Segala puji bagi Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga, para shahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau.
Kita bisa mengatakan bahwa tenang adalah akhlak yang dihasilkan dari kumpulan akhlak mulia lainnya, seperti sabar, tenang, lembut, dan teguh pendirian. Oleh karena itu, sebagian orang mendefinisikan tenang dengan penuh pertimbangan dalam menuju apa yang dicari. Sementara Al-Jâhizh mengartikan sikap tenang dengan: menahan diri dari perkataan yang berlebihan dan sia-sia, meminimalisir isyarat dan gerakan yang tidak perlu, menekan volume marah, menyimak pertanyaan orang lain, berhati-hati dalam menjawab, serta menjaga diri dari sikap terburu-buru dan tergesa-gesa dalam setiap urusan.
Islam demikian antusias mendorong setiap mukmin untuk memiliki sifat tenang dalam dirinya. Bahkan untuk sebuah urusan yang paling penting dalam Agama ini, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—mendorong mereka untuk tidak tergesa-gesa melakukannya, sebagaimana terdapat dalam sabda beliau, "Jika kalian mendengar iqamah, berjalanlah menuju shalat jemaah dengan bersikap tenang (dalam berjalan) dan tidak terburu-buru. Lalu bagian shalat yang kalian dapati bersama imam, lakukanlah. Sedangkan yang luput dari kalian, sempurnakanlah (setelah imam mengucapkan salam)."
Apabila seorang muslim biasa saja dituntut untuk berperilaku demikian, maka tentu saja orang yang berilmu dan beragama lebih pantas untuk antusias menghiasi dirinya dengan sifat itu. Inilah yang dilakukan oleh ulama terdahulu—Semoga Allah merahmati mereka. Imam Malik—Semoga Allah merahmatinya, ketika hendak menyampaikan hadist, selalu membersihkan diri, memakai wangi-wangian, menyisir jenggotnya, memakai pakaian yang paling bagus, dan Allah senantiasa menyinari dirinya dengan sifat tenang.
Begitu juga Ibnu Mas`ud—Semoga Allah merahmatinya— mewasiatkan kepada para ahlul Quran, beliau mengatakan, "Sepantasnya seorang pembawa Al-Quran itu adalah seorang yang suka menangis dan sedih karena Allah, bijak, sabar, dan tenang. Dan tidak sepantasnya pembawa Al-Quran itu berperilaku keras, lalai, suka berteriak, dan keras."
Al-Hasan—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Dahulu, ketika seseorang menuntut ilmu, pengaruhnya akan langsung terlihat dalam sikap takutnya kepada Allah, dalam perilakunya, dalam perkataannya, dalam penglihatannya, dan dalam perbuatan baiknya."
Hati yang hidup dan rasa malu akan membawa pemiliknya kepada sikap tenang, sehingga ia akan memberi ketenangan kepada orang lain, di samping ia sendiri memiliki sikap itu.
Sejalan dengan kadar penghormatan dan pengagungan seorang hamba terhadap Tuhannya, akan sedemikian pulalah penghormatan orang lain kepadanya. Artinya, Barang siapa yang mengagungkan dan memberi penghormatan kepada Allah niscaya Allah akan menanamkan kecintaan dan rasa hormat di dalam hati orang lain kepadanya. Barang siapa yang memandang remeh hak-hak Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dan lemah rasa penghormatannya terhadap Allah di dalam hatinya, lalu ia berani melakukan maksiat dan melanggar ketentuan Agama, tidak memperdulikan perintah dan kewajibannya, niscaya Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—juga tidak akan memberikan rasa hormat dan wibawa di hati orang lain terhadapnya. Seandainya ada sebagian orang yang merasa hormat terhadapnya karena takut kepada kejahatannya, maka itu adalah hormat benci dan bukan hormat cinta dan pengagungan.
Kita berdoa semoga Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menghiasi kita dengan hiasan keimanan dan memberi kita sifat tenang.