Kita sudah paparkan dalam artikel terdahulu beberapa faktor di antara penyebab kelalaian. Dalam artikel ini, kita akan berbicara tentang pengaruh-pengaruh penting yang muncul dari penyakit ini terhadap pribadi dan masyarakat, demikian juga terhadap amal Islam itu sendiri.
A. Pengaruh Lalai dalam Melakukan Amalan harian Terhadap Para Aktivis
Di antara pengaruh lalai dalam melakukan amalan harian terhadap para aktivis adalah:
1. Instabilitas dan Kecemasan Perasaan.
Itu terjadi karena sesungguhnya nutrisi hati, resep kenyamanan jiwa, dan obat kekuatan spiritual hanya terdapat pada kontinyuitas seorang hamba dalam menjalankan amalan kebajikan dalam kesehariannya. Berdasarkan hal ini, maka siapa yang melalaikan amalan hariannya, berarti telah memutus saluran nutrisi hati, serta menutup sumber kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Hasilnya adalah munculnya kecemasan dan kegoncangan (instabilitas) jiwa. Maha benar Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—yang berfirman (yang artinya):
· "Dan siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit." [QS. Thâhâ: 124];
· "Dan siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang amat berat." [QS. Al-Jinn: 17]
2. Berhenti Menunaikan Kewajiban, atau Minimal Lesu.
Ini terjadi karena bekal seorang muslim dalam perjalanan hidup ini sesungguhnya terletak pada kerutinannya menjalankan amalan harian. Siapa yang lalai dalam amal kebajikan hariannya niscaya tidak akan memiliki bekal apa-apa. Kondisi seperti ini pada akhirnya akan membuatnya tidak lagi melaksanakan kewajiban, atau minimal akan lesu menjalani kewajiban. Dan itu tentu mengandung bahaya dan kerugian yang tidak sedikit. Benarlah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—ketika bersabda, "Syetan membuat tiga ikatan pada tengkuk seseorang di antara kalian jika ia tidur. Di setiap ikatan itu, Syetan membisikkan, 'Engkau memiliki malam yang panjang, maka tidurlah'. Jika ia bangun seraya menyebut Allah (berzikir), terlepaslah satu ikatan. Jika ia berwudhuk, terlepas pula satu ikatan yang lain. Jika ia shalat, terlepaslah ikatan yang ketiga. Sehingga ia akan menjadi bersemangat dan berhati lapang. Jika tidak demikian, hatinya akan kacau dan malas."
3. Berani Melakukan Maksiat.
Ini karena ketaatan yang hakiki ibarat pagar pembatas yang menghalangi seseorang dari melakukan maksiat. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)." [QS. Al-`Ankabût: 45]
Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya si fulan melakukan shalat malam, namun ketika pagi hari ia mencuri." Beliau bersabda, "Sesungguhnya shalat malamnya yang engkau katakan itu akan mencegahnya dari perilakunya tersebut."
Berdasarkan hal ini, apabila seseorang melalaikan dan menyia-nyiakan amalan ketaatan (ibadah), atau menunaikannya sekedar sebagai formalitas, tidak memasuki inti dan hakikatnya, berarti ia telah meruntuhkan pagar pembatas itu, sehingga jalan menjadi terbuka di hadapannya untuk terjerumus ke dalam maksiat dan dosa secara berani atau cuek. Barangkali ini yang diisyaratkan oleh perkataan Ibnu Abbas: "Siapa yang shalatnya tidak membawanya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran, niscaya shalatnya itu tidak akan menambah apa-apa selain jarak yang semakin jauh dari Allah."
4. Kelemahan atau Ketidakberdayaan Fisik
Ini terjadi karena kontinyuitas dalam amal ibadah harian memberikan daya tahan dan energi bersabar kepada fisik manusia, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—melalui lisan Nabi Hûd—`Alaihis salâm—(yang artinya): "Dan (ia berkata), 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhan kalian lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya ia akan menurunkan hujan yang sangat deras untuk kalian, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatan kalian'." [QS. Hûd: 52]
Itu pula yang tergambar dalam pesan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepada Ali dan Fatimah—Semoga Allah meridhai mereka berdua. Ali bercerita, "Suatu ketika, Fatimah datang kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengadukan tangannya yang sakit karena harus menggiling tepung. Fatimah telah mendengar berita bahwa ada budak yang didatangkan kepada Rasulullah. Namun saat itu, Fatimah tidak dapat bertemu dengan Rasulullah. Lalu ia menceritakan keinginannya (meminta seorang pembantu) itu kepada 'Aisyah. Ketika Rasulullah pulang, 'Aisyah menceritakan hal tersebut kepada beliau. Rasulullah pun mendatangi rumah kami. Saat itu, kami sudah berada di tempat tidur kami. Ketika kami hendak beranjak bangun, beliau bersabda, 'Tetaplah di tempat kalian'. Lalu beliau mendekat dan duduk di antara aku dan Fatimah, sehingga aku sampai merasakan dingin telapak kaki beliau di perutku. Beliau bersabda, 'Maukah kalian aku tunjukkan suatu perkara yang lebih baik daripada apa yang kalian minta itu? (Yaitu) apabila kalian hendak tidur atau masuk ke tempat tidur kalian, bertasbihlah 33 kali, bertahmidlah 33 kali, dan bertakbirlah 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu'."
Oleh karena itu, siapa yang lalai dalam menjalankan amalan hariannya niscaya akan terbiasa santai dan tidur. Dan hal itu tidak akan mendatangkan apa-apa kepada fisiknya selain rasa loyo dan tidak ketidakberdayaan.
5. Terhalang dari Pertolongan dan Taufik Allah.
Ini terjadi karena sesungguhnya pertolongan dan taufik dari Allah tidak bisa diraih oleh seorang hamba kecuali apabila ia memiliki hubungan baik dengan Tuhannya, yang terwujud dalam amal ibadah harian yang kontinyu. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya):
· "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang baik." [QS. An-Nahl: 128];
· "Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, sungguh Kami akan menunjukkan mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang baik." [QS. Al-'Ankabût: 128]
Apabila seorang muslim lalai menjalankan ibadah hariannya, berarti ia telah memutus tali hubungan antara dirinya dengan Tuhannya. Jika sudah demikian, ia secara otomatis akan terhalang dari pertolongan dan taufik Allah. Barangkali ini yang dapat kita pahami dari firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami jadikan baginya Syetan (yang menyesatkan), maka Syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya Syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk." [QS. Az-Zukhruf: 36-37]
6. Kehilangan Wibawa atau Pengaruh di Tengah Manusia.
Itu bisa terjadi karena orang yang lalai dalam menjalankan amal ibadah harian sesungguhnya telah menyia-nyiakan senjata yang paling dahsyat untuk mempengaruhi dan menawan hati orang banyak. Ini merupakan hal yang sangat jelas, karena dengan kelalaian menjalankan ibadah hariannya, seorang manusia berarti telah menyia-nyiakan kedudukannya di sisi Tuhannya. Sementara orang yang kehilangan kedudukan di sisi Tuhannya, pasti di tengah manusia pun tidak akan memiliki kedudukan apa-apa.
Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah mensinyalir hal ini ketika bersabda, "Hampir tiba masanya umat-umat berkerumun menyerang kalian seperti kerumunan orang-orang yang makan pada satu piring." Salah seorang shahabat bertanya, "Apakah jumlah kami ketika itu sedikit?" Rasulullah menjawab, "Bahkan jumlah kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian seperti buih di lautan. Saat itu, Allah sungguh akan mencabut dari (hati) musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian, serta akan menanamkan (penyakit) al-wahn ke dalam hati-hati kalian." Seorang shahabat kembali bertanya, "Wahai Rasulullah, Apakah al-wahn itu?" Beliau menjawab, "Cinta dunia dan takut kepada kematian."
Pengaruh Lalai Menjalankan Amal Harian Terhadap Kerja-kerja Keislaman
Di antara pengaruhnya terhadap aktivitas keislaman adalah:
1. Panjangnya Jalan dan Banyaknya Beban yang Terasa.
Apabila para aktivis Islam lalai menjalankan hak-hak Allah—`Azza wajalla—yang dibebankan kepada mereka, maka jalan yang harus mereka lalui akan semakin panjang dan beban yang mereka pikul akan semakin berlipat. Ujian dan kesulitan juga akan semakin banyak menghadang dari segala sisi. Apalagi, musuh-musuh Allah terus menjalankan strategi dan rencana mereka, tanpa pernah lalai sedikit pun, baik siang maupun malam hari. Maha benar Allah—Subhânahu wata`âlâ—ketika berfirman melalui lisan Nabi Shâlih—`Alaihis salâm—(yang artinya): "Siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya." [QS. Hûd: 63]
2. Tidak Tegar di Saat Datang Ujian dan Kesulitan.
Tabiat ujian itu adalah keras dan sulit, tidak bisa dipikul oleh manusia dengan kemampuan dan kekuatan mereka sendiri. Mereka harus mendapatkan bantuan dan dukungan dari Allah untuk menghadapinya. Bagaimana mungkin orang yang mengabaikan hak-hak Allah akan diberikan ketabahan dan ketegaran. Barangkali inilah yang dapat dipahami dari firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):
· "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami adalah Allah', kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita." [QS. Al-Ahqâf: 13];
· "Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian." [QS. Muhammad: 7]
Itu juga yang kita pahami dari sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepada Ibnu Abbas, "Wahai anak muda, aku akan mengajarimu beberapa kalimat; jagalah (hak) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (hak) Allah, pasti engkau akan mendapati-Nya berada di pihakmu. Jika engkau memohon, maka memohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa sekiranya semua makhluk berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu, kecuali dengan apa yang memang telah ditakdirkan untukmu. Dan sekiranya mereka berkumpul untuk mendatangkan suatu bahaya kepadamu, niscaya mereka tidak kuasa mendatangkan bahaya kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditakdirkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering."
Mengatasi Kelalaian dalam Menjalankan Amal Harian
Kita bisa mengatasi terjadinya sikap lalai dalam menjalankan amal harian dengan mengikuti kiat-kiat berikut:
1. Senantiasa berinteraksi dengan Al-Quran dan Sunnah. Dalam dua pedoman hidup ini kita akan menemukan gambaran yang benar tentang imbalan untuk orang-orang yang taat dan hukuman bagi orang-orang yang bermaksiat (pelaku dosa), termasuk juga jenis imbalan dan hukuman itu. Al-Quran dan Sunnah juga berisi motivasi untuk selalu kontinyu dalam menjalankan ketaatan dan meninggalkan maksiat. Motivasi itu diberikan di sana dengan cara mengingatkan kita akan pantauan Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan cakupan ilmu-Nya terhadap segala sesuatu, serta pentingnya menyerahkan (segala urusan) kepada-Nya dan berdoa di hadapan-Nya. Cukuplah misalnya bagi seorang muslim membaca rangkaian ayat-ayat ini (yang artinya): "Dan kembalilah kalian kepada Tuhan kalian, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepada kalian kemudian kalian tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian sebelum datang azab kepada kalian dengan tiba-tiba, sedang kalian tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan, 'Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah)'. Atau supaya jangan ada yang berkata, 'Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa'. Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab, 'Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang berbuat baik'. (Bukan demikian), sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu, lalu engkau mendustakannya dan engkau menyombongkan diri, dan adalah engkau termasuk orang-orang yang kafir." [QS. Az-Zumar: 54-59]
2. Melepaskan diri dari maksiat dan dosa, terutama dosa kecil, karena sesungguhnya ia ibarat racun yang mematikan dan api yang membakar. Benar sekali apa yang diucapkan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Jauhilah dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya dosa-dosa kecil yang berkumpul pada diri seseorang akan dapat menghancurkannya. Dan sesungguhnya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—memberikan perumpamaan dosa kecil itu bagaikan suatu kaum yang tinggal di suatu lembah, lalu mereka ingin memasak makanan, kemudian seorang di antara mereka pergi mencari ranting kayu. Kemudian orang-orang datang membawa ranting kayu sampai jumlahnya sangat banyak. Lalu mereka menyalakan api dan memasak apa yang mereka letakkan di atasnya."
3. Tidak berlebihan dalam melakukan hal-hal yang mubah, terutama mengkonsumsi makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman adalah sumber dari segala bencana. Benar sekali apa yang diucapkan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Tidaklah seorang anak Adam memenuhi suatu kantong yang lebih buruk dibanding perutnya. Cukuplah baginya memasukkan beberapa suap untuk sekedar menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak ada pilihan selain harus makan, maka cukup sepertiga untuk makanan, sepertiga lainnya untuk minuman, dan sepertiga lainnya untuk nafasnya."
4. Mengetahui pentingnya merutinkan amal ibadah harian untuk meraih kesuksesan serta kemampuan menjalankan beban dan kewajiban. Mengetahui hal itu akan membebaskan diri dari kelalaian, serta akan membawanya untuk selalu kontinyu dalam beramal.
5. Menghargai nikmat serta menyadari bahwa ia tidak akan kekal kecuali dengan melakukan ketaatan. Hal seperti ini akan menggerakkan jiwa yang lurus untuk kontinyu dalam menjalankan amal harian demi memenuhi hak Allah, sekaligus mengharapkan keberlangsungan dan bertambahnya nikmat.
6. Berusaha menyesuaikan antara rutinitas ibadah harian dengan menjalankan kewajiban yang lain. Di dalam hadits disebutkan, "Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atas dirimu, jiwamu memiliki hak atas dirimu, dan keluargamu juga memiliki hak atas dirimu, maka berikanlah hak itu kepada setiap pemiliknya."
7. Bersungguh-sungguh melatih diri dengan tegas dan disiplin, selalu merasa lalai, tidak menunda-nunda (pekerjaan), dan memberi harapan bahwa jika diri harus lelah hari ini maka besok ia akan bersenang-senang dengan nikmat yang abadi dan kesempatan memandang wajah Allah yang mulia.
8. Memperkirakan akibat dan efek yang muncul karena lalai dalam menjalankan amal harian. Barangkali hal itu dapat menggerakkan hati, lalu tercermin dalam perilaku, sehingga kontinyu dalam menjalani ibadah harian.
9. Selalu bersama jamaah dan hidup di tengah kelompok yang shalih lagi lurus. Lingkungan seperti ini akan mengingatkan kita kepada Allah, sekaligus mengasah obsesi dan semangat. Benar apa yang diucapkan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Maukah kalian aku tunjukkan orang yang terbaik di antara kalian?" Para shahabat berkata, "Mau, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang apabila dilihat mengingatkan kepada Allah—`Azza wajalla."
10. Meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah—`Azza wajalla. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang meminta pertolongan kepada-Nya, bernaung di bawah penjagaan-Nya, dan berlindung di sisi-Nya, terutama di saat-saat sulit dan berat. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya):
· "Dan Tuhan kalian berkara, 'Mintalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya untuk kalian'." [QS. Ghâfir: 60];
· "Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di muka bumi? Apakah selain Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kalian mengingati-(Nya)." [QS. An-Naml: 62]
11. Menyadari bahwa dunia adalah tempat beramal, bertanam, dan berkebun. Sementara hari Akhirat adalah tempat memanen dan mengetahui hasil. Jika dunia berlalu tanpa ketaatan, sungguh itu merupakan kerugian yang tiada tara. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." [QS. Az-Zumar: 15]
12. Selalu bersama orang-orang yang menjadi teladan dan contoh dalam menjalankan amal ibadah harian. Dengan demikian, kita berharap tidak menjadi penyebab rusaknya orang selain kita, sehingga harus memikul dosa sendiri dan dosa orang lain yang mengikuti kita. Karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa perbuatan itu seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka."
13. Berinteraksi dengan sirah (sejarah hidup) Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Perhatikanlah bagaimana beliau berpuasa di siang hari hingga dikatakan bahwa beliau tidak pernah berbuka. Perhatikanlah bagaimana beliau melakukan qiyâmullail hingga dikatakan bahwa beliau tidak pernah tidur. Seperti itu pula beliau lakukan dalam menjalani ibadah-ibadah yang lain, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau yang terdahulu dan yang akan datang. Interaksi seperti ini dengan sejarah hidup beliau akan membawa orang yang lalai dalam menjalankan ibadah harian untuk selalu kontinyu beramal. Berangkat dari kenyataan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—melakukan itu semua, padahal Allah telah menjanjikan tempat yang mulia untuk beliau. Bagaimana dengan orang yang tidak mengetahui akhir hidupnya apakah akan di Surga ataukah bersama penduduk Neraka?
14. Selalu melihat perjalanan hidup dan kisah orang-orang shalih terdahulu. Sesungguhnya perjalanan hidup mereka penuh dengan gambaran gemilang dalam menjaga rutinitas ibadah harian. Kisah-kisah mereka dapat membawa orang yang memiliki hati dan mau membuka telinga untuk mencontoh, atau minimal berusaha menyerupai gaya hidup mereka.
15. Mengingat dosa dan kesalahan yang telah berlalu. Sesungguhnya hal itu akan memotivasi kita untuk kontinyu dalam menjalankan amalan harian dalam rangka mengganti kekurangan yang telah berlalu, serta menebus dosa-dosa dan kesalahan terdahulu. Contoh terbaik yang membuktikan hal itu adalah sikap tukang sihir Fir'aun terhadap ancaman Fir'aun ketika iman telah menghiasi hati mereka, sebagaimana tercantum dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Mereka berkata, 'Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan engkau daripada bukti-bukti nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya akan dapat memutuskan (menghukum) pada kehidupan di dunia ini saja. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah engkau paksakan kepada kami untuk melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya)'" [QS. Thâhâ: 72-73]
16. Mengingat bahwa kematian datang secara tiba-tiba. Kalau pun ia tidak datang tiba-tiba, maka ia akan didahului oleh sakit, baru kemudian maut menjemput. Dan di situlah kelak baru terasa penyesalan. Tetapi itu semua terjadi setelah segalanya berlalu, dan setelah semua kesempatan tertutup.