Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Akhlak Tercela

Tergesa-gesa (Bag. 1)

Tergesa-gesa (Bag. 1)

Di antara sifat tercela yang ada pada sebagian aktivis dakwah yang harus dihindari dan dijauhi adalah sifat tergesa-gesa. Ketergesa-gesaan yang penulis maksud di sini adalah keinginan mengubah realita kaum muslimin saat ini dalam sekejap mata, bahkan lebih cepat lagi, tanpa memperhatikan konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya, dan tanpa mempertimbangkan kondisi yang ada, serta tanpa mempersiapkan faktor-faktor pendukung, cara yang ditempuh dan juga sarana menuju perubahan itu dengan baik. Seakan-akan, ketika orang-orang memejamkan mata, kemudian mereka buka lagi, atau tidur selama satu malam, dan bangun pada pagi harinya, dan saat itu mereka melihat segala sesuatu sudah kembali pada kondisi yang semestinya: di mana tidak ada kebodohan, bendera Islam kembali berkibar, setiap orang mendapatkan hak kemanusiaannya, dan fitrah manusia kembali bersih dari segala sesuatu yang mencemari dan menodai kesuciannya.

Sifat Tegesa-gesa Dalam Perspektif Islam

Karena sifat ini adalah bagian dari tabiat manusia, sesuai dengan kesaksian dari Allah yang telah menciptakan dan mengatur segala urusannya, dalam firman-Nya (yang artinya):

"Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa." [QS. Al-Isrâ: 11];

"Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa." [QS. Al-'Anbiyâ': 37].

Maka Islam memandang sifat tergesa-gesa dengan pandangan yang objektif dan proporsional. Islam tidak memuji sifat ini secara mutlak dan tidak pula mencelanya secara mutlak. Kadang Islam memujinya, dan kadang juga mencelanya.

Sifat tergesa yang dipuji adalah yang lahir dari perhitungan yang matang terhadap akibat dan konsekuensi yang akan terjadi, dan dari kesadaran yang penuh terhadap situasi dan kondisi, serta dari pertimbangan yang bagus dan dan keadaan dengan sempurna dan dilakukan setelah persiapan yang baik dan pengaturan yang bagus.

Barangkali sifat tergesa-gesa yang termasuk dalam kategori ini adalah yang dimaksud dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—mengenai Nabi Musa—`Alaihis salâm—(yang artinya): "Mengapa kamu datang lebih cepat dari pada kaummu, Hai Musa? Musa berkata: 'Itulah mereka sedang menyusulku dan aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, supaya Engkau ridha (kepadaku)." [QS. Thâhâ: 83-84]. Karena saat itu, kondisi memungkinkan, kesempatan terbuka, konsekuensinya bagus dan jiwa pun sedang suci bersih, maka tidak ada alasan bagi Nabi Musa untuk menunda-nunda.

Adapun sifat tergesa-gesa yang tercela adalah yang lahir dari gejolak nafsu, tanpa memperhitungkan akibat, tanpa mengenal situasi dan kondisi, dan juga tidak berangkat dari persiapan dan kesiagaan. Sifat tergesa seperti inilah yang dimaksud Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sabda beliau kepada Khabbâb Ibnu Al-Art—Semoga Allah meridhainyâ—saat ia mengadukan penganiayaan dan tekanan yang ia dan kaum muslimin lainnya alami saat itu. Ia meminta Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—berdoa dan meminta pertolongan pada Allah. Lantas Baginda Nabi bersabda kepada Khabbâb: "Ada seorang laki-laki dari umat sebelum kalian yang digali lubang untuknya, kemudian ia dimasukkan ke dalam lubang itu, kemudian (musuhnya mengambil) gerjaji, lalu ia pun digergaji  dari kepalanya, sehingga tubuhnya terbelah dua. Namun semua itu tidak memalingkannya dari agamanya. Demi Allah, Dia akan menyempurnakan urusan agama ini sehingga seorang pengendara dapat berjalan sendiri dari Shan`a menuju Hadramaut dalam keadaan aman tanpa rasa takut kecuali kepada Allah dan serigala yang mungkin menerkam kambingnya. Namun kalian tergesa-gesa!"

Sifat tergesa-gesa seperti ini juga yang kita maksudkan dalam tulisan ini.

Beberapa Bentuk Sifat Tergesa-gesa

Di antara bentuk sifat tergesa-gesa dalam urusan dakwah sebagai berikut:

1.    Memasukkan orang ke dalam kafilah para da`i sebelum kapabilitas, kemampuan dan kesiapannya diketahui dengan pasti.

2.    Mengangkat sebagian da`i ke derajat yang tinggi sebelum ia matang dan memiliki kepribadian yang bagus.

3.    Melakukan tindakan gegabah kecil yang dapat merusak tatanan dakwah, dan tidak mendatangkan manfaat untuknya.

Akibat Sifat Tergesa-Gesa

Semua bentuk ketergesa-gesaan yang dijelaskan di atas dan sejenisnya, memiliki beberapa efek samping dan konsekuensi. Di antaranya:

1.    Kadang sifat ini menyebabkan kelesuan jika terjadi keterlambatan dalam pencapaian sasaran-sasaran yang diinginkan, atau jika hanya sebagian kecil dari target-target yang berhasil dicapai. Padahal amal yang sedikit tetapi dilakukan secara terus-menerus adalah lebih baik dari pada amal yang banyak, namun terputus. Di samping itu Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara rutin, meskipun sedikit."

2.    Adakalanya ketergesa-gesaan menyebabkan kematian tidak terhormat (sia-sia), yaitu ketika di balik aksi yang dilakukan tidak terdapat hasil atau keuntungan. Di samping itu, terdapat pertanggungjawaban dan celaan yang ia terima dari Allah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi pada hari, di mana seseorang tidak bisa berbuat untuk orang lain sedikit pun, karena seluruh perkara pada hari itu ada di tangan Allah. Realita yang ada adalah bukti paling jelas dalam masalah ini.

3.    Ketergesa-gesaan juga dapat memperlambat kerja dakwah. Minimal ia menyebabkan umat ini mundur kepada kondisi puluhan tahun lalu. Kondisi dimaksud seperti: berkelanjutannya penodaan terhadap kehidupan; tindakan pembunuhan, pencurian dan merusak kehormatan yang berkepanjangan; dan bertambahnya kerikil dan rintangan di jalan dakwah. Ahli hikmah mengatakan, "Siapa yang tergesa-gesa ingin mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, niscaya ia akan dihukum dengan tidak mendapatkannya sama sekali."

Faktor Penyebab Sifat Tergesa-gesa

Pada hakikatnya, terdapat banyak faktor yang menyebabkan seseorang bertindak tergesa-gesa. Di antaranya:

1.    Faktor Psikologis. Adakalanya seseorang bertindak tergesa-gesa karena dorongan psikologis. Hal itu disebabkan karena sifat tergesa-gesa adalah tabiat yang sudah menjadi karakter dalam diri manusia, seperti disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):

·         "Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa." [QS. Al-'Anbiyâ': 37];

·         "Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa." [QS. Al-Isrâ: 11];

·         "Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah usia mereka akan diakhiri." [QSS. Yûnus: 11]

Oleh sebab itu, seandainya seorang da`i tidak mampu menahan nafsu dan mengendalikannya dengan akal serta menurunkan letupan-letupannya, maka ia dipastikan melakukan ketergesa-gesaan.

2.    Semangat dan gairah keimanan. Semangat atau gairah keimanan termasuk salah satu faktor yang menyebabkan seseorang bertindak tergesa-gesa. Karena, jika iman sudah terpatri kuat dalam hati, maka akan lahir energi besar yang mendorong seseorang­—jika tidak dikendalikan dan diarahkan—melakukan tindakan yang mudharatnya lebih besar dari manfaatnya. Barangkali inilah di antara hikmah mengapa Allah mengarahkan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan kaum muslimin ketika periode Makkah agar bersabar, teguh dan menahan diri. Hal itu sebagaimana disinyalir dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya):

·         "Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." [QS. Al-Muzzammil: 10];

·         "Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu." [QS. Ar-Rûm: 60];

·         "Dan Kami jadikan sebahagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain. apakah kalian bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat. [QS. Al-Furqân: 20]. Dan ayat-ayat lainnya yang senada.

3.    Tabiat Zaman. Adakalanya yang memicu seseorang berbuat tergesa-gesa adalah tabiat zaman yang ia hadapi. Pada saat ini kita hidup pada zaman yang berlalu dengan cepat. Segala sesuatu di dalamnya juga bergerak dengan cepat. Si A sekarang berada bersama kita di sini, namun karena kemajuan alat transportasi, beberapa jam berikutnya ia sudah berada di belahan bumi yang lain. Pada hari ini si B membuat pondasi rumah, karena kemajuan teknologi dalam bidang bangunan, beberapa hari berikutnya ia sudah menempati rumah tersebut. Seperti itu juga yang terjadi dalam bidang-bidang lain, dalam kehidupan manusia. Barangkali kenyataan ini mendorong sebagian aktivis bersikap tergesa-gesa, untuk berjalan sesuai dengan kondisi zaman.

4.    Keadaan musuh. Adakalanya keadaan musuh menyebabkan seorang muslim melakukan ketergesa-gesaan. Karena saat ini, seiring dengan berjalannya waktu, musuh-musuh Islam terus menancapkan kukunya di tengah kaum muslimin. Di mana-mana mereka mencegat aktivitas keislaman, untuk mengebiri suara kebebasan yang murni. Cukuplah bagi kita, Israel yang dulunya hanyalah sebuah hayalan yang ada dalam pikiran, saat ini ia sudah menjadi realita dan telah menguasai sebagian daerah penting dari tanah kaum muslimin, yakni Palestina. Dari sana mereka merambah masuk ke Lebanon dan ke semua negara-negara Arab, untuk mewujudkan mimpi umat Yahudi, yaitu mewujudkan Negara Israel yang membentang sepanjang sungai Nil dan Eufrat."

Barangkali kenyataan ini membuat sebagian aktivis bertindak tergesa-gesa, sebelum bahaya bertambah besar dan sulit di atasi.

5.    Tidak mengetahui siasat musuh.

Ketidaktahuan terhadap siasat musuh bisa memicu seseorang melakukan tindakan tergesa-gesa. Musuh-musuh Islam memiliki berbagai cara keji untuk mencapai jantung dunia Islam dan menancapkan kuku mereka di dalamnya. Cara mereka yang paling berbahaya adalah menguasai dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Mereka menggunakan cara ini, setelah mencoba cara peperangan fisik sekian lama dan berkali-kali, namun semua itu gagal. Bahkan, cara itu justru mendorong kaum muslimin—termasuk yang terbiasa lalai dan ceroboh—untuk bangkit dan berkorban dengan apa saja, demi hilangnya fitnah dan agama menjadi murni milik Allah. Barangkali ketidaktahuan terhadap siasat seperti ini dan berbagai tipu daya musuh lainnya mendorong seorang muslim bertindak tergesa-gesa.

6.    Tersebarnya kemungkaran dan tidak tahu cara mengatasinya termasuk salah satu faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan tergesa-gesa. Ke mana saja seseorang bergerak, di sana ia menemukan kemungkaran mengelilinginya. Tidak diragukan, bahwa ketika melihat kemungkaran, seorang muslim berkewajiban mencegah dan menumpasnya. Ini adalah agar bumi tidak menjadi tempat kejahatan dan kerusakan. Bahkan Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya):

·         "Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini." [QS. Al-Baqarah: 251];

·         "Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, Gereja-Gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan Masjid-Masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." [QS. AL-Hajj: 40]

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda:

·         "Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya; Jika ia tidak sanggup, hendaklah ia mengubah dengan lisannya; Jika tidak sanggup mengubah dengan lisannya, hendaklah ia mengubahnya dengan hati, dan itu adalah selemah-lemahnya keimanan." [HR. Muslim];

·         "Perumpamaan orang yang menerapkan aturan Allah dengan orang yang melanggarnya, seperti kaum yang melakukan undian untuk naik sebuah kapal. Sebagian mendapatkan tempat di bagian atas, dan sebagian lagi mendapatkan tempat di bagian bawah. Maka, jika orang yang mendapatkan tempat di bagian bawah ingin mengambil air, ia harus melewati orang yang ada di bagian atas. Mereka berkata, "Seandainya kita bocorkan di bagian kita sedikit saja, tentu kita tidak menyakiti orang-orang yang ada di bagian atas. Seandainya mereka (orang yang berada di bagian atas) membiarkan mereka melakukan apa yang mereka katakan, maka mereka akan karam seluruhnya. Namun, jika mereka mencegahnya, maka mereka akan selamat dan menyelamatkan semuanya." [HR. Al-Bukhâri]

Namun demikan, tidak semua kemungkaran harus dicegah dan diubah dengan segera, tanpa mempertimbangkan asas maslahat dan mudharat. Kebolehan mengubah kemungkaran dengan segera mempunyai syarat, yaitu tindakan yang diambil tidak mendatangkan kemungkaran yang lebih besar. Seandainya tindakan itu mendatangkan kemungkaran yang lebih besar, maka usaha itu mesti dihentikan, namun dengan tetap menanamkan dalam hati kebencian terhadap kemungkaran tersebut, menghindarinya dan terus mencari jalan terbaik untuk mengatasinya. Di samping itu, kita niatkan dalam hati, bahwa jika kesempatan tersedia untuk mengubahnya, kita menjadi orang-orang yang berada di garda terdepan untuk memberantasnya. Di dalam hadits-hadits dan sirah nabawiyah terdapat banyak contoh mengenai hal ini.

Ketika Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—diutus, berhala bertebaran di dalam dan di sekeliling Ka`bah. Namun, beliau tidak lantas memusnahkan berhala-berhala itu kecuali pada peristiwa Fathu Makkah, tahun 8 Hijriah. Ini berarti, jarak antara awal pengutusan beliau dengan waktu penghancuran berhala-berhala itu sekitar 21 tahun. Karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—meyakini bahwa jika beliau menghancurkan berhala-berhala itu sejak pertama kali, sebelum beliau menghancurkan keyakinan yang ada di dalam hati para pemujanya, niscaya mereka akan memperkokoh berhala-berhala itu dan memperbaiki rupanya dengan yang lebih mengerikan. Jika demikian, maka perbuatan dosa akan semakin bertambah parah dan kerusakan semakin meningkat. Oleh sebab itu, maka Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—membiarkan berhala-berhala itu, dan beralih mempersiapkan orang-orang, menyucikan jiwa dan menyucikan hati-hati mereka. Setelah itu, barulah beliau bersama orang-orang yang sudah dipersiapkan tersebut pergi menaklukkan Makkah dan menghancurkan berhala-berhala tersebut sembari mengucapkan: "Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." [QS. Al-Isrâ': 81]

Pada suatu ketika, Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepada Aisyah—Semoga Allah meridhainya: "Tahukah engkau bahwa kaummu ketika membangun Ka`bah, mereka membangunnya lebih pendek dari pondasi yang dibangun Ibrahim?" Aisyah berkata, "Rasulullah, kenapa Anda tidak mengembalikannya ke pondasi yang dibangun Ibrahim?" Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menjawab: "Seandainya bukan karena kaumnya masih terlalu dekat dengan masa kekufuran, tentu aku akan melakukannya." Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak memperbarui bangunan Ka`bah dan mengembalikannya ke pondasi Ibrahim lantaran khawatir hal itu dapat mendatangkan kemudharatan yang lebih besar, yaitu perselisihan dan perpecahan. Hal ini dikuatkan oleh riwayat lain, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Kalaulah bukan karena kaummu masih terlalu dekat dengan masa jahiliyah, aku khawatir hati-hati mereka mengingkari aku memasukkan dinding Ka`bah ke dalamnya, dan menurunkan pintunya ke atas tanah."

Seorang muslim tidak berdosa, jika ia tidak mencegah kemungkaran saat ia khawatir hal itu dapat menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, sedangkan hatinya memungkiri dan menjauhi kemungkaran itu serta berusaha mencari cara terbaik untuk mengatasinya, sembari bertekad jika peluang sudah terbuka, ia akan bersegera dan tidak akan menunda-nundanya untuk menumpasnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): 'Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." [QS. Al-Baqarah: 286]

Seandainya seorang aktivis dakwah atau da`i lupa mengkaji cara mengubah dan menghilangkan kemungkaran yang ada, maka bisa dipastikan—ia akan tergesa-gesa, mengira bahwa perintah mengubah kemungkaran harus segera dilaksanakan, dan siapa yang tidak melakukannya akan berdosa.

7.    Lemah dalam memikul tanggung jawab dan kesulitan di jalan dakwah. Ini bisa menjadi salah satu pemicu seseorang melakukan tindakan yang tergesa-gesa. Ada orang yang punya keberanian dan semangat untuk berjuang dalam waktu yang pendek, dan untuk perjuangan itu ia siap mati. Namun, untuk menahan kesulitan dan perjuangan di jalan dakwah dalam waktu yang panjang ia tidak sanggup. Padahal ketangguhan yang sejati adalah yang di dalamnya ada kesabaran dan ketahanan serta perjuangan sampai akhir hayat. Orang seperti ini selalu tergesa-gesa menjauhkan dirinya dari beban dan perjuangan, meskipun ia untuk menghindari semua itu harus mati. Pergerakan Islam pada era sekarang banyak melahirkan orang-orang yang tipikalnya seperti ini; tidak sanggup menanggung beban dan melanjutkan perjuangan, sehingga mereka mengambil langkah-langkah yang penuh ketergesa-gesaan. Di sisi lain, ada orang-orang yang telah disiksa selama puluhan tahun, namun mereka tetap sabar dan bertahan serta mengembalikan semuanya kepada Allah, karena—mereka menyadari bahwa—situasi yang ada tidak tepat untuk melakukan perubahan, kesemptatan tidak tersedia, akibatnya buruk, sedangkan bekal sedikit dan minim. Sebagai hasil dari kesabaran itu, Allah menunjuki, dan menolong mereka serta meneguhkan langkah mereka di jalan dakwah.

8.    Memiliki beberapa bekal dan sarana perubahan, namun tidak memperhitungkan konsekuensi atas aksi yang dilakukan. Barangkali karena memiliki beberapa bekal dan sarana untuk melakukan perubahan—seperti, jumlah kader dan peralatan yang tersedia, tanpa memikirkan konsekuensinya—seperti, semakin mengganasnya musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin, terjadinya penyiksan dan reaksi massal—juga bisa mendorong seseorang melakukan tindakan tergesa-gesa. Barangkali inilah hikmah kenapa Islam memerintahkan umatnya bersabar atas kezaliman para pemimpin, selama mereka tidak menampakkan kekufuran yang nyata, dan keluar dari Islam. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Siapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak ia senangi hendaklah bersabar. Karena siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka jika ia mati, ia mati dengan kematian jahiliyah."

`Ubâdah Ibnu Ash-Shâmith—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memanggil kami, lantas kami membai`at beliau. Ubâdah berkata, "Di antara isi bai`at kami adalah kami berbai`at untuk selalu mendengar dan taat, baik dalam keadaan kami giat atau pun malas, dalam keadaan susah ataupun senang dan mendahulukan itu semua atas (keinginan kami), dan juga kami tidak akan merebut kekuasaan dari yang punya. Kecuali jika kalian melihat (padanya) kekufuran yang nyata yang menjadi bukti bagi kalian di sisi Allah."

Bahkan kekufuran yang nyata saja tidak cukup sebagai alasan untuk merebut kekuasaan seorang pemimpin, kecuali jika cara yang diambil tidak mendatangkan perpecahan, di samping itu tersedianya kemampuan dan fasilitas. Namun demikian, sikap seperti ini tidak bertentangan dengan pengingkaran kita dengan lidah dan lisan terhadap kebijakannya yang zalim. Imam Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya, ketika menjelaskan hadits `Ubâdah di atas mengatakan, "Maksud hadits ini, jangan kalian rebut kekuasaan dari penguasa dan jangan kalian menyerang mereka, kecuali jika kalian melihat mereka melakukan kemungkaran yang nyata, seperti yang kalian ketahui dari dasar-dasar Islam. Jika kalian melihat hal itu, maka ingkarilah tindakan mereka tersebut dan katakanlah kebenaran di mana saja kalian berada. Sedangkan melakukan kudeta dan memerangi mereka adalah tindakan haram seperti yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin, meskipun mereka adalah orang-orang fasik dan zalim."

Ibnu At-Tîn menukil dari Ad-Dâwûdi bahwa ia berkata, "Pendapat yang dipegang oleh para ulama mengenai para pemimpin yang zalim adalah jika kepemimpinan itu bisa dicabut darinya dengan cara yang tidak menimbulkan kekacauan dan kezaliman, maka kepemimpinan itu harus dicabut darinya. Namun jika tidak, maka kaum muslimin harus bersabar."

9.    Ketidaktersediaan program yang menyerap energi dan mengurangi ketajaman dan gejolaknya. Hal ini juga kadang menyebabkan seseorang bertindak dengan tergesa-gesa. Karena nafsu manusia, jika tidak disibukkan dengan kebenaran maka ia akan disibukkan oleh kebatilan.

Barangkali itulah hikmah kenapa Islam memerintahkan setiap muslim memiliki program harian, mingguan, bulanan, tahunan dan juga program seumur hidup. Jika program ia jalankan secara rutin langkahnya menjadi jelas dan usahanya akan membuahkan hasil.

Itu juga barangkali rahasia kenapa Islam bersikap tegas terhadap para pemimpin, agar berusaha dan mengerahkan segenap kemampuan untuk membuat suatu (undang-undang) yang membuat kaum muslimin mengisi waktu dengan aktivitas yang produktif yang tidak mendatangkan kerusakan dan keburukan. Jika tidak, maka mereka tidak akan masuk Surga. Hal itu sesuai dengan sabda Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Tidaklah seorang pemimpin yang menjadi penanggung jawab atas urusan kaum muslimin, dan ia tidak mengerahkan segenap tenaga (untuk kebaikan mereka) dan mengarahkan mereka, maka ia tidak akan masuk Surga bersama mareka."

 

 

Artikel Terkait

Keutamaan Haji