraku yang budiman. Barang siapa yang diberi hidayah di dunia menuju jalan yang lurus maka ia akan diberi hidayah di Akhirat untuk berjalan sesuai ukuran amalannya di dunia, dan di atas titian Shirât yang membentang di atas neraka Jahannam. Sesuai dengan perjalanan Anda di sini, demikianlah perjalanan Anda di sana. Sesuai ukuran syahwat dan syubhat yang merintangi jalan lurus Anda di dunia, demikian pula ukuran kuatnya sambaran api dan tarikan besi tajam yang merintangi perjalanan Anda menuju Surga.
Sebagian manusia berjalan di dunia ini dengan mantab—ya Allah jadikanlah kami di antara mereka dengan pemberian dan kemuliaan-Mu—tidak menoleh ke belakang oleh godaan Syetan, panggilan nafsu yang menyuruh berbuat keburukan dan syahwat, serta ajakan teman-teman yang buruk. Dia telah mengetahui jalan hidupnya, mengenal Tuhannya dan berjalan di atas ajaran Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan tidak menoleh ke belakang. Ketika kakinya terpeleset ke dalam kubangan dosa, pakainnya diperciki kotoran maksiat, sungguh cepat ia menarik pakaiannya dan mencucinya dengan air mata taubat, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Tuhannya, berjalan di belakang Nabinya Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam.
Orang seperti ini akan melintasi titian Shirât yang membentang di atas Neraka bagaikan kilat, ketika hendak melintas atau meletakkan kaki kanannya di atas Shirât. Ia melihat dirinya melintas bagaikan kilat hingga tiba di Surga Na`îm.
Ada juga orang yang melintasi titian Shirât seperti hembusan angin, seperti larinya kuda. Ada juga yang menyebrang sambil berlari, ada yang sekedar berjalan bahkan ada yang sambil merangkak. Ada juga yang menyebrang, sesekali ia di sambar dan dijilat Api Neraka, namun ia diselamatkan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ. Ada yang disambar oleh kail besi tajam hingga terpental ke Neraka Jahannam.
Hadits tentang peristiwa di atas diriwayatkan oleh imam Muslim, dari Abu Sa`îd Al-Khudri dan shahabat yang lainnya. Maka seperti apa perjalanan Anda di atas dunia ini, seperti itulah perjalanan Anda di atas titian Shirât.
Orang-orang yang beriman berhasil menyebrangi Shirât sampai ke Surga. Renungkanlah bersama saya firman Allah yang artinya: "Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang shalih ke dalam Surga-Surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di Surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji." [QS. Al-Hajj: 23-24]
Ya Allah, jadikanlah kami bagian dari mereka. Mereka diberi hidayah untuk berkata yang baik-baik di dalam kehidupan ini. Tidak berbicara melainkan kebaikan, tidak menyuruh melainkan yang baik, tidak melarang melainkan yang mungkar, lidahnya basah dengan dzikir kepada Allah, tidak membicarakan aib, tidak mengenal ghibah, tidak mengenal adu domba, dusta, janji palsu dan sebagainya. Orang seperti ini diberi hidayah oleh Tuhannya menuju jalan Allah yang terpuji.
Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Dan orang-orang yang beriman paling dahulu. Mereka itulah yang di dekatkan kepada Allah. Berada dalam Jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. Dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian." [QS. Al-Wâqi`ah: 10-14]
Ibnul Qayyim berkata: "Orang-orang yang paling cepat meraih ridha dan Surga Allah di Akhirat adalah orang-orang yang paling bersegera dalam melakukan kebaikan dan ketaatan di dunia. Sebagaimana ia menjadi terdepan di sini (dunia) demikian pula ia menjadi terdepan di sana (Akhirat)."
Renungkanlah hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang sangat indah ini; hadits yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhâri dari Abu Sa`îd Al-Khudri—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Apabila orang-orang yang beriman selamat dari Api Neraka.", yakni, apabila mereka telah menyebrangi titian Shirât dan diselamatkan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—dari api Neraka—saya mengharapkan Anda membayangkan peristiwa yang seolah-olah mecopot hati ini—Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman: "Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi Neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam Neraka dalam keadaan berlutut." [QS. Maryam: 71-72]. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang bertakwa.
Renungkanlah bersama saya peristiwa ini, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Apabila orang-orang yang beriman selamat dari Api Neraka, .""orang terakhir yang masuk Surga adalah seorang laki-laki yang menyebrang kemudian sesekali ia disambar (lidah api hingga berbekas di wajahnya) dan sesekali jatuh tersungkur. Hingga ketika Allah—Subhânahu wata`âlâ—menyelamatkannya, ia menoleh ke belakang di bawah Shirât dan berkata: 'Mahaberkah Allah yang telah menyelamatkanku darimu (Neraka), segala puji bagi Allah yang telah memberikanku anugerah yang tak pernah ia berikan kepada seorangpun baik yang terdahulu maupun yang belakangan." [HR. Al-Bukhâri].
Dia adalah orang terakhir yang masuk Surga. Perkara ini tidaklah ringan.
Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Apabila orang-orang yang beriman selamat dari Api Neraka." Apakah setelah itu mereka langsung ke Surga? Tidak. Menunggu masuk? Tidak. Kalau demikian apa setelah itu? Apakah ada urusan lagi setelah titian Shirât? Ya. Setelah Hisâb? Ya. Setelah Mîzân? Ya. Apa lagi setelah itu?
".Orang-orang yang beriman ditahan di atas sebuah jembatan di antara Surga dan Neraka." Untuk apa ditahan? Untuk "di-qishâsh"? Untuk di-qishâsh (dilakukan pembalasan teradap perbuatan zalim). Apakah Anda mengira bahwa kezaliman Anda terhadap saudara Anda akan dibiarkan begitu saja? Tidak. Apakah Anda membayangkan bahwa ketika Anda berbuat ghibah terhadap si fulan, atau menebar adu domba merusak hati manusia, atau berbuat zalim kepada si fulan, memukul si fulan, menghina si fulan, menuduh berzina si fulan. apakah Anda mengira semua itu terlewatkan begitu saja? Tidak. Walaupun Anda termasuk orang yang beriman dan telah berhasil melintasi Shirât. Anda akan ditahan lagi untuk di-qishâsh.
Dengarkanlah apa yang disabdakan oleh penghulu manusia—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Apabila orang-orang yang beriman telah selamat dari Api Neraka, mereka ditahan di atas sebuah jembatan antara Surga dan Neraka, untuk saling membalas kezaliman yang pernah terjadi di antara mereka. Hingga ketika mereka telah bersih dan jernih, mereka berangkat menuju Surga. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, benar-benar seseorang di antara mereka lebih mengetahui tempat rumahnya di Surga dari pada (pengetahuannya) tempat rumahnya di dunia." Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): ".Dan mereka diberi petunjuk (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji." [QS. Al-Hajj: 24]
Kalimat-kalimat Nabawi di atas sering kali tidak ditadabburi. Saya katakan: setelah shalat Jumat ini, setelah perkumpulan yang mulia ini, setiap orang dari kita akan pulang ke rumah masing-masing, tanpa perlu bertanya kepada seseorang yang menunjukkannya kepada rumahnya sendiri. Di Akhirat, setelah melewati qishâsh, pembersiahan dan penyucian ini, setiap mukmin berangkat menuju rumahnya di Surga sesuai dengan kadar kedudukan dan amalnya. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Ia lebih mengetahui tempat rumahnya di Surga dari pada (pengetahuannya) tempat rumahnya di dunia." ".Dan mereka diberi petunjuk (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji." [QS. Al-Hajj: 24]
Dalam surat Muhammad Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Dan memasukkan mereka ke dalam jannah yang telah Dia beritahukan (tempatnya) kepada mereka." [QS. Muhammad: 6]
Maka setiap orang dari mereka mengetahui tempat rumahnya. Setiap mereka berangkat menuju tempatnya. Kita memohon kepada Allah agar Dia menganugerahi kita surga Firdaus. Sungguh Dia Mahamampu melakukan hal itu.
Saudar-saudariku yang terhormat: inilah ia tingkatan dan pembagian hidayah. Hidayah umum, hidayah dilâlah/irsyâd (petunjuk dan penerangan), hidayah taufik dan hidayah di Akhirat. Allah—Subhânahu wata`âlâ—memberi petunjuk kepada penduduk Surga kepada Surga. Memberi petunjuk penduduk Neraka kepada Neraka.
Maka sebagaimana surga memiliki derajat (tingkatan ke atas), demikian juga dengan Neraka memiliki darakât (susunan ke bawah). Ya Allah selamatkanlah kami dari Neraka!
Setiap orang telah memiliki kedudukan masing-masing. Setiap orang memiliki tempat di Neraka. Surga memiliki darajât (tingkatan-tingkatan ke atas), sementara memiliki darakât (susunan ke bawah). Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "(kepada Malaikat diperintahkan): 'Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah. Tunjukkanlah mereka jalan menuju Neraka." [QS. Ash-Shâffât: 22-23]
Poin Kedua: Sebab-sebab Hidayah
Saudara-saudariku. Itulah secara ringkas macam-macam hidayah. Lalu apakah sebab-sebab hidayah? Inilah poin ke dua judul pertemuan kita kali ini.
Pertama: Sebab hidayah yang paling besar ialah mengenal Allah—Subhânahu wata`âlâ. Barang siapa yang mengenal Allah, mengenal nama-nama suci dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, niscaya ia akan mencintai-Nya. Barang siapa yang mengenal Allah ia akan mencintainya, barang siapa yang mengenal Allah ia akan takut kepada-Nya. Cinta dan takut ini adalah ibadah, karena ibadah ialah kesempurnaan cinta kepada Allah dan kehinaan diri di hadapan-Nya. Barang siapa yang meyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, niscaya ia akan diberi petunjuk menuju jalan yang lurus.
Kedua: Beriman kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ. Mari bersama kita renungkan ayat yang indah berikut. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Barang siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memberi hidayah kepada hatinya." [QS. At-Taghâbun: 11]. Subhânallâh, Anda memebacanya berulang kali, tetapi saya berharap Anda mentadabburinya. Selami makna ayat tersebut: "Barang siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memberi hidayah kepada hatinya." Kalau hati diberi hidayah niscaya ia akan bersujud di hadapan Rabb-nya tanpa mengangkat mukanya sampai ia dapat memandang kepada wajah Tuhannya di Surga. Demi Allah, kalau hati telah merasakan kenikmatan bersujud, ia tidak akan bangun dari sujudnya. Demi Allah, kalau hati telah merasakan kenikmatan iman, ia tidak akan pernah meninggalkan pintu keimanan ini untuk selamanya. "Barang siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memberi hidayah kepada hatinya." Petunjuk hati ini adalah jalan kebahagiaan di dunia dan Akhirat: "Di hari tiada bermanfaat lagi harta dan anak. Kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." [QS. Asy-Syu`arâ': 88-89]. Ya Allah, anugerahilah hati kami ini hidayah!
1. Ketiga: Di antara sebab hidayah juga ialah berpegangteguh pada ajaran Allah. Saya telah mengatakan sebelumnya bahwa, tidak ada daya dan upaya dari kita melainkan karena Dia—Subhânahu wata`âlâ. Maka tugas kita hanyalah mencari sebab-sebab hidayah dilâlah tersebut seraya memohon kepada Allah agar Dia memberikan Anda hidayah taufik, menajadikan Anda cinta kepada keimanan dan menghiasnya di dalam hati Anda serta menunjuki Anda jalan yang lurus: "Barang siapa yang berpegang teguh pada ajaran Allah, niscaya ia akan diberi hidayah menuju jalan yang lurus." [QS. Âli `Imrân: 101]
Apakah jalan yang lurus itu? Anda sering kali mengucapkan kata ini. `Ali ibnu Abi Thâlib—Semoga Allah meridhainya—berkata: "Ash-Shirât Al-Mustaqîm (Jalan yang lurus) itu adalah Al-Quran." Ibnu Abbâs—Semoga Allah meridhainya—berkata: "Jalan yang lurus itu adalah Islam." Ibnul Hanfiyyah—Semoga Allah meridhainya—berkata: "Jalan yang lurus itu adalah Agama Allah yang tidak akan Dia terima selainnya." Agama Allah adalah jalan yang lurus itu.
Dalam hadits shahih disebutkan, dari An-Nawwâs ibnu Sam`ân—Semoga Allah meridhainya—bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Allah memberikan perumpamaan sebuah jalan yang lurus—(renungkan perumpamaan ini!)—di atas kedua sisi jalan itu terdapat dua dinding, dan pada kedua dinding itu terdapat pintu-pintu yang terbuka lebar. Kemudian di atas setiap pintu terdapat tabir penutup yang halus, dan di ujung jalan terdapat penyeru yang berseru: 'Wahai sekalian manusia, berjalanlah kalian semua di atas jalan lurus ini dan janganlah kalian menyeleweng!' Sementara di atas jalan terdapat juga penyeru yang selalu mengajak untuk menapaki jalan lurus itu. Jika seseorang hendak membuka pintu-pintu yang berada di sampingnya, maka ia (penyeru di atas jalan itu) berkata, 'Celakalah engkau, janganlah engkau membukanya, karena jika engkau membukanya maka engkau akan masuk ke dalamnya.' Jalan itu adalah Islam, kedua dinding itu ialah batasan-batasan (hukum) Allah, sementara pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Adapun penyeru di ujung jalan itu adalah Kitabullah (Al Qur`an), dan penyeru dari atas jalan itu adalah penasihat dari Allah (naluri) yang terdapat pada hati setiap mukmin." [HR. Ahmad]
Oleh karena itu, ketika Anda hendak melakukan maksiat, Anda akan merasakan ada yang menasihati di dalam hati. Ia berkata: "Jangan, jangan lakukan ini, menjauhlah, ini perbuatan haram. "Jika Anda telah melakukan sebuah ketaatan, penasihat itu akan menghias ketaatan itu di dalam hati dan menjadikan Anda mencintainya serta menyuruh Anda untuk menambah dan memperbanyak ketaatan itu. Oleh karena itu Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Kebajikan itu ialah budi pekerti yang baik. Sedangkan dosa ialah perbuatan yang menyesakkan dadamu, dan engkau sendiri tidak suka perbuatanmu itu diketahui orang lain." [HR. Muslim]
Sebuah termometer super teliti terdapat di dalam hati setiap muslim. Penasihat dari Allah di dalam hatinya. Kita memohon kepada Allah agar Dia menghidupkan hati kita.
Keempat: Juga di antara sebab-sebab hidayah setelah berpegang teguh pada ajaran dan agama Allah adalah kejujuran hati dalam menyerahkan diri kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ—serta menjaga shalat lima waktu.
Ibnu Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya—berkata: "Barang siapa yang bahagia bertemu Allah esok dalam keadaan muslim maka hendaklah ia menjaga shalat lima waktu itu, karena nanti shalat-shalat akan dipanggil. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnah-sunnah hidayah. Kalaulah kalian shalat di rumah-rumah kalian seperti orang yang tidak ikut (berjamaah) yang hanya shalat di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat. Sungguh kalian benar-benar telah melihat kami, tak seorangpun dari kami yang tidak ikut berjamaah kecuali orang-orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Bahkan seseorang (di antara kami) ada yang datang shalat berjamaah dengan dipapah oleh dua orang, sampai ia berdiri di shaf shalat." [HR. Muslim]
2. Kelima: Bergaul dengan orang shalih. Di antara sebab-sebab hidayah yang paling penting adalah bergaul dengan orang-orang yang mengingatkan Anda kepada Allah, dan menjauhi orang yang menghalangi Anda dari mengenal Allah. "Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim menggigit dua tangannya [saking menyesalnya], seraya berkata: 'Aduhai kiranya (dulu) Aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.' Sungguh celaka diriku ini. Andai saja (dulu) aku tidak menjadikan si fulan [Syetan] itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu datang kepadaku. Dan Syetan itu tidak mau menolong manusia." [QS. Al-Furqân: 27-29]
Oleh karena itu kekasih kita Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Janganlah engkau bersahabat karib keculai dengan orang beriman, dan janganlah makanan engkau dimakan kecuali oleh orang yang bertakwa." [HR. Abû Dâwûd]. Beliau juga bersabda: "Perumpamaan teman yang baik dengan teman buruk bagaikan penjual wewangian dan tukang pandai besi." [HR. Al-Bukhâri]
Jarum jam telah mengejar kita, sementara saya tidak ingin memberatkan saudara-saudariku yang duduk di luar masjid ini. Sebenarnya masih banyak poin-poin yang belum disampaikan, tetapi saya cukupkan sampai di sini. Saya memohon kepada Allah semoga Dia memberi kita manfaat dari apa yang kita dengar dan kita katakan serta menganugerahi kita hidayah, keterpeliharaan dari dosa dan kecukupan rezeki. Sesungguhnya Dia Mahakuasa melakukan hal itu. Sampai di sisi dahulu khutbah saya dan saya memohon ampunan kepada Allah untuk diri saya dan Anda semua.
II. Khutbah kedua:
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah penolong orang-orang yang beriman. Saya bersaksi bahwa sayyidina Muhammad adalah hamba Allah dan rasulnya. Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada beliau, keluarganya dan shahabatnya semuanya.
Ammâ ba'du:
3. Saudara-suadariku yang terhormat, di antara sebab-sebab hidayah juga ialah mujâhadah (berjuang melawan nafsu). Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Dan orang-orang yang bermujâhadah untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." [QS. Al-`Ankabût: 69]
Mujâhadah nafsu ada bebearapa tingkatan:
Pertama: bermujâhadah untuk mempelajari kebenaran dan hidayah.
Kedua: bermujahadah untuk mengamalkan apa yang telah Anda pelajari.
Ketiga: bermujahadah dalam mendakwahkan kebenaran dan hidayah.
Keempat: bermujahadah dengan bersabar menghadapi segala rintangan dan cobaan.
Barang siapa yang belajar, kemudian mengamalkan, kemudian mengajarkan, mesti ia akan mengalami cobaan dari orang-orang munafik dan zalim. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Demikianlah telah Kami jadikan bagi setiap nabi musuh-musuh dari para penjahat." [QS. Al-Furqân: 31]. Dia juga berfirman yang artinya: "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." [QS. Al-`Ankabût: 2-3]
(Poin Ketiga: Tanda-tanda hidayah)
Ketiga: Dengan ringkas, untuk menyempurnakan materi khutbah, walau agak tergesa-gesa, Tanda-tanda hidayah:
Tanda hidayah yang pertama adalah, wujud iman:
Barang siapa yang beriman kepada Allah berarti Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah memberinya hidayah. Dan inilah tanda hidayah yang paling besar.
(Kedua) dengan ringkas, di antara tanda yang lain juga ialah menjaga shalat lima waktu.
1. Ketiga, di antara tanda hidayah, taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman: "Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya [thaghut ialah Syetan dan apa saja yang disembah selain Allah] dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik di antaranya [mendengarkan ajaran-ajaran Al-Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al-Quran karena ia adalah yang paling baik]. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi hidayah oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." [QS. Az-Zumar: 17-18]
Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga berfirman tentang taat kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Jika kalian menaatinya niscaya kalian akan mendapat hidayah." [QS. An-Nûr: 54]. Maka taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan salah satu tanda hidayah yang paling besar, jika Anda di antara orang-orang yang menaati Allah dan Rasul-Nya—Shallallâhu `alaihi wasallam.
Keempat: Di antara tanda hidayah juga adalah dakwah kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ—sesuai dengan kemampuan, dan dengan wasilah apapun (yang baik), menyuruh melakukan kebaikan dengan cara yang baik dan mencegah kemungkaran bukan dengan cara yang mungkar.
(Kelima): Juga di antara tanda hidayah adalah bersahabat dengan orang-orang yang baik serta menjauhi bersahabat dengan orang-orang yang buruk.
(keenam): Di antara tanda hidayah juga: menjaga perintah dan larangan Allah.
(Ketujuh): Di antara tanda hidayah adalah penampilan, prilaku dan kebiasaan yang sesuai dengan penampilan, prilaku dan kebiasaan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, dengan syarat niat yang ikhlas (mengikuti beliau) dan amal shalih. Karena kalau tidak, sekedar penampilan saja tidak cukup jika disertai keburukan dan kerusakan hati dan jauh dari amal shalih. Sama sekali penampilan ini tidak cukup.
Oleh karena itu imam Ahmad dan imam-imam hadits lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih karena dikuatkan oleh hadits-hadits lainnya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Sebaik-baik hamba Allah adalah mereka yang apabila dilihat, mengingatkan kepada Allah."]
Ada seorang muslim yang apabila ia berjalan di jalanan, kemudian orang-orang melihatnya, mereka menjadi ingat kepada Allah karenanya. Mereka ingat kepada Allah karena penampilan dan prilaku orang itu. Lihatlah bahwa penampilan itu bukanlah kesombongan. Karena terkadang sebagian pelajar kita mengira bahwa penampilan itu tujuannya supaya tampak kewibawaan di mata manusia. Ia berpikir bahwa ia harus berfasih-fasih dalam berbicara, ia harus menghitamkan keningnya (dengan menggesek-gesekkannya ketika sujud, sehingga terlihat seolah-olah banyak sujud), harus berbicara dengan suara yang keras. Tidak, tidak! Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi—Semoga Allah merahmatinya: "Kewibawaanmu di hadapan manusia tidak akan terjadi kecuali seukuran kewibaan Allah dalam dirimu. Sebagian orang ada yang sekedar dilihat, ia mengingatkan kepada Allah."
(Kedelapan): Di antara tanda-tanda hidayah juga ialah, kecintaan dan pujian manusia kepada Anda.
2. Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibrîl: 'Wahai Jibrîl, sesungguhnya Aku mencintai si fulan'." Ya Allah, bayangkan bahwa Raja segala raja, Allah, menyebut nama Anda kepada malaikat Jibrîl, lalu malaikat Jibrîl menyebut nama Anda kepada penghuni langit. "Wahai Jibrîl sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia'. Lalu Jibrîl pun mencintainya, kemudian Jibrîl berseru kepada penduduk langit: 'Wahai penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai si fulân, maka cintailah ia'!' Lalu penduduk langit pun mencintainya. Kemudian Jibrîl berseru kepada penduduk bumi: 'Wahai penduduk bumi, sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia!' Lalu penduduk bumi pun mencintainya—atau—ia diterima (di hati) penduduk bumi." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Ya Allah, jadikanlah kami bagian dari mereka, dengan karunia-Mu dan kemuliaan-Mu wahai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Diriwayatkan dari Abu Dzarr—Semoga Allah meridhainya—ia berkata: "Wahai Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, (bagaimana dengan) seseorang yang melakukan amal kebaikan lalu ia mendapat pujian dari Allah—maksudnya melalui lisan kaum muslimin—"Maka Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menjawab: "Itu adalah kabar gembira seorang mukmin yang disegerakan, itu adalah kabar gembira seorang mukmin yang disegerakan." [HR. Muslim]
Maka di antara tanda bahwa Allah memberi Anda hidayah adalah, manusia mencintai Anda. Akan tetapi bukan setiap manusia, karena seorang mukmin tidak akan dicintai kecuali oleh kaum mukminin pula. Adapun orang munafik, ia membenci orang-orang yang beriman dengan segenap hatinya.
Oleh karena itu, ketahuilah wahai saudaraku: bahwa tiada yang membenci orang mukmin melainkan ia adalah munafik, tiada yang mencintai orang mukmin melainkan ia juga orang mukmin, karena ruh-ruh bagaikan prajurit yang berkelompok-kelompok, jika saling mengenal mereka akan menjadi akrab, dan jika saling bermusuhan maka mereka akan saling berselisih.
Al-Khaththâbi berkata: "Ruh-ruh orang yang beriman akan merindukan orang-orang yang beriman, ruh-ruh orang munafik akan merindukan orang-orang munafik pula. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "'Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa saling mencintai." '[QS. Maryam: 96]."
(Poin Keempat: Rintangan-rintangan di jalan hidayah)
Poin yang tersisa yang akan kita bicarakan adalah rintangan-rintangan di atas jalan hidayah. Akan tetapi saya khawatir akan memberatkan bagi Anda (karena khutbah terlalu panjang).
1. Di antara rintangan yang paling berbahaya adalah: kekafiran, kezaliman dan kefasikan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya:
§ "Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang kafir." [QS. Al-Mâ'idah: 67]
§ "Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang yang fasik." [QS. Al-Munâfiqûn: 6]
§ "Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang zalim." [QS. Al-An`âm: 144]
2. Berlebih-lebihan dan berdusta, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang berlebih-lebihan lagi pendusta." [QS. Ghâfir: 28]
3. Subhânahu wata`âlâ"Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan." [QS. Shâd: 26]
4. Termasuk rintangan yang paling berbahaya ialah Syetan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah Syetan." [QS. An-Nûr: 21]. Syetan memiliki langkah-langkah dan mereka adalah musuh kita, sebagaimana firman-Nya yang artinya: "Sesungguhnya Syetan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadiakanlah ia musuh(kalian)." [QS. Fâthir: 6]
"Yang telah ditetapkan terhadap Syetan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu Syetan itu akan menyesatkannya dan menggiringnya ke azab Neraka." [QS. Al-Hajj: 4]