Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Kesuksesan merupakan target orang-orang yang bekerja. Dan Allah—Subhânahu wata`âlâ—menyebut kesuksesan sebagai buah dari penyucian, pembinaan, dan pembersihan jiwa. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya." [QS. Al-A`lâ: 14]. Allah juga berfirman (yang artinya): "Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya." [QS. Asy-Syams: 9-10]
Sesungguhnya Allah—Subhânahu wata`âlâ—mengutus Rasul-Nya sebagai guru dan pendidik. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." [QS. Al-Jumu`ah: 2]. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—memang senantiasa mengasuh jiwa para shahabat beliau dengan pembinaan dan penyucian.
Memperbaiki dan menyucikan jiwa adalah tradisi orang-orang yang berjalan menuju Allah—Subhânahu wata`âlâ, yaitu para nabi dan pengikut mereka. Ketika Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengalami kesulitan yang berat dalam mendakwahi kaum beliau. Karena itu, ketika malam datang, beliau bersimpuh di hadapan Allah, rukuk dan sujud memohon kepada-Nya, tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Qiyâmullail (shalat malam) bahkan pernah menjadi ibadah yang wajib bagi umat Islam selama satu tahun penuh. Hal itu karena qiyâmullail memiliki pengaruh yang kuat dalam memperbaiki hati seorang muslim, sekaligus sebagai titik tolak pergerakan seorang muslim dan kunci keteguhan pendiriannya. Itu semua membuat qiyâmullail menjadi kebutuhan yang sangat penting dan tidak mungkin diabaikan.
Oleh sebab itu, menjadi kewajiban bagi setiap muslim—khususnya yang sibuk dengan ilmu dan dakwah—untuk menjadikan salah satu perhatian terbesarnya adalah memperbaiki dan membina jiwa, menjaga hubungannya dengan Allah, menjaga akhlak dan perilakunya dengan manusia, serta menjadikan semua itu sebagai titik tolak untuk mengajak dan memperbaiki orang banyak.
Pengosongan, Pengisian, dan Kesungguhan
Di antara dasar terpenting dalam proses pembinaan jiwa adalah mengosongkan jiwa dari perilaku mengikuti hawa nafsu. Karena mengikuti hawa nafsu pasti akan mendatangkan berbagai penyakit yang tidak terhitung banyaknya. Penyebab sakit itu tidak bisa diobati kecuali dengan lawannya. Jalan untuk mengobati hati adalah dengan menempuh jalan yang berlawanan dengan apa yang diinginkan dan disukai oleh nafsu. Sungguh Allah telah mengumpulkan semua itu di dalam satu kalimat, yaitu firman-Nya (yang artinya): "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal-(nya)." [QS. An-Nâzi`ât: 40-41]. Juga dalam firman-Nya (yang artinya): "Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." [QS. Al-`Ankabût: 69]
Prinsip yang penting dalam berjuang adalah menepati niat dan tekad yang sudah diikrarkan. Apabila kita telah bertekad untuk meninggalkan syahwat, lalu Allah menguji kita dengan mempermudah jalan menuju maksiat, maka kita wajib bersabar dan terus bertahan. Karena apabila nafsu dibiasakan melanggar tekad itu, niscaya ia akan terus terbiasa, sehingga hati pun menjadi rusak.
Kemudian, setelah mengosongkan jiwa dari perilaku mengikuti syahwat, langkah selanjutnya adalah menghiasi jiwa itu dengan kebiasaan melakukan kebaikan. Sehingga ia terbiasa dengan kebaikan, lalu menjadi tabiatnya. Sebuah ungkapan masyhur mengatakan, "Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan belajar, sifat penyabar itu diperoleh dengan berusaha bersabar. Siapa yang berusaha mendapatkan kebaikan niscaya akan diberikan (kebaikan itu), dan siapa yang menjaga diri dari keburukan niscaya akan dijaga (darinya)." [Lihat Shahîhul Jâmi`]
Sesungguhnya amal memiliki pengaruh yang panjang sehingga sampai ke hati. Sebagaimana setiap sifat yang muncul di hati berpengaruh sampai ke anggota tubuh, begitu pula setiap perbuatan yang dilakoni anggota tubuh juga akan naik pengaruhnya sampai ke hati. Siklus ini akan terus berputar. Dan ini merupakan salah satu keajaiban hubungan hati dengan anggota tubuh.
Mewaspadai Futur
Apabila jiwa telah dikosongkan dari perilaku mengikuti hawa nafsu serta sudah dihiasi dengan amal kebaikan, maka setelah itu wajib menuangkan perhatian untuk memantau jiwa dalam melakukan kewajiban dan amalan sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh, serta memasang niat yang baik dalam melakukan setiap perbuatan yang mubah. Karena tabiat jiwa adalah malas, lalai, dan futur.
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Setiap amal itu ada masa semangatnya (puncak), dan setiap masa semangat itu ada saat futur (malas). Siapa yang saat futurnya itu cenderung kepada sunnahku, niscaya ia menjadi orang yang beruntung. Tapi siapa yang cenderung kepada selain itu, sungguh ia akan binasa." [HR. Ahmad; Menurut Al-Albâni: shahîh]
Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Terjadinya masa futur (lesu) bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah suatu keniscayaan. Siapa yang masa lesunya itu cenderung kepada usaha untuk lurus kembali, tidak mengeluarkannya dari kewajiban, dan tidak memasukkannya ke dalam perilaku yang haram, maka diharapkan ia akan kembali dalam keadaan lebih baik daripada sebelumnya."
Tingkatan Futur
Jadi, futur adalah perkara yang selalu ada. Tetapi futur memiliki tingkatan dan ragam yang berbeda, yaitu:
1. Yang paling berbahaya adalah malas dan futur yang berkaitan dengan semua bentuk ketaatan, diiringi dengan kebencian kepada perilaku ketaatan itu. Dan ini adalah kondisi orang-orang munafik;
2. Malas dan futur di sebagian kegiatan ketaatan (ibadah) diiringi dengan ketidakinginan, tapi tanpa rasa kebencian kepadanya. Dan ini adalah kondisi kebanyakan orang-orang fasik di kalangan umat Islam;
3. Malas dan futur yang disebabkan oleh fisik. Artinya, masih ada keinginan untuk beribadah, tetapi rasa malas dan futur terus berlanjut. Dan ini adalah kondisi kebanyakan umat Islam.
Yang berbahaya dalam kondisi ini adalah bahwa umur terus berjalan, hari-hari berlalu tanpa hasil dan karya yang berarti. Yang lebih berbahaya adalah berpindahnya kepada kondisi yang lebih buruk dari itu, sehingga musibahnya semakin besar. Atau kemudian terjerumus menyerupai orang-orang munafik yang bermalas-malasan melakukan ibadah dan berat melakukan kebaikan. Oleh sebab itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memohon perlindungan dari sifat lemah dan malas di pagi dan sore hari, serta mengajarkan para shahabat beliau agar berlindung dari sifat itu.
Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—juga telah mencela orang-orang mukmin yang merasa berat untuk berjihad. Di saat yang sama, Allah juga menyeru mereka untuk segera meraih kebaikan, memotivasi mereka dengan balasan orang-orang terdahulu yang bersegera melakukan amal baik, serta memberi penjelasan kepada mereka.
Da'i dan Fenomena Futur
Futur dan malas adalah penyakit yang menjangkiti manusia dengan berbagai tingkatan mereka. Dan yang paling berbahaya adalah ketika ia menimpa para da'i dan penuntut ilmu. Sehingga amat penting untuk mencegahnya sebelum terjadi atau memperbaikinya setelah terjadi. Dan mencegah tentu lebih mudah daripada mengobati.
Berdasarkan hal ini, adalah wajib hukumnya menjaga jiwa kita agar tidak terperosok ke dalam futur yang akan membawanya dari satu fase ke fase lainnya, sehingga penyakit semakin berat dan sulit diobati. Karena penyaki-penyakit jiwa itu seperti tanaman, sangat mudah dicabut dan dihilangkan saat awal ditanam. Apabila dibiarkan, ia akan segera tumbuh besar dan mengakar kokoh di bumi. Bila sudah demikian, untuk mencabutnya membutuhkan tenaga orang-orang yang kuat dan alat-alat bantu. Demikian juga penyakit hati, ia mulai muncul dalam bentuk yang sederhana. Apabila pengobatannya diabaikan, ia akan menguat sehingga menjadi sesuatu yang kokoh dan tabiat yang terus melekat.
Oleh sebab itu, kewajiban kita—wahai para da`i—adalah mengintrospeksi diri dan memperhatikan kondisi kita, apakah ada gejala futur menimpa kita? Bila ada, bersegeralah mengetahui penyebabnya dan berusaha mengobatinya.
Indikasi-indikasi Futur:
Indikasi futur banyak sekali, di antaranya:
- Bermalas-malasan dalam melakukan ketaatan (ibadah), merasa lemah dan berat ketika menunaikannya, serta lalai dari berzikir dan membaca Al-Quran.
- Merasakan kerasnya hati dan tidak mudah tersentuh oleh Al-Quran dan nasihat-nasihat.
- Menganggap enteng dan terbiasa melakukan maksiat.
- Tidak merasakan tanggung jawab dan amanah, serta melemahnya perhatian terhadap dakwah di dalam hati.
- Terputusnya ikatan ukhuwah (persaudaraan) antara orang-orang yang saling mencintai.
- Begitu perhatian terhadap masalah dunia serta sibuk dengannya, sehingga meninggalkan perbuatan baik.
- Banyak berbicara namun tidak ada bermakna, banyak berdebat, sibuk berbicara tentang kesuksesan dan berbagai masalah, sehingga lupa bekerja serius dan membuahkan hasil yang bermanfaat bagi umat.
- Lemahnya bara iman serta padamnya rasa cemburu bila batasan-batasan Allah dilanggar.
- Berlalunya waktu dengan sia-sia dan tidak ada manfaat yang bisa diambil darinya.
- Tidak ada kesiapan untuk komitmen melakukan sesuatu serta lari dari semua kerja yang serius.
- Tidak beraturan dalam bekerja.
- Adanya tipuan diri dengan berkhayal bahwa ia bekerja, padahal sebenarnya kosong. Atau pekerjaannya tanpa tujuan.
- Mengkritik setiap kerja yang positif.
- Menunda dan mengakhirkan kerja, serta banyak angan-angan.
Penyebab Futur
Apabila kita bertanya, apa penyebab futur yang kita alami, dan apa saja faktor yang mengikibatkan munculnya? Ternyata penyebabnya banyak dan bertingkat-tingkat, di antaranya adalah:
- Tidak ikhlas dalam beramal, atau tidak mengiringinya dengan niat ikhlas, yaitu dengan munculnya riya dalam amal yang dilakukan.
- Lemahnya ilmu pengetahuan Agama. Misalnya pengetahuan tentang keutamaan dan balasan terhadap amal, keutamaan sabar dan pengaruhnya, serta ilmu-ilmu yang lain.
- Tergantungnya hati kepada dunia dan melupakan Akhirat.
- Godaan istri dan anak-anak. Karena istri dan anak-anak dapat melalaikan manusia dari sekian banyak ibadah apabila tidak hati-hati.
- Tidak memahami Agama. Dan ini adalah hal yang aneh. Tapi yang lebih aneh lagi adalah memahami tabiat Agama dan merasakan manisnya iman, namun kemudian berpaling dari beramal di medan Islam.
- Terjerumus ke dalam suatu maksiat atau kemungkaran, dan memakan makanan yang haram atau syubhat.
- Tidak jelasnya tujuan dakwah yang dilakukan, yaitu mencari ridha Allah, mengajak manusia untuk menyembah hanya kepada Tuhan semesta alam, dan menegakkan agama Allah di muka bumi.
- Lemahnya keyakinan terhadap tujuan dan sarana-sarana dakwah yang digunakan.
- Sikap ekstrem dan keras, di mana hal itu kemudian berubah menjadi penyebab bosan, dan akhirnya meninggalkan amal.
- Berbagai halangan dan rintangan yang banyak ditemui di jalan dakwah. Sesuatu yang merupakan sunnatullah terhadap para da'i dan gerakan dakwah.
- Individualis dan suka menyendiri, sehingga kemudian dihinggapi rasa jenuh dan bosan.
- Kaku dalam metode dakwah dan tidak berpikir tentang bagaimana cara menyampaikan maksud kepada orang-orang yang didakwahi, serta bagaimana menjaga prinsip-prinsip dasar dan ruh dakwah. Di antara contoh cara-cara itu adalah memvariasikan cara berkomunikasi dengan orang banyak, sesuai dengan tingkatan masing-masing, melalui media audio (suara) atau bacaan, dengan berbagai ragam dan bentuknya. Contoh lain adalah membuat variasi cara mempresentasikan materi ilmu dan Al-Quran, baik dari segi tempat maupun sarananya.
- Tidak meresapi adanya permusuhan yang terus-menerus dengan Syetan, dan juga tidak merasakan adanya penentangan orang-orang kafir terhadap umat Islam. Padahal mereka mengerahkan semua sarana untuk menipu dan memalingkan umat Islam dari Agama mereka.
- Berbagai bisikan dan godaan Syetan yang melahirkan rasa takut di dalam hati, serta menimbulkan keraguan para da'i terhadap keselamatan jalannya.
- Penyakit hati, seperti dengki, buruk sangka, benci, ambisi berkuasa, dan sombong.
- Lalai melakukan ibadah dan amalan sehari-hari, seperti shalat sunnah rawatib, zikir, dan wirid harian.
- Merasa lambat datangnya kemenangan dan ingin cepat mendapatkan hasil.
- Tidak konsisten dalam menjalankan program atau amal tertentu, meninggalkan kerja sebelum selesai lalu berpindah ke kerja yang lain, dan begitu seterusnya.
- Memandang kepada orang yang ada di bawahnya dari segi ilmu dan ibadah. Sikap seperti ini berpotensi melemahkan semangat.
- Berkunjung dan berbaur dengan orang-orang yang mencintai dunia. Ini memang hal yang mengandung bahaya luar biasa. Tidak ada yang bisa selamat darinya kecuali orang-orang yang memang diselamatkan oleh Allah.
- Lesu dalam mengatasi futur.
Mengatasi Futur
Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali juga menurunkan obatnya. Futur merupakan salah satu penyakit hati yang sangat berat. Bahayanya semakin kuat ketika kehadirannya tidak dirasakan oleh seseorang sehingga menggiringnya kepada penyimpangan, dan akhirnya membinasakannya—Na'ûdzu billâhi min dzâlik. Dari sini, semakin jelas pentingnya mengatasi futur dengan berusaha mencegahnya sejak awal. Atau melakukan upaya-upaya untuk menghilangkannya setelah terjadi.
Cara terpenting dalam mengatasinya adalah dengan menghindari penyebab-penyebabnya. Dan ini merupakan cara terbaik untuk selamat. Sesungguhnya keyakinan akan bahaya penyakit ini dan keharusan untuk melepaskan diri darinya—baik dengan mencegah maupun mengobati—adalah hal yang penting dalam menjalani sarana-sarana pengobatan. Di antara sarana-sarana itu adalah:
- Berdoa dan memohon pertolongan dari Allah. Karena Allah akan menjawab doa orang yang terdesak apabila berdoa kepada-Nya. Dan orang yang ditimpa musibah dalam Agamanya serta merasa khawatir terhadap keselamatan dirinya adalah orang yang paling terdesak. Dan Allah adalah tempat memohon semua kebaikan. Oleh sebab itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berwasiat kepada Mu'adz untuk mengucapkan di akhir setiap shalat: "Allâhumma a`inni `alâ dzikrika wa syukrika wa husni `ibâdtika (Ya Allah, bantulah aku mengingat-Mu, menyukuri-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu)."
- Menjaga dan memperbarui keimanan, serta antusias meningkatkannya dengan memperbanyak ibadah. Hal ini merupakan bekal seorang mukmin, sekaligus berfungsi meringankan beban perjalanannya.
- Merasakan kehadiran Allah dan banyak mengingat-Nya. Merasakan kehadiran Allah melahirkan rasa takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, memohon kepada-Nya, serta mengimani keluasan ilmu, penguasaan, dan kemampuan-Nya. Sedangkan mengingat Allah adalah kebutuhan utama hati manusia, sekaligus obat yang membuatnya tenang. Zikir yang paling agung adalah berhubungan dengan Kitabullah, baik dengan membacanya, memahaminya, mengamalkannya, maupun berhukum dengannya. Sesungguhnya orang yang tidak komitmen dengan Al-Quran niscaya akan disesatkan oleh hawa nafsunya.
- Ikhlas dan takwa. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian furqân (pembeda antara yang hak dengan yang batil)." [QS. Al-Anfâl: 29]
- Membersihkan hati dari rasa dendam, benci, dengki, dan buruk sangka, sehingga dada menjadi lapang dan hati menjadi bersih.
- Menuntut ilmu, terus-menerus belajar, serta menghadiri majelis-majelis zikir dan ceramah. Karena menuntut ilmu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, dan itu adalah kebutuhan pokok hati.
- Moderat serta tidak berlebihan dalam beribadah dan melakukan kebaikan.
- Mengatur waktu dan memuhasabah (introspeksi)diri.
- Selalu bersama jamaah dan menguatkan ikatan ukhuwah.
- Memberikan perhatian dan pengawasan kepada orang-orang yang futur, agar futur tidak membawa mereka kepada penyimpangan.
- Pendidikan yang utuh dan sempurna sesuai dengan metode Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, yang—insyâallâh—dapat menjaga diri dari futur.
- Memvariasikan ibadah dan amal kebajikan, misalnya: zikir, membaca Al-Quran, shalat, membaca buku-buku yang bermanfaat, mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, menolong orang lain, dan membantu orang yang membutuhkan.
- Meneladani para nabi—`Alaihimus salâm—dan para juru dakwah dari segi keikhlasan mereka dalam aktivitas dan semangat mereka dalam menjaga waktu serta amal mereka.
- Cita-cita yang tinggi, tujuan yang mulia, dan kemauan yang kuat. Yaitu dengan menjadikan Surga sebagai cita-cita, menjadikan ridha Allah sebagai tujuan, serta bejuang dalam beribadah sampai mati.
- Banyak mengingat kematian dan takut terhadap sû`ul khâtimah (akhir hidup yang tidak baik), dengan ziarah kubur dan melihat orang yang sedang sakaratul maut. Kegiatan-kegiatan seperti ini akan melahirkan keinginan untuk cepat bertobat, rasa qana'ah di hati, dan semangat beribadah. Sedangkan lupa kepada kematian akan melahirkan sikap sebaliknya.
- Membuat gambaran Surga dan Neraka selalu hadir dalam pikiran, serta senantiasa membaca tentang keduanya dari Al-Quran dan sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Karena itu akan menajamkan cita-cita dan menguatkan kemauan.
- Antusias untuk terus menambah dan menjaga kesinambungan amal, serta mewaspadai sikap malas, terutama amalan yang sudah terjaga selama ini. Karena sesungguhnya orang yang meninggalkan sunnah dikhawatirkan akan meninggalkan yang wajib, dan demikian seterusnya.
- Sabar dan teguh. Karena jalan ilmu, ibadah, dan dakwah adalah jalan yang sulit dan panjang, dengan sekian banyak kesusahan dan cobaan yang harus dihadapi.
Kita berdoa semoga Allah—`Azza wajalla—memberikan keteguhan kepada kita dalam menjalankan agama-Nya, serta memberikan akhir kehidupan yang baik untuk kita.