I. Allah Benar, dan Perut Saudaramu Berbohong
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, seraya berkata, "Wahai Rasulullah, saudaraku mengalami sakit perut." Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Pulanglah, dan minumkan kepadanya madu!" Laki-laki itu pun pulang dan meminumkan kepada saudaranya itu madu. Namun, kemudian ia kembali lagi seraya berkata, "Wahai Rasulullah, saudaraku (masih) menderita sakit perut." Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—kembali bersabda, "Pulanglah, dan minumkan kepadanya madu!" Laki-laki itu kembali pulang dan meminumkan kepada saudaranya itu madu untuk kedua kalinya. tetapi kemudian ia datang lagi, dan kembali berkata, "Wahai Rasulullah, saudaraku (masih) merasa sakit di perutnya." Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—kembali bersabda, "Pulanglah, dan minumkan kepadanya madu!" Tetapi untuk kesekian kalinya, laki-laki itu ternyata datang lagi menemui Rasulullah seraya berkata, "Wahai Rasulullah, saudaraku (masih) merasa sakit di perutnya." Saat itulah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabada, "Allah benar, dan perut saudaramu itu berbohong. Pulanglah, dan lihatlah saudaramu." Laki-laki itu pun pulang, dan menemukan saudaranya ternyata sudah sembuh.
Suatu hal yang menarik pada dalam terapi Al-Quran dan Sunnah terhadap berbagai masalah manusia adalah ia bersandar secara mendasar kepada keimanan terhadap perkara yang ghaib. Keyakinan dan kepercayaan kepada dokter adalah salah satu faktor terpenting dalam menentukan suksesnya proses pengobatan sebuah penyakit. Salah seorang dari kita misalnya, saat berada di sebuah klinik, dokter memberikan resep kepadanya, apakah ia percaya kepada dokter itu atau tidak? Jika dalam perkara hidup dunia kita bersikap demikian, bagaimana dengan perkara yang menentukan kebahagiaan kita di dunia dan Akhirat? Bagaimana jika itu berhubungan dengan kehidupan rohani, serta keteguhan dan ketenangan jiwa kita? Bagaimana pula bila yang menjadi dokter itu adalah Allah?
Pengobatan rabbani dan resep nabawi adalah terapi yang paling sesuai dan paling tepat untuk mengatasi berbagai penyakit manusia. Ketika pengobatan tersebut tidak memperlihatkan hasil, maka masalah sebenarnya terletak pada tidak adanya kepercayaan si hamba terhadap ilmu dan kebijaksanaan Allah. Akibatnya, ia tidak disiplin dalam melakukan pengobatan, sehingga proses penyembuhannya gagal. Namun anehnya, kemudian ia menyalahkan Sang Penyembuh dan obat yang diberikan-Nya.
Tujuan dari mukadimah ini adalah untuk menjelaskan sebuah kaidah penting. Inti kaidah ini ingin menjelaskan betapa hari demi hari, banyak buku beredar di pasaran yang membahas tentang masalah syahwat dan maksiat pada diri kaum pemuda. Namun sayang, kebanyakan dari buku tersebut—menurut pengamatan penulis—hanya sekedar mengarahkan para pemuda untuk mengikuti begitu banyak rangkaian peringatan berisi kewajiban-kewajiban harian. Dan mayoritas remaja yang mengalami masalah tekanan syahwat tidak menemukan di dalamnya solusi yang memuaskan. Akibatnya, mereka menjauhi buku-buku tersebut sambil menggigit bibir. Padahal, dalam penyembuhan sebuah penyakit, pada hakikatnya, keyakinan terhadap ilmu dan kemampuan sang dokter lebih penting daripada sekedar penulisan resep obatnya. Dengan adanya keyakinan itu, penderita penyakit akan mengonsumsi obat yang diberikan sang dokter dengan benar dan penuh keyakinan. Benar dan yakin ini merupakan dua unsur yang mesti ada, demi terwujudnya kesembuhan—dengan izin Allah Yang Mahakuasa.
II. Bentuk-Bentuk Cara Mengatasi Tekanan Syahwat
A. Hubungan Antara Hamba dengan Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ
Ini adalah benteng yang paling kokoh untuk menjaga diri dari maksiat. Selama seorang hamba taat kepada Allah, selama itu pula Allah akan menjaganya agar tidak jatuh ke lembah maksiat. Hubungan ini merupakan koneksi panjang yang melahirkan perasaan diawasi oleh Allah (murâqabatullâh), keinginan mempersembahkan ibadah yang baik untuk-Nya, serta selalu mengingat ganjaran pahala dan azab-Nya. Hubungan ini juga termasuk salah satu jalan untuk menyelamatkan akal, pikiran, dan jiwa dari belenggu Syetan, untuk kemudian menyibukkan diri dengan tujuan utama penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dan memakmurkan bumi.
Hubungan Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dengan diri Anda ini memiliki dua dimensi:
· Dimensi Amali (Praktis)
Dimensi ini dimulai dengan mendirikan shalat lima waktu, yang selalu diingatkan melalui kumandang azan di mesjid-mesjid. Selanjutnya, diiringi pula dengan menjaga shalat-shalat sunnah, zikir setelah shalat, zikir di waktu pagi dan petang, dan zikir ketika hendak tidur. Selain itu, juga menjaga bacaan Al-Quran yang dirutinkan setiap hari. Menjaga bacaan rutin Al-Quran menjadi ukuran untuk melihat sebesar apa ketertarikan seseorang kepada Allah, serta keinginannya mendapatkan penjagaan Allah dari perbuatan maksiat. Kebiasaan membaca Al-Quran juga merupakan indikasi yang menunjukkan kebersihan hati seorang hamba. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa 'Utsmân ibnu 'Affân—Semoga Allah meridhainya—berkata saat ia dicela oleh sebagian shahabat karena saking banyaknya ia membaca Al-Quran, "Jika hati kita bersih, niscaya ia tidak akan pernah puas membaca Al-Quran."
Seorang pemuda mesti membiasakan diri melakukan hal-hal di atas, sampai semua itu menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkannya. Inilah unsur-unsur dimensi amali (praktis) dari hubungan hamba dengan Allah ini. Rumusnya adalah: [Ibadah + Membiasakan ibadah secara berkesinambungan = Pemeliharaan Allah]
· Dimensi Hati
Dimensi ini sejatinya merupakan efek dari dimensi amali. Ia adalah tujuan asasi di balik pelaksanaan berbagai ibadah itu. Masalah ibadah hati telah kita jelaskan dalam tulisan lain yang berjudul: "Murâbatullâhi Ta`âlâ" (Merasakan Pengawasan Allah), berdasarkan firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Yang melihatmu saat engkau berdiri. [QS. Asy-Syu'arâ`: 18], dan firman-Nya (yang artinya):: "Dan Dia bersamamu di mana saja engkau berada." [QS. Al-Hadîd: 4]
Menghadirkan bayangan pahala dan azab juga termasuk ibadah hati. Dalam sebuah hadits, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Siapa yang bisa menjamin sesuatu yang terdapat di antara dua rahangnya (lidahnya) dan sesuatu yang terletak di antara dua kakinya (kemaluannya), maka aku bisa menjamin Surga untuknya."
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mu'âdz ibnu Jabal, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Allah tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya pada hari Kiamat, hari di saat manusia menghadap Tuhan semesta alam, sampai Dia bertanya kepada mereka mengenai empat perkara: untuk apa umur mereka mereka habiskan, untuk apa jasad mereka mereka pergunakan, dari mana mereka mendapatkan harta mereka dan untuk apa mereka belanjakan, dan apa yang mereka ketahui dan untuk apa mereka amalkan." [HR. Ad-Dârimî]
B. Hubungan Anda dengan Diri Sendiri
Ini adalah bingkai kedua dalam usaha menangani tekanan syahwat. Intinya adalah bagaimana seseorang berinteraksi dengan dirinya, dan bagaimana ia mengatur serta membentuk dirinya sendiri. Melatih diri untuk bisa mengendalikan dan menjaga pikiran adalah suatu kemestian dalam hal ini. Diri kita harus dilatih untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kita juga harus menutup peluang masuk bagi semua pikiran negatif, agar ia tidak menjelma bersama hawa nafsu ke dalam tindakan nyata. Setiap hamba memang harus berusaha sekuat tenaga dan bersabar meniti jalan perjuangan yang panjang. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya):
· "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar." [QS. Al-Baqarah: 153];
· "Dan orang-orang yang berjihad di (jalan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." [QS. Al-'Ankabût: 69]
Usaha yang dilakukan dalam hal ini berupa:
1. Menundukkan Pandangan
Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah kepada para laki-laki yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangan mereka'." [QS. An-Nûr: 30]
Perkara terpenting menurut penulis dalam masalah ini adalah mengenal cara menundukkan pandangan dalam praktik keseharian kita. Apalagi di hadapan derasnya rangsangan pemandangan haram yang tersebar di jalanan pada zaman sekarang.
§ Langkah pertama agar seseorang bisa menundukkan pandangan dari objek yang haram adalah mengingat bahwa apa yang ia pandang itu adalah sesuatu yang buruk. Masalahnya, bagaimana ia bisa berpikiran demikian? Bukankah pemandangan itu justru membangkitkan syahwat dan terlihat indah? Benar, pemandangan itu memang membangkitkan syahwat dan terlihat cantik. Akan tetapi, kecantikannya adalah kecantikan yang murahan, dapat dinikmati oleh semua orang, dapat dilihat oleh semua mata. Tindakan menampakkan hal seperti itu menunjukkan kurangnya rasa malu dan akhlak dalam diri pelakunya. Padahal, letak nilai cantik dan buruk ada di dalam pikiran, bukan pada realita yang terlihat.
Karena itu, seseorang mesti mengingatkan dirinya, bahwa apa yang dipandangnya saat itu adalah buruk, sehingga matanya dapat menjauhi objek haram yang sedang terlihat itu.
Seperti kita jelaskan sebelumnya, untuk bisa melakukan ini, pada awalnya seseorang harus berjuang susah payah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, semua akan berjalan normal menjadi kebiasaan, seperti yang diinginkan.
Jika kita ingin mendidik anak-anak kita menundukkan pandangan, maka mereka mesti melihat sikap tegas kita ketika melihat wanita-wanita yang menjajakan aurat. Mereka harus menyaksikan bagaimana kita benci dan marah kepada wanita-wanita itu, karena telah melanggar hukum-hukum Allah.
Seorang pemuda adalah bentukan lingkungan masyarakatnya. Pemuda yang tinggal di tengah masyarakat yang mendorong setiap orang untuk memandang dan menikmati aurat kaum wanita, mendorong untuk menghormati para penjaja aurat, atau bahkan menjadikan mereka sebagai panutan, tidak mungkin sama dengan pemuda yang hidup di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan dan nilai-nilai kesusilaan, serta menganggap bahwa para mengumbar aurat itu adalah pengundang murka Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ.
§ Langkah kedua dalam usaha menundukkan pandangan adalah mengendalikan gerakan mata. Sebagian orang, khususnya yang tidak terbiasa menundukkan pandangan, kalau mau berpikir, pasti akan mengakui bahwa mereka banyak dikendalikan oleh mata mereka, bukan mereka yang mengendalikan mata. Anda pun bisa menyaksikan mata orang seperti ini menjelajah kian kemari.
Kebiasaan seperti ini bisa dirubah dengan membiasakan mata memandang ke satu arah tertentu selama beberapa saat. Ini dilakukan secara bertahap, sampai si pelaku bisa mengendalikan pandangannya, dan tidak memandang sesuatu kecuali jika dibutuhkan.
2. Menjauhi Segala yang Memancing Syahwat
Sesungguhnya menutup jendela-jendela hati, yaitu pandangan, pendengaran, penciuman, dan pikiran, membuat seseorang terjaga dari berbagai bencana dan malapetaka. Menghadang tipu daya syahwat dengan alasan untuk mengetahui kadar dan kekuatannya, bukanlah sebuah tindakan yang benar. Justru yang harus dilakukan seseorang adalah menutup pintu syahwat itu dengan kokoh, sehingga tidak menyisakan sedikit peluang pun bagi godaan untuk merasuki dirinya.
3. Tidak Menyendiri
Sebuah hadits diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—melarang menyendiri, yaitu menetap atau bepergian sendirian. Makna yang ditangkap orang dari hadits ini adalah bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—melarang seseorang bermalam sendirian di suatu tempat. Akan tetapi maksud sebenarnya adalah melarang seseorang duduk menyendiri dalam tempo yang lama di malam hari, agar pikirannya tidak menggiringnya kepada suatu pikiran yang haram. Hadits ini juga mengingatkan bahaya dari mengkhayal dan berdialog dengan diri sendiri. Karena kebanyakan manusia, dalam keadaan seperti ini hanya berdialog dengan Syetan mereka, bukan dengan Malaikat mereka. Mereka biasanya berdialog dengan nafsu yang menyerukan pada keburukan, bukan dengan nafsu al-muthma`innah (nafsu yang baik).
4. Mengisi Waktu Kosong
Abul 'Atâhiyah pernah berkata, "Sesungguhnya masa muda, waktu kosong, dan kelapangan akan mendatangkan kerusakan dahsyat."
Mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat, seperti olah raga atau menjalani hobi tertentu merupakan solusi untuk menutup dan mengunci pintu keburukan. Dalam sebuah hadits, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Ada dua jenis nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu kosong."
5. Menikah
Menikah termasuk salah satu jalan terbaik untuk menjaga kekuatan, kesehatan fisik, pikiran, dan mental seorang pemuda. Syetan berusaha memanfaatkan pikiran tentang jauhnya kemungkinan menikah untuk menguatkan tipu dayanya terhadap seseorang. Ia membisikkan bahwa mesti ada sarana yang instan untuk menyalurkan syahwat, setelah sebelumnya ia berusaha membangkitkan syahwat itu. Oleh sebab itu, setiap pemuda harus menanamkan di dalam pikirannya bahwa ia harus mempersiapkan diri untuk menikah, meskipun ia tidak memiliki sedikit bekal pun. Ia tetap harus mempersiapkan diri dari segi mental, pikiran (wawasan), dan tenaga. Faktor yang dapat membantunya untuk melakukan itu adalah keyakinan akan pertolongan Allah dan janji Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sebuah hadits: "Tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ: (salah satunya adalah) seorang yang menikah karena ingin menjaga kesucian."
Menjaga Adab-adab Syariat
A. Menjaga adab Agama saat berinteraksi dengan orang lain, seperti: meminta izin saat memasuki rumah seseorang, tidak berkhalwat (berduaan) dengan perempuan yang bukan mahram, tidak membaur (ikhtilâth) dengan kaum perempuan, dan tidak bersalaman dengan perempuan yang bukan mahram.
B. Menjaga adab Agama menjelang tidur, seperti berwudhuk, berdoa, berbaring di atas sisi kanan tubuh, dan tidak tidur telungkup.
Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Allah tidak akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman." [QS. An-Nisâ`: 147]
Barangkali hukuman terberat yang Allah berikan kepada manusia adalah rasa resah dan hilangnya kestabilan diri, akibat berjalan tanpa petunjuk dan tanpa sentuhan solusi-solusi dari Al-Quran dan Sunnah. Padahal, tiada yang Allah kehendaki dari hamba-hamba-Nya selain ungkapan syukur dan keimanan, yaitu keyakinan terhadap apa yang ada di sisi-Nya, mempercayai janji-janji-Nya, dan komitmen untuk mewujudkan kesembuhan yang sempurna.
[Sumber: www.islammemo.cc]